“Poets are the unacknowledged legislators of the world.” Demikian ucap Percy Bysshe Shelley tentang para sastrawan, tak hanya penyair. Namun, bagaimana dengan sastrawan kontemporer kini? Masihkah mereka mampu menangkap keindahan alam?
Refleksi, yang adalah proses memantulkan cahaya sebagaimana mesti dan adanya, menjadi antonim dari kata refraksi. Jika cahaya dipantulkan lewat refleksi, refraksi membiaskan cahaya, membuat realitas tidak terlihat sebagaimana adanya. Demikian pula ketika sebuah pengalaman direfleksikan, maka akan ditemukan realitas yang senyatanya. Berbeda dengan refraksi, makna yang direfraksikan akan menghasilkan hipokrisi atau malah hal buruk lainnya.
Refraksi makna dapat dipengaruhi oleh perspektif dan sifat dari setiap pribadinya. Pada hakikatnya, refraksi hanya menampilkan realita yang dikehendaki oleh refraktornya. Terlebih jika sastralah yang menampilkan refraksi subjektif itu. Refraksi malah menimbulkan distorsi pengetahuan bagi pembaca maupun penikmatnya.
Medium.com menyatakan bahwa eksistensi sastra adalah sesuatu yang istimewa dalam perannya untuk mewadahi ekspresi manusia. Sastra berhakikat untuk merefleksikan esensi keberadaan kita sebagai manusia. Sifat sastra yang homosentris membuat keindahan alam tak berdiri tunggal untuk direfleksikan, melainkan lewat perspektif penulis dan pemaknaannya. Sastra seperti sekuel Supernova oleh Dee Lestari merefleksikan keindahan alam dan manusia yang menikmatinya lewat konflik serta peristiwa sehari-hari.
Kini sastra mengambil wujud kontemporer dengan medium yang jauh lebih disesuaikan dengan kondisi literasi pembacanya, khususnya di Indonesia. UNESCO menyatakan rendahnya tingkat literasi hanya berada di angka 0,001 persen. Akibatnya, sastrawan kontemporer juga menyesuaikan kebutuhan dan kemampuan pembacanya sehingga lahirlah bentuk-bentuk sastra kontemporer yang lebih dangkal dan singkat. Teenlit, chick lit, alternate universe merupakan karya sastra yang menampilkan keindahan alam sebatas deskripsi, bukan refleksi.
Sastra sebagai reflektor keindahan alam ditampilkan lewat pengalaman dan diasah lewat pengolahan rasa berdasarkan pengetahuan (empyrical) sehingga muncul refleksi, seperti juga muncul dalam rumusan pedagogi Ignasian. Refleksi ini yang berperan dalam membentuk kemendalaman pemaknaan seseorang terhadap keindahan alam. Kini makna itulah yang terbiaskan melalui fenomena era post-truth, ketika kebenaran menjadi kian subjektif. Maka, kebenaran yang diyakini penulis sajalah yang benar dan diserap banyak orang karena popularitasnya, bukan maknanya. Fenomena ini menjadi efek kausal dari refraksi makna lewat kedangkalan sastra.
Lewat refraksi, makna yang sebetulnya berpotensi direfleksikan lebih dalam menjadi terbiaskan. Sebatas menghasilkan komoditas yang disukai, kontemporer, dan kurang mendalam. Karenanya, dekadensi kemendalaman di era ini, ironisnya, direfleksikan oleh kualitas literasi penghuninya. Karya sastra pada masa kini mungkin terlihat lebih estetik dan bentuk literasinya lebih menjual estetika, terbukti ramai pembaca.
Upaya mengejar atau mencari estetika telah diklasifikasikan sebelumnya oleh Kierkegaard dalam tiga tahap kehidupan manusia. Ia menyebut manusia memiliki tiga tahap kehidupan, yaitu estetika, etika, dan religius. Berkaitan dengan kualitas sastra, preferensi literasi kini condong pada estetika karena ada kecenderungan untuk menjauh dari kebosanan (negative moving-away from boredom). Dengan ruang yang lebih sedikit untuk merefleksikan keindahan alam karena sepinya pembaca, sastra kontemporer malah merefraksinya dengan menjadikan keindahan itu sebagai komoditas.
Komoditas yang sebatas berwujud nilai tukar materiel merefleksikan pula refraksi perspektif manusia terhadap keindahan alam sendiri. Rini Lindawati dalam jurnalnya menyatakan kedangkalan teenlit dalam mengedukasi siswa. Artinya, refraksi penggambaran keindahan alam kini sudah terbiaskan dari kemendalaman, seperti pada novel Teluk Alaska maupun sastra kontemporer lainnya. Bukan selalu berarti bahwa karya kontemporer selalu lebih dangkal, ada saja penulis-penulis macam J.S Khairen yang masih mampu menyihir anak muda dengan kemendalamannya. Kendati subjektif, kemendalaman nyatanya dapat diukur melalui kesederhanaan pilihan diksi serta kompleksitas jejaring intriknya, entah sosial, finansial, psikologi, atau bahkan filsafat.
Baca juga: Nihilisme dalam Dinamika Alam yang Dinamis
Melalui relativisme preferensi literatur, manusia perlahan mengabaikan sisi edukatif, bahkan etis, dari sebuah karya sastra. Padahal, sastra berfungsi untuk mencerdaskan dan memperluas wawasan dengan berbagai segi dan intrik yang ditawarkan. Meski demikian, tentu masih ada keindahan yang terefleksikan, meski tak sepenuhnya “apa adanya”. Tak heran jika kini kebosanan lazim ditemui ketika anak muda diminta membaca karya sastra dengan refleksi luar biasa, seperti Pramoedya, Thukul, atau bahkan sebatas Dee. Tentu hal ini lebih sering terjadi jika karya tersebut tidak viral karena dengan Fear of Missing Out (FOMO), sebuah karya, seklasik dan sereflektif apapun pasti akan dibaca oleh anak muda.
Manusia perlu belajar untuk kembali hidup berdampingan dengan alam (coexist). Dengan itu, hubungan timbal-balik lebih “didagingkan” sehingga alam tidak lagi menjadi komoditas. Persisnya, hidup berdampingan membuka ruang serta paradigma syukur/apresiasi. Paradigma syukur mengembangkan lebih lanjut, keinginan untuk menangkap (capture) serta mengabadikan akar dari perasaan syukur atau apresiasi itu, yakni keindahan alam. Hilirnya, semua ini mengarah pada pertobatan ekologis internal, baru bisa dilanjut ke ranah eksternal, yaitu syukur yang “didagingkan”.
Konsep pertobatan ekologis ini kerap digaungkan secara massal oleh figur yang baru singgah ke Indonesia, Bapa Suci Paus Fransiskus. Pertobatan (conversion) ini pertama-tama harus dimulai dari hati, kehendak internal dari diri peniten, kita. Dalam rangka mewujudkan niat untuk bertobat tersebut, sastra dapat menjadi pemicu, bahkan dari alam bawah sadar (subconscious) kita. Hal ini ditunjukkan secara konkret lewat mahakarya Metamorphosis dari Kafka (1912) yang mengintegrasikan psikoanalisis untuk memunculkan efek ketakutan dari batin. Begitupun pendapat Terry Eagleton (1986) dalam esainya mengenai ideologi filsafat, sastra, dan kaitannya dengan alam bawah sadar.
Akhirnya, sastra dipandu untuk sekali lagi, menjadi legislator of the world, seperti ucapan Shelley di atas. Tak semua sastra kontemporer atau yang muncul pada masa kini bersifat dangkal, masih ada harapan untuk kemendalaman dan tawaran untuk merefleksikan keindahan alam, bukan merefraksinya. Segalanya dimulai dari kita, pembaca, yang berhak berpikir kritis dan mendalam dari apa yang kita baca sehingga pada suatu titik, alam dapat hidup dengan manusia, entah dari mata maupun lewat sastra, entah dari sastra bercorak kontemporer maupun klasik, sampai ke mata dunia.
Redaktur: Reinard Sandya Wisanggeni (SMA Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang)
Editor: Helena Setiasari