Nihilisme dalam Dinamika Alam yang Dinamis

Perkembangan Alam

Pada mulanya hanya terdapat singularitas awal berupa helium dan hidrogen di tatanan kosmik. Beberapa dekade kemudian terjadi penarikan antarpartikel pada suatu titik, dengan suhu sekitar satu juta derajat celcius. Kemudian pada titik tersebut terjadi ledakan dahsyat dengan menyebarkan partikel ke seluruh penjuru. Selama peristiwa itu, terjadi rekonstruksi kosmik di mana terbentuk gugus bintang dan galaksi di seluruh alam semesta yang dikenal sebagai supernova. Bumi saat itu masih berupa awan dan lahar panas sehingga mustahil untuk ditempati makhluk hidup. Namun, bumi terus berevolusi secara alamiah yang menyebabkan tercipta suatu partikel penunjang kehidupan perdana. Salah satu yang terbentuk ialah alam yang di dalamnya terkandung elemen bagi kehidupan. Alam sebagai suatu entitas menjadi penunjang setiap elemen di dalamnya dan agen penyeimbang bagi ekosistem bumi. 

Alam sebagai perintis dari suatu sistem di mana terjadi interaksi timbal-balik antarindividu. Sistem itu terjadi secara alamiah dan dikenal sebagai hukum alam. Hukum alam menjadi aspek fundamental bagi seluruh elemen kehidupan perdana. Dampaknya, alam mengalami kemajuan secara menakjubkan hingga membentuk spesies perintis dan memberikan kontribusi penting untuk menunjang kebutuhan mereka. Oleh karena itu, terdapat interpretasi indah, “Alam memberikan semua kebutuhan dan perlindungan kepada seluruh makhluk hidup. Ibarat seorang ibu dengan ikhlas memberikan segala kebutuhan bagi anak-anak yang dicintainya, termasuk menyerahkan nyawanya. Seorang ibu dan anak mempunyai sebuah ikatan batin yang tidak dapat diputus oleh apapun.”

Apresiasi Alam

Alam telah mengalami kemajuan yang sangat signifikan sebagai dampak dari rotasi dan revolusi bumi secara sistematis. Dari pola tersebut terbentuk berbagai varietas hayati yang unik dan eksotis. Varietas tersebut saling terkoneksi satu sama lain dan membentuk dinamika global yang dinamis. Seluruh spesies yang terkandung di dalamnya bergantung pada hukum alam sebagai dasar konstitusi dalam habitat mereka sehingga menjalin ikatan yang stabil.

Namun, seluruh karya ciptaan alam mengalami tragedi tragis di mana sebuah asteroid menghantam bumi dan membunuh seluruh spesies. Walau demikian, alam mempunyai sebuah irama dengan pola menakjubkan untuk meregenerasi seluruh ciptaannya. Irama tersebut yang menjadi tindakan untuk mengontrol, mengawasi, dan meregenerasi seluruh varietas hayati. Kemudian seluruh varietas hayati menciptakan musik harmoni sebagai ungkapan syukur kepada alam dan tatanan Ilahi yang telah menunjang kebutuhan mereka.

Semua karya ciptaan alam terdokumentasi dalam ingatan seluruh makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Manusia purba menciptakan suatu mural pada dinding gua sebagai bentuk apresiasi kepada alam. Kemudian pengetahuan kognitif manusia berkembang secara evolusioner melalui pengalaman yang mendalam. Puncaknya pada masa renaisans di mana karya sastra mulai memberikan perhatian pada keindahan alam dalam tempat tertinggi. Karya sastra menyampaikan interpretasi alam melalui tulisan dalam surat kabar dan lukisan. Pada masa itu, masyarakat menikmati keindahan alam dari hasil karya para pelukis terkenal, seperti Leonardo da Vinci dan Michelangelo. Selain itu, beberapa sastrawan mencoba menginterpretasikan keindahan alam melalui tulisan seperti puisi, cerpen, dan opini. 

Baca juga: Membuka Mata akan Luasnya Makna Semesta

Tidak mengherankan mayoritas karya menyajikan alam sebagai mahakarya ilahi yang sangat berharga, bahkan menganggapnya sebagai “Dewa” atau “Tuhan”. Terdapat suatu makna mendalam dari berbagai karya, yaitu sebuah reminder kepada umat manusia untuk menjaga dan melestarikan alam sebagai ciptaan tatanan Ilahi. Berdasarkan hakikatnya, manusia adalah ciptaan dari seluruh evolusi alam yang sangat menakjubkan. Sudah selayaknya manusia hidup harmonis dengan alam sebagai “Ibu Pertiwi” yang telah menerima eksistensi mereka. Selain itu, karya sastra menjadikan alam sebagai model utama dalam menyampaikan pesan secara implisit. Pesan itu perlu dipahami secara tepat dan mendalam oleh masyarakat luas, sehingga tidak menimbulkan paradigma yang subversif.

Fenomena yang Destruktif

Karya sastra menampilkan kombinasi yang adil antara keindahan dan kehancuran sehingga membentuk suatu kesatuan. Mayoritas masyarakat hanya menikmati alam melalui karya sastra dari satu perspektif, yaitu keindahan. Di sisi lain, masyarakat kurang memberi perhatian terhadap pesan lain yang ingin disalurkan. Masyarakat telah terlelap dalam “kenyamanan semu” dari keindahan alam yang dirangkum secara persuasif. Mirisnya lagi masyarakat meninggalkan kesan “kehancuran” karena dihantui paradigma bahwa kehancuran menimbulkan keretakan pada tatanan sosial yang telah dibangun. 

Kehancuran yang dimaksud ialah ketiadaan arti dan hidup yang diberikan alam kepada manusia. Ketiadaan tersebut adalah nihilisme. Nihilisme mempunyai paradigma yang negatif dalam pola pikir masyarakat sehingga ditinggalkan begitu saja. Masyarakat luas menafsirkan nihilisme sebagai ketiadaan moral dan etika dalam keteraturan yang dinamis. Akibatnya, terjadi pembangkangan regulasi dan konstitusi yang radikal. Hal itu juga berlaku kepada tatanan alam yang telah berdiri selama ratusan juta tahun. Tatanan alam yang melekat justru dihancurkan dengan dalih memperluas kawasan tempat tinggal manusia. Ironinya, manusia menjadi congkak dan tinggi hati terhadap otoritas yang diberikan padanya sebagai ciptaan yang paling kompleks. Manusia mengatasnamakan “nihilisme” untuk mengeksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan birokrasi belaka.

Akibatnya, banyak varietas dan dinamika alam yang terganggu. Nihilisme justru dijadikan senjata untuk melawan semua konstitusi yang mengatur dan melindungi ekologi dari ambang kepunahan. Di sisi lain, nihilisme dalam pemikiran filsuf seperti Franz Kafka menyatakan, “Ia makan sisa-sisa dari meja; untuk sementara, ia memang merasa lebih kenyang dibandingkan orang lain, tetapi ia lupa caranya makan di meja; dan karena itu, sisa-sisa pun tidak ada lagi”. Franz Kafka secara kritis menyampaikan bahwa alam telah kehilangan eksistensinya sebagai pemberi kehidupan kepada seluruh varietas. Franz Kafka menyebut keindahan alam dipandang manusia sebagai alat untuk memuaskan hasrat alami mereka untuk mencapai kepuasaan bersifat represif. 

Terdapat peribahasa dalam bahasa Latin, yaitu Homo Homini Lupus, artinya manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Peribahasa ini sangat relevan pada zaman yang penuh keabsurdan, kehampaan konstitusi, kesepian sosial-budaya, dan keputusasaan etika. Artinya, manusia rela membunuh, menganiaya, dan menghina sesamanya demi ketiadaartian yang rasional, dan berdampak kepada varietas di sekitarnya. Di sisi lain, mereka menindas dan mengancam para promotor lingkungan yang berusaha menanggulangi kehancuran alam. Selama ini dinamika varietas yang dinamis dirampas kebebasannya oleh “binatang buas” untuk pemenuhan hasrat mereka. Secara tidak langsung, paham nihilisme telah mengakar dalam paradigma mereka bahwa seluruh konstitusi yang menjaga alam tidak memiliki makna yang rasional secara sah.

Redaktur: Vincentius Paschalis Radhitya Christanto (SMA Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang)

Editor: Helena Setiasari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *