
Oleh: Jumini
Sudah Sampai
Aku selalu dihina oleh pikiranku
Aku selalu dipuji oleh mataku ketika aku menatap cermin
Aku dipuji dan dihina secara kekeluargaan oleh pemikiranku
Aku tak pernah menentang hinaan itu dan atas pujinya, aku selalu berucap amin
Surya singgah di gubukku, aku menawarinya secangkir hujan
Lalu kami menyeruput omong kosong
Yang telah disediakan dalam secangkir candaan
Selamat pagi adalah ucapan pertama dari asam lambungku
Dua tiga masa lalu terkayuhi dengan kapal sandiwara
Ombak dan badai menghantam tiada tara
Kekuatan terbesarku adalah rasa percaya
Percaya bahwa Tuhan punya rencana
Majikannya
Segumpal mendung menangis di matanya
Darah segar mengalir dari bibirnya
Hari itu lahirlah seonggok kehilangan paling suram
Dari rahim perkelahian dua saudara sesama kejam
Kematian menyambutnya dengan pesta pora
Porak-poranda menari di tengah kota
Teriakan maki keluar tanpa borgol dari mulut wanita tua
Ia berjalan dengan tiga kaki yang membuatnya terlihat muda
Dipeluknya bangkai segar itu tanpa jijik
Sambil memukul dan mencaci dengan puji
Wanita tua itu mengangkat rahangnya dan berkata
“Dasar anjing serigala!!!!”. Lalu, wanita tua itu menguburkan kucing kesayangannya
yang sudah tak bernapas dan kehilangan jiwa
Baca juga puisi: Penggangu Jalan