Musim Panas, Bukit Hattelmala, dan Cerita Kita

Karya : Sabina Lintang Kumala

Finlandia, awal musim panas 2015

Ini melegakan, musim kemarau datang. Setelah melewati musim dingin yang panjang dan gelap, akhirnya Finlandia bisa merasakan lagi lembutnya sinar mentari yang hangat menyentuh kulit. Selama kurang lebih dua bulan belakangan ini, bulan dan bintanglah yang selalu menemani hari-hari biasa penduduk di sini. Tak lupa dengan udara kering dan angin dingin disertai dengan cuaca yang nyaris mencapai -20 °C membuat Luna rindu dengan kampung halamannya yang disebut sebagai negara tropis itu.

Namun musim dingin telah berlalu dan kini saatnya tugas musim panas mengambil alih. Luna yang sejak tadi memandangi jendela dengan perasaan  membucah, tak sedetik pun gadis itu melepaskan atensinya pada suasana alam di luar sana. Senyumnya merekah ketika sebuah ide melintas dikepalanya. Ia lantas mengambil benda pipih di atas sofa, menyentuh layar depannya dengan tak sabar sambil mencari sebuah kontak dengan nama familiar baginya. Beberapa detik kemudian terdengarlah nada sambung hingga sahutan dari seberang sana.

“Oi Chris.”

Who’s this?”

Luna memutar kedua bola matanya. Temannya yang satu ini memang memiliki sebuah kebiasaan buruk untuk mengangkat panggilan telepon sebelum melihat namanya.

“Ini aku, Luna. Let’s meet up today. Di tempat seperti biasa. Gimana? Kamu bisa nggak?”

“Males. Ngapain juga ke sana lagi?”

Reaksi Chris membuat Luna terkejut. Wow. Ternyata masih ada orang yang lebih malas lagi darinya. Luna bisa membayangkan bahwa saat ini pemuda lawan bicaranya sedang menggeliat manja pada kasur dan bantal empuk dikamarnya; membiarkan rasa kantuk terus menerus menarik dari dalam dirinya—actually that would be something she would do now, but not today—.

Oh my gosh, Chris. Hari ini tuh awal musim panas. Dan lagi katamu? We only went there for twice before winter which was few months ago. Astaga… manusia macam apa yang nggak mau keluar disaat waktu yang ditunggu-tunggu seperti sekarang ini? Oh right, that’s you.” Luna diam sebentar sebelum ia melanjutkan pembicaraannya. “Ayolah. Siapa tahu ini menjadi pertemuan terahkir kita sebelum aku balik ke Indonesia, kamu yang akan disibukan lagi dengan toko roti bibimu, dan Ash yang akan mengejar mimpinya ke New York.”

Chris tersentak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Luna. Benar juga. Ini bisa jadi akhir pertemuan mereka sebelum ketiganya mulai sibuk dengan dunianya masing-masing. “Oke, aku kesana. I’ll see you there.”

Okay. Bye.”

Setelah mengakhiri pembicaraan singkat mereka, Luna lantas mengambil peralatan lukis dan sepeda lipatnya. Ditentengnya sepeda lipat putihnya itu hingga sampai ujung lantai paling bawah apartemennya. Tak sabar untuk segera melihat dunia luar, dengan terburu-buru—dan hampir saja menabrak tukang pengantar koran—ia keluar melewati pintu kaca flatnya.

Sebelum gadis itu mulai mengelilingi jalanan kota Hämeenlinna, diambilnya karet rambut dari saku jeansnya dan ia ikatkan pada rambut ikalnya yang sebahu. Beberapa helai rambutnya yang terlalu pendek berjatuhan, membuat dirinya terlihat lebih manis dengan messy bunnya itu. Dirasa penampilannya telah sempurna, dikayuhlah sepedanya dengan semangat menuju Häme Castle.

Baru beberapa meter dari tempat mulanya tadi, she has already fallen in love with the smell of the city. Tentu saja ada aroma yang berbeda setiap musimnya. Tapi Finlandia punya bau khas saat musim panas datang. Bau khas yang terasa seperti air laut dan atap rumah tua disertai dengan aroma hujan diatas tanah yang baru saja ditumbuhi lumut. Aromanya terasa sangat natural dan Luna suka itu.

Sepanjang perjalanan ia banyak menemui para remaja sebayanya sedang bersiap-siap menuju danau bersama dengan teman-temannya. Benar juga. Ini musim panas. Pasti banyak sekali orang-orang Finlandia akan bermain kano di danau sampai tengah malam.

Waktu berjalan cepat dan tak terasa Luna telah sampai di Häme Castle. Pemandangan Kastil Häme dan barak bata merahnya yang berada di tepi Danau Vanajavesi terlihat sangat indah ditambah cuaca yang mendukung saat ini. Luna lantas mmeletakkan sepedanya dengan hati-hati pada rumput hijau di tempat itu. Sampai ketika ia mendengar namanya dipanggil oleh seseorang tak jauh dibelakangnya.

“LUNA!!”

Luna menyipitkan mata, memperjelas korneanya untuk mencari tahu pemilik suara. Maniknya membulat terkejut ketika penglihatannya menangkap sebuah presensi perempuan berkepang dua dengan senyum yang menampilkan gigi-gigi lucu kecil di depannya. “Eo! Ashley?”

“Astaga Lun kamu dari mana saja? Aku nelpon kamu berkali-kali daritadi, tapi kamu tidak membalas membalas panggilanku,” kata Ashley sambil berjalan mendekat kearah Luna.

“Kamu nelpon aku?”

Yes, oh my gosh. Check your phone damm it.” Luna lantas merogoh saku belakang celananya, lalu tangannya beralih untuk membuka tote bag, mencoba mencari benda pipih itu.

“Sepertinya aku nggak bawa deh. Ketinggalan di apartemen maybe. Hehe… sorry,” cengir Luna atas kecerobohannya.

“Ceroboh banget sih astaga. Ngomong-ngomong Chris belum dateng, ya? Duh anak itu, padahal dia yang mengajak aku duluan ke sini.”

Luna mengendikan bahu. Dirinya saat ini terlalu sibuk untuk menanggapi sahutan teman dekatnya itu karena ia sedang berusaha mendirikan easel sebagai tempat untuk meletakan kanvasnya. Tak jauh berbeda dengan Ashley, gadis itu pun juga melakukan hal yang sama. Keduanya adalah gemar melukis dan berniat untuk mengabadikan momen awal musim panas ini pada coretan warna di kanvas mereka nanti.

Ashley telah selesai dengan urusannya dan kini saatnya ia menikmati karya indah ciptaan Tuhan. Kedua netranya tertutup rapat meresapi belaian angin hangat musim panas menerpa wajah. Suara bising lebah dan gemericik air pada danau mengisi kedua gendang telinganya. Jauh di dalam hutan sana para gagak berteriak, rimba bernapas dengan suara kecil.

Dan sebuah keheningan tercipta.

Finlandia memiliki lebih banyak keheningan dari sebagian besar negara, dan sebagian besar darinya adalah padang belantara. Siapa pun dapat dengan bebas berkeliaran di ruang sunyi itu.

Ashley suka suasana ini. Suasana hening yang pekat namun nyaman. Mereka bilang diam itu menakutkan. Terlalu hening itu asing dan dapat membunuh raga perlahan. Tapi tidak untuk Ashley. Sebagian besar diri kita selalu hilang di tengah keramaian. Untuk itu kita butuh suasana yang tenang dan senyap untuk kembali. Karena dalam diam itulah Ashley merasa aman. Dia merasa menjadi dirinya sendiri dan tak lagi harus menyembunyikan wajahnya pada seribu topeng palsunya.

“Ash, jangan bergerak, tetap disitu. Sebentar, ini tinggal makan waktu beberapa detik lagi. Pokoknya tetap dalam posisi itu. Oke. Dan ya… selesai!” Luna tersenyum sumringah ketika hasil lukisannya telah selesai dalam waktu cepat. Ujung jarinya sedikit kotor karena terkena oleh cat.

“Sini mau lihat.”

Luna tak bisa menahan ujung bibirnya ketika ia melihat reaksi wajah Ashley setelah ia mengecek hasil lukisannya itu. “I see your skill is improving here. Gila sih bentar lagi bakalan sebelas dua belas sama Da Vinci, nih.”

“Guys!”

Ashley dan Luna menoleh seketika. Diujung sana tampak Chris sedang berjalan kesulitan sambil membawa keranjang dan tikar. “Hey! Bantuin lah jangan diem aja disitu, berat, nih!”

“Lama banget sih, kamu ngapain aja mau mampir kesini?”

That’s all you wanna say?! No greetings? No thanks for coming here, you such a good friend?!” Ashley dan Luna tertawa mendengar ocehan Chris barusan. Bagi mereka, Chris terlihat lucu dan bodoh di waktu bersamaan seperti sekarang ini.

Chris hanya mendengus melihat reaksi kedua temannya itu. Anehnya dia menikmatinya. Berkumpul bertiga seperti saat ini, doing nothing and just chilling itu entah kenapa sudah cukup baginya.

“Wah ada cupcakes,” seru Luna sambil tangannya membuka ujung kain yang menutupi bagian keranjang Chris itu. “Chris, makasih, ya!”

“Enak banget! Asli buatanmu kan, Chris?” Sekarang giliran Ashley yang berbicara. Mulutnya penuh dengan kue hasil buatan cowok itu.

You guys look stupid. Kalo makan dihabisin dulu deh baru ngomong.” Chris memukul-mukul bagian belakang tubuhnya sebelum ia mulai membaringkan tubuhnya diatas rumput hijau segar. “Capek banget gue hari ini. Mau merem sebentar.”

Ashley melirik Chris sekilas kemudian ikut membaringkan tubuhnya. Atensinya tak pernah lepas dari keadaan langit sekarang. Terang dan penuh dengan gerombolan awan yang membentuk kapas. Angkasa sedang bahagia hari ini.

Sementara itu Luna memandang sendu sekitarnya. Minggu ini adalah minggu terahkir dia berada di tempat ini. Setelah 2 tahun lamanya ia menghabiskan hidupnya di sini, terasa berat juga di hatinya ketika dirinya terpaksa harus pergi dari tempat ini juga nantinya.

“Nggak terasa ya sebentar lagi kita bakal pisah karena sibuk sama urusan kita masing-masing.”

“Bener. Padahal masih pengen nikmatin masa-masa kayak gini.”

Ashley kembali duduk dan menatap sekitarnya. “Aku udah nggak bisa males-malesan lagi dong. Mereka bilang, memasuki umur 20 tahun itu berarti kamu harus udah matang memikirkan tentang masa depanmu. Mimpi.”

Guess what? Sepertinya aku belum siap untuk menerima dunia luar. Menerima kenyataan bahwa umurku itu sudah legal dan dewasa, aku udah bukan anak kecil lagi yang berarti aku harus bisa bertahan hidup di dunia yang keras begini.” Luna menatap lurus arah danau, tidak bergeming.

Chris yang sedang berbaring santai itu pun ikut mendengarkan percakapan kedua temannya. Wajahnya ia sembunyikan pada buku untuk melindunginya dari sinar matahari, tapi bibir nya sedari tadi mencoba untuk menggumamkan sesuatu tapi gagal.

“Chris, udah tahu tujuan hidupmu mau dibawa kemana?” Ashley bertanya sambil menatap kedua mata lawannya, sementara yang ditatap tidak langsung menjawab dan malah memalingkan pandangannya pada langit yang damai. “Nggak tahu. Gue nggak ada tujuan, nggak ada mimpi, nggak ada harapan. Lo pasti bakal aneh mendengar gue ngomong seperti ini, tapi memang itu faktanya. Terkadang sempat berpikir, bisakah gue survive menjalankan hidup seperti ini?”

“Nggak punya mimpi bukan berarti kamu nggak bakal bisa hidup di dunia ini dan bakal mati gitu aja. Sure, we have to dream agar kita menjadi lebih berambisi lagi dalam mencapai suatu hal di hidup ini. Tapi gimana dengan orang-orang yang nggak punya tonggak untuk bisa hidup? Let me tell you, nggak punya mimpi itu nggak apa-apa, asalkan kamu hidup di dunia ini dengan bahagia aja itu udah cukup. That’s the matter,” jelas Luna panjang. Sudut bibirnya tersenyum tipis. Ah akhirnya aku bisa mengeluarkan semua isi hati ini, katanya dalam hati.

Setelah itu mereka bergeming cukup lama. Atensi mereka tertuju pada danau yang tenang di depannya, suara lebah menjadi satu-satunya yang menjadi sumber bunyi di tempat ini. Ketiganya suka suasana seperti ini. Menyampaikan rasa dan isi hati secara langsung, mendengarkan ocehannya satu sama lain, lalu akan berdiam sejenak untuk meresapi segalanya.

Hidup ini hanya sebentar. Jangan terlalu berat untuk memikirkan hal-hal tidak penting yang bisa merusak kebahagiaanmu. Jangan terlalu lama melihat dirimu dari mata orang lain, atau perlahan kamu akan menjadi mereka nantinya. Seperti yang Luna katakan, it’s okay if you dont have a dream, just be happy that’s the matter.

***

Editor: Maria Tatag Prihatinningtyas Wigati

Sumber Ilustrasi: Pinterest 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *