Pengaruh Media Sosial Terhadap Kondisi Mental Gen-Z di Masa Pandemi

Era pandemi membuat seluruh masyarakat terjebak di dalam dunia maya selama kurang lebih dua tahun terakhir. Pendidikan, pekerjaan, hiburan, bahkan segala hal terjadi secara daring. Melalui layar ponsel dan komputer, masyarakat dapat mengetahui apa yang terjadi pada seisi dunia. Terlepas dari pandemi yang bisa dikatakan sudah selesai, perkembangan internet dan teknologi ternyata tidak membiarkan masyarakat terbebas begitu saja dari dunia maya. Mereka semakin tenggelam dan terbiasa akan teknologi online untuk apapun, di mana pun, dan kapan pun.

Media sosial dunia dimulai pada awal tahun 2000-an dan mencapai puncak kesuksesannya pada tahun 2004. Berbagai situs mulai lahir dan bermunculan. Salah satu situs yang sukses di tahun peluncurannya adalah Facebook. Situs ini menjadi awal bagi situs-situs online sejenis dan akhirnya bertambah semakin banyak. Dari Facebook muncullah Twitter, situs yang sukses meraih 100 juta pengguna pada tahun 2012 ini menjadi salah satu situs “curhat” dan berkeluh kesah terbaik menurut netizen. Tidak jauh dari itu, pada tahun 2010, Instagram diluncurkan dan meraih kesuksesan dengan menggaet pengguna yang memiliki kegemaran membagikan unggahan foto. Begitu banyak media sosial yang diluncurkan dan menjadi alat bantu bagi masyarakat dalam dunia maya. Hingga kemudian, pandemi datang dan Tiktok menaiki puncak pertama sebagai media sosial yang paling banyak digunakan dan digemari saat ini.

Gen-Z atau Generasi Z merupakan julukan bagi mereka yang lahir dalam jangka tahun 1997 hingga 2012. Generasi ini merupakan salah satu generasi yang menerima dampak paling besar dari adanya pandemi Covid-19. Beberapa dari mereka sedang berada di masa perjuangan, sebagian sedang berusaha mendapatkan pekerjaan, sebagian lagi sedang menempuh masa pendidikan. Bagi generasi ini, tidak mudah menjalani segala sesuatu yang berubah secara tiba-tiba. Tidak keluar rumah, tidak ke sekolah, tidak berlibur, dan tidak menghirup udara di lingkungan sekitarnya dengan nyaman dan aman.

Banyak peristiwa traumatis yang terjadi ketika masa pandemi. Ribuan kematian keluarga, kerabat terdekat dan teman-teman, turunnya nilai dan semangat belajar karena kurangnya efesiensi pembelajaran secara daring, serta perubahan kebiasaan bersosial secara drastis.

Pengalaman traumatis tersebut secara tidak sadar menimbulkan efek yang serius terhadap masyarakat. Dikutip dari data WHO, terjadi peningkatan jumlah masyarakat yang mengalami depresi sebesar 28% sejak adanya pandemi. Dari jumlah data keseluruhan, sebanyak 88% merupakan masyarakat berusia 16-24 tahun. Ini membuktikan bahwa pandemi berdampak sangat besar terhadap perkembangan kondisi mental Generasi Z.

Jiemi Ardian, seorang konsultan psikiater dewasa, dalam postingan di akun Tiktoknya membahas mengenai gejala depresi yang kerap tidak disadari oleh beberapa orang. Diantaranya merupakan emosi berlebih pada segala hal, mudah marah pada hal-hal kecil dan sepele. Gejala lainnya yang menunjukkan seseorang mengalami depresi adalah sulitnya mengatur konsentrasi. Adanya kesulitan untuk mengingat, berpikir, dan menganalisis. Seorang individu yang depresi juga akan merasakan kelelahan yang berlebihan. Kelelahan tersebut terjadi meskipun seorang individu tidak melakukan apa-apa dan hanya ingin beristirahat. Bahkan setelah beristirahat pun, individu tersebut masih akan merasa lelah.

Gejala yang disebutkan kerap dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah kondisi sepele yang hanya perlu diatasi dengan hiburan. Beberapa masyarakat golongan remaja hingga dewasa biasanya menghabiskan waktu menggunakan media sosial sebagai sarana pelarian yang dianggap merupakan sebuah hiburan dan akan mengatasi stres yang dialami. Namun ternyata, ketidaktahuan tersebut justru menimbulkan akibat yang lebih parah.

Disaat bersamaan, terjadi peningkatan pesat pada penggunaan media sosial dan masyarakat penderita depresi di masa pandemi. Hal ini mungkin terjadi karena isolasi mandiri yang berlangsung selama kurang lebih dua tahun. Isolasi mandiri tersebut memberikan banyak waktu luang bagi sebagaian besar masyarakat yang akhirnya membuat mereka memilih untuk menghabiskan waktu dengan bermain media sosial. Lalu mengapa bermain media sosial yang dianggap oleh masyarakat sebagai solusi hiburan justru berdampak buruk dan menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penderita depresi?

Dari banyaknya konten yang memenuhi media sosial, dapat dikatakan bahwa belum ada cara yang cukup efektif untuk menyaring apa yang penikmat dunia maya dapatkan. Segala jenis tontonan dan tulisan muncul di beberapa platform online tanpa adanya batasan tertentu. Mulai dari kekerasan, pelanggaran seksualitas, berita-berita kurang menyenangkan mengenai kondisi di masa pandemi dan banyaknya tontonan yang melanggar batas moral manusia.

Dikutip dari laman Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, terdapat beberapa efek negatif dari penggunaan media sosial terhadap kondisi mental remaja, yaitu (1) dapat menganggu kualitas tidur. Penggunaan media sosial yang berlebihan kerap membuat penggunannya merelakan jam tidur mereka dan memilih untuk tetap berselancar di dunia maya. Hal tersebut diketahui berdampak cukup besar pada kualitas tidur dan tidak hanya mempengaruhi kondisi mental melainkan juga berdampak pada kondisi fisik. (2) Memicu sugesti negatif pada penggunanya. Media sosial memang membantu masyarakat untuk menemukan banyak hiburan. Namun di samping itu, kurangnya pengetahuan untuk memilah konten yang dicerna dapat memberikan efek buruk berupa pola pikir negatif, diantaranya turunnya rasa percaya diri, munculnya kebencian atau obsesi terhadap suatu hal, bahkan dapat membuat penggunanya melakukan segala hal hanya untuk sebuah trend. (3) Timbulnya kecanduan terhadap media sosial. Pada awalnya, penggunaan media sosial memang hanya untuk mengisi waktu luang. Namun berkaitan dengan hal yang dibahas sebelumnya, mengenai pandemi yang membuat semua orang beralih mencari kesenangan di media sosial, maka penggunaan tersebut akan menjadi sebuah kecanduan jika tidak diberi sebuah batasan. Semakin sering seseorang membuka media sosial, akan muncul rasa ketagihan yang membuat seseorang tidak dapat lepas atau bahkan merasa cemas jika tidak membuka media sosial.

Efek negatif yang disebutkan di atas berkaitan dengan kondisi mental Gen-Z yang tampaknya semakin mengkhawatirkan. Efek negatif tersebut bisa dikatakan menjadi alasan meningkatnya jumlah penderita depresi pada remaja akibat konsumsi konten yang tidak bijak. Kondisi mental Gen-Z yang sebelumnya sudah menurun akibat kejadian traumatis di masa pandemi, kini menjadi semakin memburuk akibat penyalahgunaan media sosial. Pandemi merubah kehidupan manusia sebesar 180 derajat. Banyaknya waktu luang akibat isolasi mandiri tampaknya disalahgunakan dan justru menjadi boomerang bagi masyarakat. Sampai saat ini, kebijakan menggunakan media sosial belum sepenuhnya dapat ditangani karena masyarakat yang sudah terbiasa melakukan segala hal di dunia maya semasa pandemi. Ada baiknya jika terdapat pengawasan yang efektif terhadap penggunaan sosial media agar Gen-Z terhindar dari akibat buruk yang kemudian berdampak terhadap kondisi mental mereka.

Berhubungan dengan pandemi yang kian terlepas dari dunia, masyarakat terutama Gen-Z dapat mulai membiasakan untuk hidup bersosialisasi di lingkungan sekitar dan mengurangi penggunaan media sosial yang berlebihan. Melakukan pembatasan diri terhadap media sosial penting untuk menjaga kondisi mental. Sesekali mencari hiburan dan melakukan keperluan dengan media sosial memang diperbolehkan, tetapi untuk penggunaan yang berlebihan, ada baiknya segera diatasi dan dibatasi untuk mencegah dampak buruk terhadap kondisi mental.

Editor: Fayza Putri Ramadhani

Sumber Ilustrasi : Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *