Refleksi
Refleksi adalah salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk ciptaan dengan martabat tertinggi di dunia. Refleksi selalu ada dalam diri setiap manusia karena sifat reflektif membuat jiwa manusia itu hidup. Seandainya manusia tidak memiliki sisi reflektif, tak mungkin ia dapat hidup, terlebih di zaman sekarang yang serba digital. Simon Sinek, seorang pengarang Inggris-Amerika, berkata bahwa saat ini manusia hidup di masa yang sulit. Ia mendapati bahwa saat ini para remaja perlu berjuang melawan ego mereka yang membuat mereka menjadi pribadi yang agresif. Hal itu meningkatkan kecemasan dalam diri setiap manusia, terlebih orang tua. Salah satu cara efektif untuk melawan sifat egois manusia ialah refleksi.
Sebenarnya manusia selalu merefleksikan setiap kegiatan yang telah dilakukan, kendati ia tidak menyadarinya. Persoalannya adalah kedalaman dari refleksi tersebut. Apakah pribadi tersebut telah merefleksikan pengalamannya secara mendalam atau masih dangkal. Semua itu memerlukan proses untuk terus dapat memaknai segala hal secara lebih mendalam. Yang menjadi pertanyaan adalah maukah remaja di zaman sekarang belajar untuk memaknai hidupnya sendiri.
Melihat Semesta
Manusia tinggal di lingkungan yang mendukung kehidupannya. Suka tidak suka, manusia harus siap berjabat tangan dengan alam. Sayangnya, manusia saat ini mulai menutup mata mereka terhadap alam yang mereka tinggali. Manusia telah terbelenggu oleh dirinya sendiri dan menjadi apatis, terlebih dalam konteks modern ini. Mereka dengan rela membiarkan diri mereka ditarik oleh teknologi ke dunia maya (virtual world). Jika terus seperti ini, manusia akan dibutakan oleh lena duniawi. Mereka akan terhalang oleh “kubah digital” untuk dapat melihat apa yang ada di depan mereka. Bagaimana mereka mau berjabat tangan dengan alam kalau melihat saja tidak bisa?
Untuk melihat alam semesta dalam konteks dunia modern, kita perlu membuka mata kita terlebih dahulu. Kita perlu berani untuk melakukan sebaliknya (agere contra). “Sebaliknya” yang dimaksud adalah berani melepas rasa nyaman yang selama ini memanjakan kita. Dengan begitu, kita dapat bergerak dengan bebas tanpa terkekang oleh tipuan kenyamanan teknologi.
Karya Sastra
Dalam jurnalnya yang berjudul “Pengarang, Karya Sastra dan Pembaca”, alm. Sapardi Djoko Damono (sastrawan Indonesia) menuliskan dua kalimat yang sangat menarik pada bagian abstrak, “A Literary work does not stand in its isolation. It is created among the reality of human life.” Kalimat tersebut dapat menjadi kata kunci bagi pandangan kita terhadap karya sastra. Menurut alm. Sapardi Djoko Damono jika dilihat dari segi isi, sastra dikatakan sebagai karangan yang tidak mengandung fakta, tetapi fiksi. Sastra tidak berisi fakta-fakta seperti berita, tesis, dan lain sebagainya, melainkan segala karangan yang memiliki isi berupa dunia khayalan manusia.
Baca juga: Melihat Karya Tanpa Aksi Nyata
Dengan begitu, kita mendapati bahwa karya sastra sangatlah dekat dengan diri manusia. Mengapa demikian? Karena isi dari sastra sendiri adalah fiksi. Manusia dapat berimajinasi di dalamnya sebebas-bebasnya, tidak dibatasi oleh realita. Ranah dari sastra sendiri pun juga mencakup semua hal yang ada di kehidupan manusia. Maka, manusia dapat dengan bebas menuangkan perasaannya dan mengekspresikan diri dalam imajinasi mereka. Hal ini yang membuat karya sastra melekat dengan pribadi manusia. Karya sastra membuka secara utuh rupa manusia (facies hominis) melalui orisinalitas bahasa yang dituangkan di dalamnya. Orisinalitas inilah yang sebenarnya menjadi tuntutan di dunia modern, di mana autentisitas menjadi aspek yang hampir lepas dari diri manusia.
Mendalami Semesta
Alam semesta menjadi tempat kita hidup, belajar, berubah, dan menyandarkan kepala untuk selamanya. Sebagai satu-satunya ciptaan yang memiliki akal budi, manusia perlu belajar dari alam dan untuk alam. Mustahil kita dapat memisahkan diri dari semesta. Perlu adanya kesadaran internal untuk melihat keajaiban semesta. Kesadaran internal ini bisa kita latih dalam proses refleksi. Sekali lagi, refleksi adalah cara manusia untuk dapat mencecap kehidupannya sendiri. Alam tak bisa menyadarkan secara langsung kepada manusia tentang keindahan dunia ini. Kitalah yang perlu mencoba menjadikan alam sebagai inti dari refleksi kita.
Memang tidak mudah untuk menahan diri sejenak dari rekreasi duniawi yang melenakan. Akan timbul perasaan tidak nyaman atau mungkin kehilangan. Namun, jika terus demikian, kita akan kehilangan integritas kita sebagai manusia. Satu-satunya cara untuk mendapatkannya kembali adalah refleksi. Mungkin akan terlalu sulit dan abstrak bila pribadi yang baru lepas dari selimut teknologi langsung mempraktikkan kegiatan refleksi. Maka, perlu adanya awalan yang sangat familiar untuk dijadikan wadah bagi refleksi kita. Karya sastra adalah jawabannya. Di mana terdapat kebebasan berekspresi di dalamnnya. Karya sastra menjadi wadah yang sempurna untuk melihat semesta dari kacamata batin kita. Dengan demikian, kita dapat menjabat tangan semesta dan menciptakan kelekatan dengannya. Di sinilah kita akan mendapatkan kembali integritas kita sebagai, kendati dengan cara yang dianggap tidak kontemporer.
Pada akhirnya, tiga topik ini memiliki korelasi yang implisit. Kendati sulit diimplementasikan dalam konteks dunia digital, tetapi habitus ini perlu ditanamkan dalam setiap pribadi manusia. Dengan begitu, akan tercipta manifestasi yang dapat mengalahkan aksioma-aksioma saat ini yang mungkin sebenarnya kurang tepat secara moral. Sebaliknya, bila kemendalaman ini tidak dijadikan prinsip oleh setiap pribadi, aksioma tersebut malah akan menjadi paradigma baru yang memiliki probabilitas untuk merusak hakikat manusia sebagai ciptaan tertinggi. Karena pada dasarnya manusia hidup untuk satu tujuan yang mulia. Ad Maiorem Dei Gloriam.
Redaktur: Vercellio Ellyson Darren (SMA Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang)
Editor: Sabina Lintang Kemala