Alam semesta memiliki kompleksitas yang khas. Tidak melulu soal apa yang ada di luar bumi, melainkan juga apa yang ada di dalam bumi. Semuanya seolah berjalan dengan sendirinya, tentu dengan autentisitas masing-masing. Manusia turut tinggal di dalam kompleksitas yang autentik tersebut. Bukan hanya tinggal, tetapi manusia juga hidup bersamanya. Secara langsung maupun tidak langsung, manusia terlibat dalam dinamika alam sekitarnya.
Manusia adalah ia yang sadar. Ia sadar karena ia mengenal. Selaras dengan itu, persepsi adalah suatu bentuk pengenalan bagi manusia. Melalui akal budinya, manusia mengenal suatu konkret jasmani yang hadir sebagai objek persepsi. Dari aspek emosional, persepsi dapat memberi stimulus bagi munculnya perasaan dalam diri manusia. Persepsi tertentu dapat membuat manusia merasa senang dan sedih. Ada yang menimbulkan dugaan, ada pula yang menimbulkan pertanyaan. Setelah mendapat stimulus dari persepsi tersebut, manusia menjadi punya kehendak untuk sekadar mengabadikannya.
Alam semesta berada dalam radar kesadaran manusia, sebab ia sungguh ada di sekitar manusia. Berkat pengetahuan yang dimiliki manusia, alam semesta tidak hanya menjadi alam semesta belaka, melainkan dijadikan oleh manusia sebagai unsur pelengkap dalam berbagai konteks, salah satunya karya sastra. Dalam konteks karya sastra, alam semesta kerap digunakan oleh penulis sebagai gambaran setting. Tidak hanya sebagai setting, alam semesta juga digunakan untuk merepresentasikan perasaan dan menyampaikan suatu pesan tertentu. Misalnya, William Shakespeare menggunakan summer sebagai metafora dalam Sonnet 18.
Pada Sonnet 18, William Shakespeare menyampaikan pujiannya terhadap sang kekasih. Sang kekasih digambarkan sebagai the summer. Secara geografis, summer atau musim panas identik dengan iklim yang tidak menyenangkan dan panas. Namun musim panas yang dikasihinya justru selalu menyejukkan dan beriklim sedang. The summer juga dipersonifikasi sebagai the eye of heaven dengan segala kompleksitas emasnya1.
Karya sastra menawarkan keindahan alam semesta dalam diksi dan substansi-substansi yang ada di dalamnya. Becermin dari pengertian tersebut, kemampuan manusia dalam mengeksplorasi alam semesta dapat melahirkan keindahan dalam karya sastra. Semua itu hanya mungkin terjadi karena manusia adalah cerminan keindahan alam. Alam semesta merupakan dinamika kesempurnaan hidup manusia2. Tata indah alam adalah tata kehidupan sehari-hari3. Maka, keindahan alam menjadi sesuatu yang relevan jika kita melihat kembali kehidupan kita. Misalnya, seseorang menjaga lingkungannya dengan cara tidak membuang sampah secara sembarangan. Selain menjaga kesehatan tempat tinggalnya, orang itu juga turut ambil bagian dalam upaya memperindah alam. Pilihan tindakannya itu akan membuat alam menjadi terjaga dan indah.
Hal itu hanya mungkin terjadi karena manusia adalah animal aestethicus4. Penyebutan itu beranggapan bahwa manusia selalu ingin memperindah dirinya dan lingkungan tempat tinggalnya. Manusia gemar menggunakan pernak-pernik tertentu untuk memperindah badannya, juga gemar merawat tanaman favoritnya untuk memperindah lingkungan tempat tinggalnya.
Baca juga: Harta Berharga di Tanah Sabana
Berkaitan dengan itu, estetika menjadi dasar yang baku dan kuat untuk membahas keindahan. Estetika berasal dari bahasa Yunani aisthesis yang berarti ‘perasaan’ atau ‘sensitivitas’5. Dalam bukunya, Kant menyatakan bahwa estetika bukan saja menyangkut penilaian mengenai perasaan, melainkan juga perasaan tentang penilaian. Dengan begitu, estetika memiliki aspek yang universal dan objektif, selain melibatkan selera.
Meskipun bersifat objektif dan universal, estetika semata-mata adalah penilaian subjektif terhadap adanya persepsi. Kant menyebut, dalam bukunya yang berjudul Critique of Judgement, bahwa penilaian rasa bukan merupakan penilaian kognitif, bukan pula logis, tetapi estetik, yang berarti itu berlandaskan subjektivitas6. Hal itu mengartikan keindahan sebagai sesuatu yang bersifat subjektif. Manusia yang satu tidak dapat memaksakan penilaiannya bahwa langit itu indah apabila manusia lain tidak menganggap itu indah.
Menurut Aminuddin, karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa pengarang, secara mendalam melalui proses imajinasi7. Endapan pengalaman merupakan hasil refleksi dan refleksi adalah suatu aktivitas yang melibatkan batin manusia. Berangkat dari pemikiran tersebut, penggambaran alam semesta dalam karya sastra juga menjadi penggambaran jiwa dan aspek batiniah manusia.
Socrates berpandangan bahwa hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dihidupi. Hidup manusia berisikan pengalaman-pengalaman yang khas dan autentik. Sejatinya, manusia mempunyai kemampuan untuk berefleksi dan bersikap atas hidupnya. Melalui refleksi, hidup manusia menjadi bermakna8. Makna yang ditemukan melalui refleksi pengalaman yang kemudian menjadi endapan tersebut seringkali digunakan oleh penyair untuk melahirkan sebuah karya.
Dengan demikian, karya-karya yang berasal dari refleksi pengalaman pribadi penyair menjadi apik karena autentik. Karya yang terlahir dari endapan pengalaman autentik mampu memikat hati banyak orang. Hal itu hanya mungkin terjadi karena autentitas. Oleh karena itu, autentisitas karya menjadi kualitas tersendiri. Itulah yang menjadi keunggulan sebuah karya sastra.
Berangkat dari hal-hal yang telah dijelaskan di atas, penulis berpendapat bahwa merefleksikan alam semesta dalam karya sastra dapat menuntun manusia menuju kepada kedalaman makna hidupnya. Walaupun pernyataan tersebut terkesan absurd, tetapi secara empiris, merefleksikan alam semesta sungguh mampu menuntun manusia menuju pada kedalaman makna hidupnya. Dengan merefleksikannya, manusia dapat sampai pada suatu dimensi makna yang belum pernah ditemuinya. Selaras dengan aktivitas refleksi, alam semesta pun dapat mengantar manusia untuk melihat dunia yang luas seraya menyadari bahwa semua itu hanya mungkin oleh transendensi Allah.
Referensi
1. https://www.sparknotes.com/shakespeare/sonnets/section2/ diakses pada Jumat, 4 Oktober 2024 pk. 16.21 WIB.
2. Riyanto, Armada, Menjadi-Mencintai, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2010), 29.
3. Riyanto, Armada, Menjadi-Mencintai, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2010), 34.
4. Surajiyo, “Keindahan Seni dalam Perspektif Filsafat,” Jurnal Desain Vol. 2 No. 3 (2015), 158.
5. K. Bertens, Johanis Ohoitimur, dan Mikhael Dua, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2018), 83.
6. Kant, Immanuel, Critique of Judgement, (Oxford: Clarendon Press, 1964), 41-42.
7. Aminuddin, Pengantar Apresiasi Puisi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), 57.
8. Dharmawan Ardi, Pencarian Makna Bertolak dari Logoterapi Viktor Frankl Melalui Interpretasi Hermeneutika Naratif-Restoratif, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (2020), 13.
Redaktur: Gusti Kresna Wisnusiwi (SMA Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang)
Editor: Laetitia Sugestian