Sesuatu yang Tersembunyi dalam Badai

Pada tanggal 6 hingga 14 Mei 2023, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta berkolaborasi dengan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menggelar sebuah pameran kelompok bertajuk “Melamun di Tepian”. Dalam pameran tersebut terdapat 20 pelukis yang terlibat. Salah satunya, pelukis yang memiliki nama pena Morris Hork berusia 21 tahun. Ia merupakan seorang mahasiswa semester 2 di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Kegemarannya dalam melukis, menurutnya tidak dapat dipastikan sejak kapan. Munculnya rasa ketertarikan itu, tidak dapat dikatakan secara rinci. Baginya, melukis adalah sebuah intuisi tentang perasaan yang sulit untuk dijelaskan.

“Ketertarikan melukis tu sebenarnya anu e mbak, gak bisa di runtut. Secara apa, ya. Secara kaya ada runtuttannya gitu loh. Jadi, semacam kaya apa, ya. Melukis si, semacam intuisi kalo aku. Jadi, kaya gak tau ya. Perasaan yang susah dijelaskan melukis itu,” ujarnya.

Mengenai pilihannya untuk melukis, Morris mengatakan bahwa dirinya kurang pandai dalam menulis sebagai ungkapan emosi perasaannya. Oleh sebab itu, ia mengungkapkan inspirasinya atau cerita melalui bahasa visual berupa lukisan.

“Kalo mengapa melukis, ya karena terus terang, aku kurang bisa bercerita tentang (ceritanya), dengan cara menulis atau mungkin dengan berpidato. Makanya, saya bisa menyuarakan aspirasi saya atau cerita saya lewat bahasa visual, yaitu lukisan,”ujarnya.

Dalam pembuatan lukisan “Badai”, waktu yang dibutuhkan Morris yakni kurang lebih dua minggu. Namun, dua minggu bukanlah waktu keseluruhan dalam penyelesaian lukisan tersebut. Dua minggu adalah waktu perkiraan yang dapat dilihat, dan untuk waktu keseluruhannya tidak dapat ditentukan. Sebab, terkadang ia merasa ada sesuatu yang membuatnya untuk tidak melukis sejenak.

Teknik yang ia gunakan dalam membuat lukisan “Badai” yaitu teknik alla prima. Alla prima adalah salah satu teknik melukis menggunakan cat minyak. Namun, ia menggunakan teknik alla prima tersebut dengan menggunakan cat akrilik yang ditimpa secara terus menerus.

“Berapa lamanya, kalo lamanya, tu mungkin dua minggu, ya. Kalo waktu yang bener-bener waktu yang bisa dilihat. Tapi, proses pengerjaannya gak menentu, sih. Kadang ada sesuatu sebab yang kayaknya aku harus gak melukis, melanjutkan catku, untuk tak (aku) lukiskan di lukisanku, gitu,” jelasnya.

“Tekniknya, teknik-teknik, nama tekniknya, to (kan)? Nama tekniknya, Alla Prima, sih. Namanya Alla Prima. Alla Prima itu salah satu teknik cat minyak. Cuma aku pake dalam cat akrilik gitu loh. Jadi, menimpa-menimpa terus seperti itu,” lanjutnya.

Dalam proses pembuatannya, ia tidak merasa kesulitan untuk memvisualisasikan lukisannya. Namun, bagian tersulit baginya saat menemukan ide dan sebuah narasi yang akan disampaikan pada khalayak umum. Sebab, dalam lukisan tersebut ada beberapa makna yang harus disembunyikan. Sehingga, sebuah makna yang misterius itu ia ungkapkan melalui metafora lain. Untuk konsep keseluruhannya, sudah ia gambarkan dalam lukisan tersebut.

Morris menginginkan para penikmat seni memiliki asumsi tersendiri dalam memaknai karya lukisnya.  Oleh karena itu, ia menyembunyikan sebuah pesan dalam lukisan tersebut yang digambarkan melalui simbol-simbol yang ada pada lukisan “Badai” tersebut. Contohnya seperti penggambaran buku yang bertuliskan “Art Merdeka” pada lukisan itu..

Dalam lukisannya yang berjudul “Badai”, ia menceritakan tentang situasi yang sedang ia alami saat ini. Situasi itu berada pada garis tengah antara kesadaran dan ketidaksadaran. Ia juga melukiskan tentang renungannya terkait dengan kondisi seni saat ini dalam lingkup yang luas. Seperti halnya, dalam masyarakat sosial yang terlalu menutup diri dan membatasi sebuah seni dengan aturan-aturan yang ada. Masyarakat cenderung mementingkan nilai-nilai yang sedang booming saat ini. Morris juga mengatakan, peran hidup manusia memiliki kebebasan terutama dalam berekspresi dan merealisasikan ekpresinya. Mereka tidak harus terpaku dengan hal-hal yang sedang booming saat ini. Terkait dengan lukisannya “Badai”, Morris merealisasikan perasaannya sebebas mungkin. Ia tidak mengikuti ketenaran yang sedang terjadi. Sebab, kebahagiaan dalam mengungkapkan ekpresinya tidak harus mengikuti pasar saat ini yakni sesuatu yang sedang viral.

“(Badai) menceritakan tentang situasi sekarang. Yang aku alami, ketika aku kayak (sedang) gak sadar gitu. Terus, disisi lain aku di situ seperti melamun sekarang gitu loh. Melihat situasi seni sekarang, atau mungkin ini konteksnya luas sih. Sebarnya, aku pengennya ngangkatnya luas. Mungkin dari masyarakat, isi sosial atau ap aitu. Tidak, mereka tu, semacam kayak menutup diri gitu loh. Menutupi sesuatu sing (yang) bener-bener di buat (untuk mengekspresikan kebebasan),” ujarnya.

“Mereka tu, di sini, tu, lebih mementingkan nilai-nilai yang sekarang lagi happening gitu loh. Padahal, di setiap peran manusia yang aktifitas yang dilakukan itu memiliki kebebasan, seperti itu. Dia memiliki kebebasan tetapi, berhubung mereka sekarang gak menghiraukan kebebasan itu, meninggalkan lah. Meninggalkan, terus memilih jalan yang lebih mudah atau mungkin, tidak seperti, apa ya. Terlalu berbohong gitu loh, kepada dirinya, bahwa mungkin yang lagi happening ini, aku melakukan ini, gitu loh. semacam itu, sih. Semacam mungkin bisa dikaitkan dengan fomo atau apa tentang hedonism, seperti itu,”lanjutnya.

Terkait dengan penamaan karya lukisnya berjudul “Badai”, menurutnya melamun itu seperti badai yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Terlahir dari bibit yang kecil, dari sesuatu hal yang sepele jika dipandang dari luar. Namun jika ditelaah lebih dalam, melamun itu seperti badai yang berada dalam pikiran manusia. Makna “Badai” itu sendiri masih dalam hipotesis dan masih perlu untuk dikaji lebih dalam lagi.

“ ‘Badai’ sendiri, kenapa aku beri judul “Badai” ya, karena melamun seperti, pengertiannya kalo aku amati tu, kayak badai gitu loh. Punya power yang sangat besar, tapi dari bibit yang kecil. Dari, sesuatu hal yang hal sepele, gitu loh, seperti itu sih. Masih, masih coba aku kaji ulang, sih itu. Masih aku kaji lagi, sih. Pengertian, metafor, bahasa-bahasa yang pengen aku cari, gitu,” ujarnya.

Morris mengatakan bahwa lukisan “Badai” tersebut merupakan lukisan yang menggambarkan dan menceritakan dirinya sendiri. Mengenai objek seorang perempuan pada lukisannya, Morris menjelaskan fungsi objek itu hanyalah sebagai alat. Inspirasi objek seorang perempuan itu, bermula ketika ia membuka arsip keluarga dan menemukan foto ibunya sewaktu muda. Ia mengamati dan muncul sebuah rasa ketertarikan. Di samping itu, ia menemukan keunikan ibunya yang tidak memiliki sisi perempuan ketika masih muda. Hal tersebut membuatnya terkesan, sehingga itu menjadi pengalaman estetis baginya. Ketika ia duduk dibangku SMK, dari sekian banyak perempuan yang dilihat, hanya ada satu perempuan yang menggambarkan ibunya. Akhirnya, ia mengangkat visual ibunya sebagai objek lukisannya. Namun, objek tersebut tidak memiliki makna khusus dan hanya sebagai visual saja dalam lukisannya.

Morris mengatakan, makna pertama yang terkandung dibalik raut wajah dan tatapan kosong pada lukisan “Badai”, merupakan penggambaran posisi dirinya yang sedang berada di ambang kebingungan. Posisi keabu-abuan yang sedang dialami dalam dirinya. Adanya pemikiran yang masih abu-abu dalam dirinya  mengenai gerakan yang ditimbulkan oleh anak-anak muda zaman sekarang.

“Dengan raut wajah yang keabu-abuan, gak ada pandangan gitu, ya di dalam visual e. Tapi, di sisi, sisi dalamnya lagi, misalnya di ungkit ya, jadi sebuah cerita ini. Itu posisiku sebenernya. Posisiku sing aku bener-bener aku melamun, cuman aku memikirkan, gitu loh. Kayak ada jeda tersendiri gitu loh di dalam keruangan keabu-abuan itu. Kayak, semacam apa, ya. Nggak dunia nyata, nggak dunia apa istilahnya tu, aku di tengah-tengahnya gitu loh. Katak, memikirkan apa, tapi masih keabu-abuan. Terus, setelah aku kaji kembali, ternyata aku memikirkan seuatu gerakan yang ditimbulkan anak-anak muda sekarang. Di usia ku, mungkin. Di sekitar yang aku angkat jadi cerita ini, cerita badai ini,” jelasnya.

Makna kedua pada lukisan “Badai”, terdapat metafora seperti tulisan “Art Merdeka”. Morris menjelaskan arti tulisan itu ialah sebuah kebebasan dalam berekspresi dan berseni. Menurutnya, kebebasan itu ada dalam diri setiap manusia. Ia mencoba memperlihatkan lukisannya dengan kebebasan yang ia miliki dalam berseni. Realisasi lainnya tampak disimbolkan dengan corak sobekan atau lubang sebagai media lukisan. Media yang digunakan pun berupa karung semen yang merupakan realisasi dari kebebasan berseni tersebut. Ia mengatakan bahwa penggunaan media dalam karya tidak harus menggunakan media yang sudah ada, melainkan dapat menggunakan media lain yang sesuai dengan kreativitas.

Makna ketiga dalam lukisan “Badai” yakni warna yang digunakan abu-abu. Morris beranggapan bahwa melamun merupakan sebuah keabu-abuan atau sesuatu yang belum pasti. Morris juga mengatakan, pewarnaan gelap dan terang pada lukisannya dapat diartikan sebagai sebuah perjalanan dari gelap menuju terang.

“Abu-abu gak ada warna lain, ya, soalnya melamun tu, abu-abuan gitu loh. Gak pasti gitu loh. Aku sampe sekarang juga masih mengarungi, apa ya, ceritaku sendiri gitu loh. Apakah ini benar, atau salah atau benar atau salah. Ya, masih belum tahu. Dalam artian, masih menyanyakan sesuatu sing notabene (notabennya) disepakati banyak orang atau di amini, gitu loh, seperti itu sih,” ucapnya.

“Kenapa, aku pake warna keabu-abuan dari gelap ke terang, gitu ya. Dengan kontras yang sangat kontras, terus cahaya sing (yang) terlalu terang, gelap yang terlalu gelap, gitu. Soale (soalnya) seperti perjalanan gitu loh. Dari gelap terus ke terang,” jelasnya.

Editor : Catharina Menur Sekar Putih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *