Rabu (03/05) Fakultas Sastra mengadakan Seminar Lustrum VI Fakultas Sastra dengan mengusung tema “Tanggung Jawab Insan Sastra sebagai Global Citizen dalam Merespons Permasalahan Dunia”. Seminar berlangsung secara daring melalui Zoom dan luring yang terselenggara di ruang seminar Driyarkara Universitas Sanata Dharma.
Seminar diisi dengan materi dari dua pembicara yaitu Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, MA., M.Phil. dan Prof. Dra. Novita Dewi, M.S., M.A. (Hons), Ph.D. Materi kedua berkaitan dengan sastra dan masalah-masalah tentang dunia, kemanusiaan, serta lingkungan alam. Setelah sesi pemaparan materi oleh narasumber,, moderator memberikan kesempatan bagi peserta seminar untuk mengajukan pertanyaan pada sesi tanya jawab.
Diantara beberapa peserta yang mengajukan pertanyaan, terdapat salah satu penanya yang memiliki pertanyaan unik mengenai perkembangan sastra dalam situs kepenulisan yang dianggap kurang bijak atau justru menuju ke arah negatif seperti sensualitas.
Penanya dari Universitas Riau (UNRI) bernama Sandewa yang mengikuti seminar melalui Zoom secara spesifik bertanya, “Bagaimana pandangan Prof. terhadap fenomena platform kepenulisan (Wattpad, Storial.co, Jotter, Fizzo, dll) yang banyak menyuburkan penulis-penulis yang cukup seksis hanya menonjolkan sisi sensualitas, tetapi minim sekali memasukkan unsur-unsur sastra. Berbeda dengan misalnya Putu Wijaya (Ratu), NH Dini (Pada Sebuah Kapal), Armijn Pane (Roman Belenggu), cerita seksualnya justru sarat sastra. Malah kelihatannya Serat Centini jauh lebih berwibawa ketimbang penulis-penulis di platform online itu?”
Pertanyaan itu kemudian dijawab oleh Prof. Heddy dan dikaitkan dengan kritik sastra. Satu-satunya cara menanggapi isu semacam itu adalah harus dibahas secara ilmiah dan diberi kritik secara tegas. Kritik sastra harus benar-benar dijalankan dan dapat dilaksanakan melalui cara paling praktis seperti WhatsApp Group. Kritik secara tegas dan frontal bertujuan agar penerima kritik tahu dan kemudian diberikan solusi mengenai bagaimana menulis sastra yang bijak. Prof. Heddy mengatakan bahwa boleh jadi mereka, penulis seksis tersebut melakukan hal itu karena tidak tahu. Penulis tersebut baru saja mulai bersastra, bisa jadi belum begitu paham.
Prof. Heddy mengingatkan kembali bagaimana menghadapi situasi disaat menemui hal-hal seperti itu adalah dengan menjadikan pelajaran dan mengajak mereka untuk membuat sastra yang lebih baik. Beliau mengkritisi bahwa kritik sastra inilah yang sebenarnya belum dijalani dengan baik, “Kita ini kadang-kadang kurang berani mengkritik karya sastra. Mungkin agak sungkan” ucapnya dalam seminar.
Beliau juga mengamati bagaimana majalah New York Times yang berisikan kritik sastra di hari-hari tertentu dan beberapa book review yang luar biasa. Hal itu membuatnya memahami bagaimana mengkritisi karya-karya. Baginya, penting memberi pesan kepada penulis karya yang hanya berfokus pada sensualitas, bahwa karya yang mereka buat kurang mulia. Dengan teguran itu, diaharapkan meraka bisa berubah dan menjadi sastrawan yang lebih baik. Kita hanya bisa berasumsi bahwa mereka tidak begitu paham dan hanya menganggap karya seperti itulah yang laku di pasaran. Setidaknya teguran itu nantinya akan merubah pandangan mereka bahwa karya sastra tidak untuk sekedar laku dan “saru”.
Editor : Clara Lintang Kinanti