Penggambaran budaya dengan nuansa sastra, membuat masalah kemanusiaan terasa begitu nyata. Melihat dan menyampaikan kebudayaan suatu kolektif dari sudut pandang kolektif itu sendiri adalah sikap yang tepat untuk mencapai realitas dalam suatu kolektif sehingga masyarakat di luar kelompok tersebut bisa memahami dan menghargai kebudayaan serta cara pandang yang berbeda tanpa adanya penghakiman terhadap perbedaan tersebut.
Oleh karena itu, tulisan yang ‘sastrawi’ bisa menjadi salah satu jembatan untuk menyampaikan masalah kemanusiaan yang ada sehingga menjadi perhatian masyarakat. Topik ini dibahas langsung oleh Prof. Heddy pada acara seminar Lustrum Fakultas Sastra Sanata Dharma yang ke-6.
Seminar bertajuk “Tanggung Jawab Insan Sastra sebagai Global Citizen dalam Merespon Permasalahan Dunia”, diselenggarakan pada hari Rabu (3/5). Seminar tersebut dihadiri oleh dua narasumber. Kedua narasumber tersebut, membawa materi yang menarik dan berhubungan dengan tajuk seminar. Salah satunya, Prof. Heddy.
Materi Prof. Heddy yang berjudul “Sastra, Etnografi, Film dan Masalah Kemanusiaan”, secara garis besar membahas tentang hubungan etnografi, film, dan kemampuan sastra sebagai jembatan dalam menyampaikan permasalahan kemanusiaan.
Dalam seminar tersebut, Prof. Heddy memulai pembahasannya dengan menjelaskan definisi insan sastra. Insan sastra merujuk pada orang-orang yang terlibat atau melibatkan diri dengan sastra. Pencipta sastra sebagai orang yang menghasilkan atau menciptakan karya sastra, peneliti sastra sebagai orang yang mengkaji karya sastra, dan penikmat karya sastra yang (mungkin) hanya “menikmati” karya sastra tersebut.
Prof. Heddy menjelaskan, “Insan sastra itu, ya, mungkin yang paling gampang, pencipta karya sastra, kemudian adalah peneliti, mas (dan) mba di sini yang mengkaji sastra, itu adalah insan sastra juga, kemudian ada penikmat sastra.”
Selanjutnya, beliau menjelaskan definisi dari sastra. Secara luas, sastra adalah karya seni dengan medium berupa bahasa. Medium bahasa ini berarti secara lisan maupun tulisan. Hal ini membuat karya sastra menjadi sebuah jembatan untuk insan sastra mentransfusikan kebudayaan suatu kolektif.
“Saya ambil definisi yang relatif luas, jadi di sini adalah, a body of work that transmits culture, suatu karya yang menyampaikan budaya atau mentransfusikan budaya dan ini ada yang written tertulis, ada yang visual, dan ada yang oral,” jelas Prof. Heddy
Dalam hubungan antara sastra dan etnografi, Prof. Heddy menjelaskan bahwa sastra dan etnografi tidak memiliki batasan yang begitu jelas. Hal ini karena dalam etnografi terdapat subjektivitas kultural yang membuat etnografi itu dapat disebut sebagai karya sastra.
“Orang dulu mengatakan bahwa etnografi itu harus objektif, saintifik, tapi orang sekarang mempertanyakan, apa itu objektif? apa itu saintifik? Karena ketika kita menuliskan dengan kebudayaan maka kemudian banyak hal yang sebetulnya, yaa dalam tanda kutip fictional.”
“Karya sastra, etnografi, tidak mungkin objektif lagi. Dia pasti punya subjektifitas, yang nomor satu adalah subjektivitas kultural (atau) budaya, karena apa? etnografi lewat bahasa dan bahasa itu pasti kultural. Kita menulis etnografi dalam bahasa indonesia lain dengan nulis etnografi dengan bahasa inggris. Lebih sulit lagi dengan bahasa Jawa.”
Lebih dalam lagi, Prof. Heddy menjelaskan batasan yang kabur antara etnografi dan sastra melalui contoh-contoh dari buku etnografi. Salah satunya milik Oscar Lewis yang berjudul “Lima Keluarga”. Tulisan itu berisi tentang hasil penelitian mengenai kemiskinan di kalangan Puerto Rico dan Mexico yang berada di San Juan dan di kota New York. Hal itu diungkapkan dengan tulisan yang menceritakan keseharian keluarga tersebut.
Prof. Heddy menjelaskan bahwa dalam memaparkan hasil penelitian budaya kemiskinan, Oscar Lewis tidak menyajikan pemaparannya dalam bentuk analisis kuantitatif atau data statistik. Namun, Oscar Lewis benar-benar menceritakan kisah dan keadaan kemiskinan dari kolektif tersebut secara riil berdasarkan sudut pandang “orang miskin” itu.
“Ketika Oscar Lewis membahas mengenai kemiskinan ini, dia tampilkan tidak dalam bentuk analisis kuantitatif, kemudian tabel-tabel dan sebagainya, tetapi dia tunjukkan, ini lho budaya miskin,” jelas Prof. Heddy.
Disampaikan lebih lanjut, pemaparan seperti Oscar Lewis membuat penelitian semakin terasa riil dan menjelaskan posisi dan cara pandang suatu kolektif terhadap kehidupannya. Tidak seperti data-data yang terasa etnosentris dan juga menyamaratakan segala pandangan pada standar tertentu yang tidak selalu mewakili pandangan budaya-budaya lain.
“… wong Jowo itu prinsipnya sugih (kaya) tanpa bondo (harta), o. Kalau sugih (kaya) akeh (banyak) bondo (harta). Sugih (kaya) itu nggak perlu pakai akeh (banyak) bondo (harta). Ya, kalau orang Jawa mah, sugih (kaya) itu tanpa bondo (harta). Nah, tanpa bondo (harta) itu secara statistik miskin, tetapi orang Jawa merasa dirinya sugih (kaya),” Prof. heddy menjelaskan.
Sebagai insan sastra, mempelajari dan menggambarkan kebudayaan kolektif dari sudut pandang mereka adalah hal yang bagus untuk dilakukan. Dengan cara tersebut insan sastra dapat lebih memahami dan menghargai apa yang benar dan sesuai bagi suatu kolektif.
“Kehidupan orang india, kehidupan gelandangan, kehidupan orang miskin itu tidak bisa kita rendahkan begitu saja, tapi perlu juga kita pahami (dan) kita teliti sehingga kita bisa menghargai mereka, ini yang sangat penting.”
Dari pemaparan itu, dapat diartikan bahwa masyarakat dapat mengawali kesadarannya akan permasalahan kemanusiaan dengan menjadi insan sastra, sebagai penikmat sastra. Dengan langkah awal tersebut insan sastra sudah meluangkan waktu untuk lebih perhatian dalam masalah kemanusian. Dengan ini, insan sastra harus melihat dari sudut pandang lain dan mempelajari hal yang jauh berbeda dengan yang dirasakan sehingga insan sastra dapat memahami dan menghargai kebudayaan lain.
Berdasarkan contoh etnografi dan penjelasan lengkap dari Prof. Heddy, tulisan etnografi yang menggunakan elemen-elemen sastra atau “nyastra” membuktikan bahwa sastra itu bisa menjadi salah satu sarana atau jembatan yang tepat untuk menyampaikan realitas dalam sebuah permasalahan.
Berikutnya, Prof. Heddy mengakhiri materinya dengan pertanyaan akan adanya kemungkinan-kemungkinan genre baru dalam sastra, seperti sastra etnografi, sastra sosial, atau sastra kemiskinan.
“Terakhir, muncul pertanyaan. Genrenya berarti harus nambah mungkin. Genre-genresastra itu harus dikembangkan lagi dengan membaca etnografi dan mungkin akan muncul sastra etnografi.”
Editor : Catharina Menur Sekar Putih