Saat itu, aku dan temanku, Lian, sedang bermain tali merdeka. Kami bermain hingga tak terasa hari sudah menjelang sore, mungkin sekitar jam 5. Mama Lian tiba-tiba memanggil anaknya untuk pulang dan mandi, “Lian, cepat pulang!!”
“Iya, Ma,” jawab Lian.
“Eh, Lan, aku harus pulang dulu. Mamaku udah manggil. Nanti setelah aku selesai mandi, aku ke sini lagi kok,” katanya kepadaku.
“Bener yaa …. Entar kalo udah selesai bersih-bersihnya, ke sini lagi yaa …,” balasku.
“Iya, iya …. Nanti aku panggil kamu dehh!” katanya lagi.
Setelah Lian pulang ke rumahnya, aku akhirnya mandi. Lalu, aku menunggunya di halaman rumahku. Papa tiba-tiba datang dan meminta bantuanku untuk memegang bambu yang akan digergajinya. Saat itu juga, terdengar suara yang memanggil namaku bertepatan dengan suara azan magrib.
“Laniaaa ….” Suara itu terdengar sayu, tapi aku tahu suara siapa itu. “Itu Lian! Apakah dia sudah selesai mandi?” pikirku. Jadi, aku keluar menuju tempat di depan halaman rumahku yang dipenuhi jejeran rumpun bambu.
Namun, sesampainya di sana, aku tidak mendapati siapa pun. “Apa aku salah ya? Mungkin dia masih membantu mamanya setelah mandi?” pikirku lagi. Setelah itu, aku terus membantu Papa memotong bambu, hingga tiba-tiba terdengar lagi suara itu memanggilku, “Laniaaa!!” Kali ini suaranya lebih keras. Aku tertegun, tapi aku masih berpikir positif kali ini, pasti tidak salah lagi. Aku bergegas kembali ke rerumpunan bambu untuk melihat, tapi tidak ada satu pun orang di sana.
Aku bingung. “Apa aku salah lagi yaa? Tapi gimana bisa? Itu jelas-jelas suara Lian.” Aku pun kembali dan bertanya kepada Papa, “Pa, tadi papa ada dengar Lian manggil aku ngga?”
“Ha? Siapa yang manggil? Jangan sembarangan. Kamu mungkin salah dengar, lagipula ini sudah malam. Untuk apa dia manggil kamu?” tanya Papa balik.
“Aku ada janjian sama dia. Nanti kalo dia udah mandi, dia datang main ke sini,” jawabku.
“Sudahlah … mungkin dia tidak akan datang. Lagipula mamanya tidak akan mengizinkan dia mau ke sini malam-malam,” kata Papa.
Aku akhirnya mengurungkan niatku untuk menunggunya. Mungkin benar kata Papa, Lian tidak akan datang. Namun, yang tidak kusangka, terdengar suara lagi memanggilku untuk yang ketiga kalinya. Kali ini lebih keras dan agresif. Aku bahkan merasa suara itu berteriak tepat di samping telingaku, “Laniaaa!!!”
Aku terpaku. Tiba-tiba, perasaan merinding menyelimuti seluruh tubuhku sampai-sampai aku gagal fokus dan membuat tangan Papa yang sedang menggergaji berhenti. “Kenapa?” tanya Papa.
“Pa, papa bener ngga dengar suara? Aku dengar ada orang manggil aku dari tadi …,” kataku pada Papa. Papa saat itu sepertinya melihat ada yang tidak beres denganku. Ia pun langsung menyuruhku masuk. Aku akhirnya masuk dan menonton TV, berusaha menghilangkan suara itu dari benakku.
Keesokan harinya, setelah sekolah selesai, aku melihat Lian datang. Tanpa basa-basi, aku langsung bertanya, “Kamu kemarin kenapa ngga datang? Aku udah nungguin kamu lohhh ….”
“Aahh, maaf ya, Lan …. Soalnya kemarin setelah aku selesai mandi, aku ada bantuin ayahku ambil air. Padahal kemarin aku liat kamu loh …. Kamu bantuin ayahmu lagi gergaji bambu kan?” katanya.
“Loh gimana kamu tau? Padahal kemarin aku ngga liat kamu angkat air. Aku hanya liat ayahmu aja loh padahal,” kataku. Aku pun berpikir, “Jadi yang manggil aku kemarin itu siapa? Kok suaranya mirip banget dengan Lian?” Setelah kejadian itu, aku enggak berani keluar dari halaman menjelang azan magrib.
Editor: Laetitia Sugestian