Halo semua, di sini aku ingin membagikan sedikit ceritaku sebagai anak rantau di Jogja. Sebagai anak rantau, aku perlu beradaptasi secara perlahan pada lingkungan sekitar Jogja. Tentu saja aku harus mempelajari hal baru di kota Jogja karena aku akan berkuliah dan bertahan hidup. Selama aku berada di Jogja, terdapat salah satu hal yang membuatku cukup terkejut tetapi harus dibiasakan. Hal tersebut adalah mengenal karakteristik rasa makanan yang ada di Jogja.
Menurutku, karakteristik rasa makanan yang disajikan di Jogja berbeda dengan makanan yang disajikan di daerah asalku. Kebanyakan makanan di Jogja dominan ke manis meskipun makanan pedas pun tetapi rasa manis masih ada. Sementara itu, makanan di daerah asalku jika makanan manis ya manis, jika asin gurih ya asin gurih.
Pernah suatu hari aku memesan seporsi mie. Dalam bayanganku hanya seporsi mie dengan rasa asin gurih dan bisa diberi saus sesuai dengan seleraku. Namun sewaktu aku memakan mie tersebut pada suapan pertama, bayangan awal tentang mie di pikiran ku langsung buyar. Mie yang kumakan memiliki rasa yang manis, bahkan terlalu manis untukku. Saat itu juga aku mengalami shock dengan rasa makanan yang lebih ke rasa manis dibandingkan asin gurih.
Selain itu, aku juga pernah dikagetkan dengan melihat makanan cap jae. Waktu itu, belum satu bulan aku berada di Jogja dan mendapat nasi kotak di sebuah acara. Aku buka kotak makannya dan melihat ada makanan berwarna putih di kotak makanku. Melihat bentuk dan warna makanan yang asing dalam otakku, aku bertanya kepada orang lain, “Ini apa?”. Lalu orang itu menjawab, “Ini capcay.”
Baca juga: Dinamika Bersama Mahasiswa Universitas Swinburn: Kuliah Umum dan City Tour
Mendengar jawabannya, aku shock setengah mati. Isi kepalaku mempertanyakan banyak hal tentang capcay yang akan kumakan ini. Mana ada warna capcay pucat begini. Capcay itu isinya berbagai macam sayuran, setidaknya ada sawi, wortel, sama kembang kol. Lah, kok ini warnanya hanya putih? Saat aku coba pun, “kok teksturnya lembut?” Gampang dikunyah, sangat berbeda dengan sayur yang butuh effort untuk dikunyah. Akhirnya, aku mendapat jawaban dari seseorang yang juga berasal dari luar daerah dan sudah lama menetap di Jogja. Dia menjelaskan kalau kemungkinan makanan tersebut bernama cap jae. Masakan yang ada di kotak makanku itu sebetulnya tepung yang dimasak, makanya warnanya putih.
Selanjutnya, aku lumayan sering makan makanan non halal di tempat asalku. Ketika sampai di Jogja, aku coba mencari makanan yang biasa aku makan di daerah asalku untuk mengobati rasa rindu dengan kampung halaman. Tapi, mencari makanan non halal disini lumayan susah karena pilihannya lebih sedikit jika dibandingkan dengan pilihan tempat di daerah asalku.
Walaupun aku harus beradaptasi dengan makanan di Jogja, aku tetap menemukan nilai tambah pada kuliner di Jogja. Tidak seperti harga makanan yang ada di tempat asalku, harga makanan di Jogja cenderung sangat murah. Kerabatku pernah membeli nasi dan sayur di warung tegal (warteg) dan harganya hanya sekitar Rp7.000! Mana ada harga makanan yang seperti itu di tempat asalku. Selain murah, porsi makanan di Jogja juga kadang-kadang banyak dan membuat ku kenyang.
Terkadang aku masih tetap rindu dan terbayang rasa makanan yang ada di tempat asalku. Meskipun begitu, saat ini aku sudah mulai bisa terbiasa dan menikmati makanan-makanan yang ada di Jogja.
Editor : Maria Tatag Prihatinningtyas Wigati