Bahasa G merupakan salah satu jenis ragam bahasa informal atau bisa dikatakan sebagai ragam bahasa G. Ragam Bahasa G ini dipakai di kalangan anak-anak sampai anak muda pada tahun 90-an. Namun, ragam bahasa yang kerap menjadi kode rahasia dalam suatu kelompok pertemanan ini pun kembali muncul di kalangan anak 2000-an. Munculnya bahasa G disebabkan oleh kebiasaan menggosip anak-anak tahun 2000-an dengan tujuan agar objek yang menjadi topik pembicaraan tidak memahami apa yang sang penggosip bicarakan. Dengan kata lain, bahasa G juga dapat disebut sebagai slang anak 2000-an.
Cara Memahami Bahasa G
Bahasa slang anak 2000-an ini tentu memiliki formula atau rumus penggunaan bahasanya. Untuk memahami Bahasa G, pengguna cukup menyisipkan bunyi [g] dan menambahkan bunyi vokal sesuai dengan bunyi akhir pada setiap suku kata dalam bahasa Indonesia. Contohnya, kata bisa terdiri atas dua suku kata bi-sa. Kemudian, untuk mengubahnya ke dalam menjadi bahasa G, pengguna cukup menyisipkan dan menambahkan bunyi [g] pada setiap suku kata tersebut, yaitu bi-gi-sa-ga maka akan menghasilkan kata bigisaga.
Dalam kasus lain, seperti kata yang memiliki suku kata tertutup, maka bunyi konsonan di akhir suku kata tersebut akan digabung dengan bunyi [g] dan bunyi vokal pada suku kata tersebut. Contoh, kata bambu yang terdiri atas dua suku kata bam dan bu. Kata bambu ketika diterjemahkan ke dalam bahasa G, maka akan menjadi ba-gam-bu-gu. Kosakata pertama pada kata bambu merupakan kosakata tertutup dengan akhiran bunyi [m]. Untuk mengubah kata bambu tersebut, maka suku kata bam yang tertutup, diubah menjadi suku kata yang terbuka dan bunyi akhiran [m] tersebut digabung dalam sisipan bunyi [g] sehingga diperoleh ba-gam. Dengan demikian, kata bambu yang diterjemahkan ke dalam bahasa G akan menjadi kata bagambugu.
Bahasa G sebagai Media untuk Membicarakan Orang Lain
Ragam bahasa G merupakan ragam bahasa yang unik. Saking uniknya, ragam bahasa G ini mendapat beberapa respons dan tanggapan menarik dari para penggunanya.
Ratri, salah satu pengguna bahasa G, mengatakan bahwa ia mulai mengenal bahasa G sejak kelas tiga atau empat sekolah dasar (SD). Ketertarikannya untuk mempelajari bahasa G disebabkan oleh dorongan dari lingkungan pertemanannya dengan tujuan untuk mengamankan rahasia verbal. Menurutnya, bahasa G merupakan bahasa yang unik karena strukturnya yang sederhana dan mudah dipahami, tetapi tidak semua orang paham dengan ragam bahasa tersebut sehingga ragam bahasa G mampu menjadi ragam bahasa yang dapat menyimpan sejuta rahasia dalam tuturan verbal.
“(Mulai mempelajari bahasa G) waktu SD kelas tiga atau empat,” ujar Ratri.
“Yang menarik dari bahasa G menurut saya karena bahasa G unik. Bahasa buatannya sederhana tapi belum tentu semuanya bisa paham bahasa G itu. Tertarik mempelajari bahasa G karena biasanya ketika berbicara dan berkomunikasi dengan teman-teman supaya lebih rahasia menggunakan bahasa G itu,” lanjutnya.
Selain Ratri, Velin, salah satu mantan pengguna bahasa G juga menceritakan mengenai bahasa G. Ia mulai mengenal bahasa G pada kelas empat SD karena melihat temannya yang kala itu berbicara dengan ragam bahasa G. Baginya, ragam bahasa G sangat menarik karena mudah dipahami dan menjadi kepuasan sendiri ketika fasih dalam berbahasa G.
“Saya pertama kali mengenal Bahasa G sewaktu masih kelas empat SD. Bermula dari teman saya yg berbicara dengan bahasa yg sedikit berbeda lalu saya bertanya ‘kamu ngomong bahasa apa sih?’ Lalu dia menjawab ‘barusan itu Bahasa G’. Dari situlah saya tau apa itu Bahasa G,” ujar Velin.
Sama halnya dengan Ratri dan Velin, Sabrina, selaku mantan pengguna ragam bahasa G ini pun mengatakan sejak kapan ia mengenal bahasa G, mengapa, dan untuk apa. Ia mengatakan bahwa dirinya mulai mengenal ragam bahasa G ketika duduk di bangku SD. Ia tertarik untuk mempelajari ragam bahasa tersebut karena kepuasan tersendiri. Menurutnya, ragam bahasa G merupakan fenomena bahasa yang mampu menjaga rahasia dalam bertutur bersama teman-temannya.
“Saya mengenal bahasa G itu, pertama kali waktu SD. Tapi, jujur, detailnya tuh kelas berapa, aku gak tau,” ucap Sabrina.
“Yang menarik dari bahasa G, kan karena bahasa G tuh, kayak, tren gitu kan, ya. Bahasa gaul. Jadi kayak asik, nih. Belajar bahasa gaul aja, misalnya mau kayak ngomong kayak, tentang orang lain. Nah, biar orang lain itu nggak tersinggung, jadi bisa lah, kita ngomong pake bahasa G,” lanjutnya.
Dalam wawancara bersama narasumber lainnya, Kenni, ia juga menceritakan pengalamannya sebagai alumni penutur ragam bahasa G. Ia mulai mengenal ragam bahasa G sejak SD. Ketertarikannya untuk belajar bahasa G, yaitu karena menurutnya ragam bahasa G merupakan fenomena bahasa yang unik dan karena fear of missing out (FOMO). Ia pun mengatakan bahwa ragam bahasa G merupakan ragam bahasa yang dapat digunakan untuk membicarakan rahasia dalam suatu kelompok pertemanan.
“Saya pertama kali mengenal bahasa G kira-kira di saat saya berada di bangku sekolah dasar dimana bahasa G sendiri tersebar akibat word of mouth. Saya tertarik pada bahasa G pada saat itu karena sedang tren pada masanya dan menurut saya itu merupakan bahasa yang sangat unik dan gampang-gampang susah untuk dipahami sehingga saya memiliki ambisi pada saat itu untuk memahami dengan betul akan bahasa G agar saya bisa berkomunikasi khususnya secara rahasia dengan teman-teman saya,” ujar Kenni.
Ragam Bahasa G itu Susah
Meskipun bahasa G merupakan bahasa yang menjadi tren pada tahun 2000-an, tetapi masih ada beberapa orang yang tidak mengerti bagaimana cara menggunakan bahasa G. Dari sekian banyak pengguna ragam bahasa G, ternyata masih banyak pula yang tidak mengerti dengan ragam bahasa G.
Salma, salah seorang yang tidak fasih dalam menggunakan ragam bahasa G meskipun pernah berada dalam lingkungan pertemanan yang menggunakan tersebut. Meskipun begitu, ia beranggapan bahwa ragam bahasa G merupakan ragam bahasa yang cukup menarik dan unik. Ragam bahasa G menciptakan kesan bahwa anak-anak tahun 2000-an memiliki bahasa sendiri. Namun, ketika dirinya sudah mulai dewasa dan mengingat orang-orang yang menggunakan ragam bahasa G, ia merasa orang-orang tersebut terlihat alay.
“Pertama, secara keseluruhan, ragam bahasa G itu cukup menarik dan unik. Jadi kesannya sebagai pengguna walaupun saya tidak pakai, jadi kalau ngeliat orang yang make itu kesannya kayak, punya bahasa kita sendiri. Buat kita-kita aja. Jadi kek unik gitu. Terus, dari ragam bahasanya, cara mereka membuat bahasa itu, cara mereka berkomunikasi dengan bahasa itu juga cukup menarik,” ucap Salma.
“Waktu kecil bilangnya keren. Sekarang kayak, apaan, sih… Karena udah lama gak ngedenger juga kan bahasanya. Jadi kayak, apaan, sih. Ngapain, sih. Ya, alay, cukup alay, sih. Kayak, biasa aja kalau ngomong karena ragam bahasa gaul udah berubah juga kan. Kan kita ada ragam bahasa gaul yang baru, kenapa masih pakai bahasa G,” lanjutnya.
Karena dirinya yang tak fasih dalam menggunakan ragam bahasa G dan tidak mengerti ragam bahasa G, ia merasa kesal ketika sedang berkumpul dan berdiskusi dengan teman-temannya. Ia merasa seolah dirinya tidak diajak bicara oleh teman-temannya. Selain itu, ia juga merasa terpaksa harus bisa menggunakan ragam bahasa G jika ingin bergaul dengan teman-temannya.
Alasan dibalik Salma tidak bisa dan tidak mau belajar ragam bahasa G karena ia menganggapnya terlalu rumit sehingga ia malas untuk memahaminya. Baginya, berkomunikasi cukup dengan menggunakan bahasa Indonesia saja dan tidak perlu menggunakan ragam bahasa G yang sulit untuk dipahami.
“Kenapa gue gak bisa? Karena ribet, gue gak ngerti, dan gua males. Udah gak usah. Kita pake bahasa Indonesia, kita pake bahasa Indonesia aja. Udah. Karena nyelisipinnya gak tau kayak gimana. Gak ada juga, les tempat belajar bahasa G kan gak ada, ya. Kan agak susah, ya,” jelas Salma.
Selain Salma, Novita, yang juga tidak menggunakan ragam bahasa G, tetapi pernah berada dalam kelompok yang menggunakan bahasa tersebut, menyatakan bahwa ragam bahasa G sulit dipahami. Meskipun ia telah memahami konsep ragam bahasa G, ia tetap kesulitan untuk mempraktekannya dalam komunikasi.
“Jujur, waktu dulu tau, itu sebenernya susah banget, ya karena orang banyak ‘gagugagu’ itu, agak gak ngerti mereka ngomong apa. Dan setelah dikasih tau tadi, aku baru tau kalau ternyata cara ngomongnya tuh gitu. Cuman, pas mau dipraktekin, juga tetep susah, sih. Karena harus ditambah-tambah gggg gitu kan susah, ya walaupun udah ngerti konsepnya gitu, loh,” ujar Novita.
Selain itu, ia juga berpendapat tentang orang yang fasih berbahasa G. Menurut Novita, orang yang fasih berbahasa G agak aneh. Ia berpendapat bahwa jika bahasa G digunakan untuk membicarakan orang lain, lebih baik menggunakan bahasa daerah atau menjauh dari orang yang sedang dibicarakan.
Kesulitannya dalam memahami ragam bahasa G merupakan alasan mengapa ia tidak fasih dalam berbahasa G. Novita menjelaskan bahwa temannya sudah berkali-kali menjelaskan cara menggunakan ragam bahasa G kepadanya. Namun, dirinya ia tetap tidak memahaminya.
“(Alasan tidak fasih berbahasa G) karena waktu aku tau tentang bahasa G itu waktu sekitar SD, ya. Dan aku walaupun udah dijelasin tetep gak ngerti karena bahasa anak SD taulah, gimana, ya. Jadi, ya gak ngerti walaupun udah dijelasin,” tutur Novita.
Ragam Bahasa di Mata Para Ahli Bahasa
Bahasa G merupakan salah satu ragam kebahasaan yang termasuk dalam fenomena ragam bahasa. Lantas, apa itu ragam bahasa? Bagaimana ragam bahasa dapat terjadi? Untuk apa ragam bahasa itu ada? Dan apa dampak positif dan negatif dari adanya, berkembangnya, dan bertambahnya jenis ragam bahasa? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, marilah kita simak penjelasan mengenai ragam bahasa dari dua tokoh yang bergerak di bidang linguistik.
Menurut Profesor Praptomo Baryadi Isodarus, atau yang kerap kali dipanggil Pak Praptomo, selaku profesor dan dosen linguistik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, ragam bahasa adalah variasi penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar bahasa.
“Ragam bahasa adalah variasi penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar bahasa,” ucap Pak Praptomo.
Ragam bahasa merupakan fenomena bahasa yang terjadi di dalam masyarakat. Fenomena tersebut terbentuk dari beberapa faktor, seperti faktor usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial, asal daerah, individu, dan faktor situasi.
“Faktor-faktor (yang membentuk ragam bahasa) tersebut, antara lain faktor usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial, asal daerah, individu dan faktor situasi,” ujar Pak Praptomo.
Beliau juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan faktor-faktor yang membentuk ragam bahasa, seperti faktor usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial, asal daerah, individu, dan faktor situasi.
Beliau menjelaskan, bahwa faktor usia dalam ragam bahasa perbedaan usia pengguna bahasa. Misalnya, pemilihan kata ketika berbicara dengan anak-anak akan berbeda dibandingkan saat berbicara dengan orang tua.
“Saya mulai dari faktor usia, itu ada ragam bahasa anak, contohnya kalau tidur itu bobok, kalau makan maem, kalau buang air kecil pipis. Juga ada ragam bahasa remaja. Bahasa gaul, bahasa prokem. Tentu, ada pula ragam bahasa dewasa atau orang tua,” ucap Pak Praptomo.
Faktor kedua adalah jenis kelamin. Pak Praptomo menjelaskan bahwa faktor jenis kelamin mempengaruhi ragam bahasa karena perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, intonasi bicara laki-laki cenderung lebih berat dibandingkan dengan perempuan, dan terdapat perbedaan leksikon antara keduanya.
“Faktor kedua, jenis kelamin. Ada ragam. Ragam itu kan jenis, macam. Ada perbedaan variasi bahasa antara laki-laki, perempuan, dan waria. Baik dari segi variasi bunyi, mungkin ada variasi leksikon. Jadi, kalau pria, itu volume suaranya lebih berat daripada volume suara wanita, tapi pada umumnya. Tentu, kecualian nada, ya. Lalu ada leksikon-leksikon yang khusus berkaitan dengan pria, ada yang berikatan dengan wanita. Ini sering disebut bahasa dan gender. Ada juga bahasa dan bias gender,” ujar Pak Praptomo.
Faktor ketiga, yaitu faktor pekerjaan. Pak Praptomo menjelaskan bahwa pekerjaan memengaruhi ragam penggunaan bahasa, seperti petani akan lebih menguasai kata-kata atau istilah-istilah pertanian dan seorang dokter akan sangat memahami istilah-istilah dalam bidang kesehatan.
“Faktor yang ketiga, pekerjaan. Pekerjaan bisa memengaruhi ragam penggunaan bahasa. Ini yang disebut dengan register. Register itu adalah ragam bahasa yang dipengaruhi oleh faktor pekerjaan atau keahlian. Contohnya seorang petani akan mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan pertanian lebih detail. Seorang dokter akan lebih mengenal istilah-istilah bidang kedokteran, kesehatan lebih detail. Itu register,” jelas Pak Praptomo.
Faktor keempat, yaitu faktor status sosial. Faktor sosial juga menjadi salah satu faktor memengaruhi ragam penggunaan bahasa. Misalnya, dalam masyarakat jawa, orang yang status sosialnya lebih rendah ketika berbicara dengan yang berstatus sosial tinggi, wajib menggunakan bahasa Kromo. Di sisi lain, ketika orang berstatus sosial tinggi dan hendak berbicara dengan orang yang berstatus sosial rendah, maka akan menggunakan ragam bahasa Ngoko.
“Terus faktor berikutnya, status sosial. Ini juga memengaruhi ragam penggunaan bahasa atau variasi penggunaan bahasa. Status sosial itu bisa status sosial kedudukan di masyarakat. Tentu kalau orang yang kedudukan sosialnya lebih tinggi, memiliki penggunaan ciri khas bahasa yang berbeda. Contohnya kalau bahasa Jawa itu kalau orang yang status sosialnya lebih tinggi, dari orang yang berbicara status sosialnya lebih rendah, pake ragam Krama, ragam halus. Tapi dari status sosial yang lebih tinggi, berbicara dengan status sosial yang lebih rendah, kadang menggunakan bahasa Moko (Ngoko), bahasa yang biasa,” tutur Pak Praptomo.
Faktor kelima yang juga memengaruhi penggunaan ragam bahasa adalah faktor daerah, yang biasa dikenal dengan sebutan dialek. Hal ini terlihat dari perbedaan cara berbicara antara orang Yogya dan orang Solo ketika menyebut kata “iya.” Orang Yogya menyebut “iya” dengan inggih sedangkan orang Solo menyebutnya dengan njih. Perbedaan inilah yang disebut dialek, yang menjadi salah satu faktor terciptanya ragam bahasa.
Faktor keenam, yaitu faktor individu. Dalam penjelasannya, Pak Praptomo mengatakan, faktor individu adalah faktor yang menunjukan ciri khas penggunaan bahasa yang dimiliki oleh setiap individu. Ragam bahasa yang disebabkan oleh faktor individu tersebut disebut dengan idiolek.
“Faktor individu juga menunjukkan ciri khas penggunaan bahasa individu yang bersangkutan. Nah, ragam bahasa yang disebabkan oleh faktor individu ini disebut idiolek,” tutur Pak Praptomo.
Faktor yang terakhir, yaitu situasi. Faktor situasi merupakan faktor yang memengaruhi penggunaan ragam bahasa. Seperti halnya, dalam situasi formal dan nonformal tentu orang akan menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Dalam situasi formal, orang akan menggunakan ragam bahasa baku sedangkan dalam situasi nonformal, orang akan menggunakan ragam bahasa informal atau tidak baku.
“Dalam situasi formal, orang menggunakan menggunakan bahasa yang berbeda, artinya variasinya berbeda dengan ketika orang menggunakan bahasa dalam situasi formal. Kalau ngobrol-ngobrol biasa harus pake bahasa formal, bahasa baku kan malah tidak akrab. Keakraban itu masuk (dalam faktor) situasi,” ucap Pak Praptomo.
Fenomena ragam bahasa ini terbentuk atas dua hal yaitu, disengaja dan tidak disengaja atau secara alamiah. Menurut Pak Praptomo, ragam bahasa memang terbentuk secara alamiah maupun direncanakan. Beliau mengatakan, pada mulanya ragam bahasa terbentuk secara alamiah yang kemudian disepakati (konvensi) secara bisu. Kesepakatan secara bisu ini berarti secara diam dan tidak melalui rapat. Namun, ia juga mengatakan bahwa ragam bahasa juga ada yang terbentuk karena direncanakan.
“Ragam bahasa itukan muncul secara alamiah. yang pertama itukan secara alamiah. Karena bahasa itu milik masyarakat. Artinya milik masyarakat itu diciptakan, digunakan, dan diwariskan oleh masyarakat. pada umumnya itu diciptakan secara alami. Lalu, membentuk konvensi. Kesepakatan-kesepakatan yang alamiah. Kalau orang berkumpul, cenderung untuk menjalin komunikasi dengan anggota-anggota yang berkumpul membentuk komunitas itu. Yang menjadi media komunikasi secara alamiah. Tetapi ada juga ragam bahasa diciptakan tidak secara alamiah tapi direncanakan dibuat. Maka, dalam sosiolinguistik, itu language planning, perencanaan bahasa,” ujar Pak Praptomo.
Seperti yang sudah disinggung oleh Pak Praptomo, bahwa ragam bahasa terbentuk secara alamiah dan ada yang direncanakan. Pernyataan mengenai ragam bahasa yang terbentuk tidak secara alamiah atau direncanakan, kemudian dijelaskan oleh Pak F.X. Sinungharjo, yang kerap kali dipanggil Pak Sinung, selaku dosen pengampu mata kuliah Sosiolinguistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Menurut Pak Sinung, ragam bahasa yang terbentuk atas tujuan dan maksud tersendiri tertentu. Hal itu dapat dilihat dari segi formal dan informal. Ragam bahasa formal yakni sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan sedangkan ragam bahasa informal tidak sesuai dengan bentuk yang telah ditetapkan. Terbentuknya ragam bahasa formal bertujuan untuk meminimalisir ambiguitas dalam berbahasa sedangkan ragam bahasa informal juga dibentuk dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini, jelas bahwa ragam bahasa terbentuk karena adanya kebutuhan berbahasa dalam masyarakat yang kemudian disepakati.
“Kalau dibahas yang formal dan informal, kalau kita dari istilahnya from, itu kan bentuk. Berarti, ada bahasa yang ada cetakannya. Berarti, yang formal itu yang sudah dibentuk. Kenapa ada formal dan informal, karena ada orang (mem)bentuk bahasa itu harus seperti ini. Kenapa dibentuk? Karena mungkin ada tujuan tertentu, misalnya supaya nggak ambigu. Semua ragam, selain ragam yang dibentuk dan dibakukan itu, dianggap ragam informal. Nah, ini yang buat kita seolah-olah melihat bahasa itu ada dua. Padahal, bahasa itu sangat banyak ragamnya. Munculnya (ragam bahasa) karena kebutuhan,” jelas Pak Sinung.
Semakin banyak dan berkembangnya ragam bahasa dalam masyarakat tentu akan menimbulkan dampak positif dan negatif. Dalam wawancara bersama Pak Sinung, beliau menjelaskan dampak positif dan negatif akibat dari banyaknya ragam bahasa menandakan bahwa masyarakat memahami semangat zaman. Hal ini terkait dengan pernyataan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan. Dengan mengetahui semangat zaman, penutur juga memahami perkembangan zaman dan budaya di sekelilingnya sehingga memengaruhi pembentukan ragam bahasa.
“Positifnya, kita tau semangat zaman, Bahasa itu sangat terbentuk oleh kebudayaan atau penuturnya. Bahasa Indonesia mungkin salah satu bahasa yang tumbuh karena keinginan orang Indonesia untuk memiliki sebuah negara, sih. Salah satunya bahasa, bahasa Indonesia,” jelas Pak Sinung.
Selain dampak positif, perkembangan ragam bahasa juga memicu dampak negatif yaitu terkait keabadian bahasa tersebut. Ketika kita mendokumentasikan sebuah peristiwa menggunakan ragam bahasa yang sedang tren di masa tertentu, maka di kemudian hari, kita akan sulit untuk menerjemahkan dan memahami isi tulisan tersebut. Hal ini terjadi karena ragam bahasa bersifat sementara dan mudah tergantikan seiring perkembangan zaman.
“Kerugiannya, ketika teman-teman meninggalkan bahasa tulis. Temen-temen sekarang nulis pake bahasanya sendiri-sendiri, ya. Esok, suatu saat, apabila bahasa gaul, bahasa gaul itukan cepet mati. 300 tahun lagi, gak ada yang bisa baca itu,” tutur Pak Sinung.
Sulitnya Saat Bertemu dengan Bunyi [g] Lagi
Bahasa yang menjadi slang di kalangan anak muda pada tahun 2000-an ini sangat berguna untuk menjaga rahasia dalam kelompok pertemanan. Dengan menggunakan bahasa G, hanya sedikit orang yang memahami apa yang dikatakan, sehingga orang luar kelompok tidak dapat mengerti pembicaraan dalam kelompok penutur bahasa G tersebut.
Di samping kelebihannya yang mampu menyimpan segudang rahasia dalam kelompok pertemanan, bahasa G memiliki kekurangan dalam struktur pembentukan kata. Misalnya, kata-kata yang memiliki bunyi [g] akan mengalami pengulangan bunyi [g] ketika diterjemahkan ke dalam bahasa G, yang dapat menyulitkan pengucapan. Contohnya, kata gagak dalam bahasa G akan menjadi ga-ga-ga-gak (gagagagak). Kata lainnya seperti gagu, gugup, gagap, dan gigi akan menjadi gagagugu, gugugugup, gagagagap, dan gigigigi dalam bahasa G.
Ke mana Hilangnya Bahasa G?
Seperti yang dijelaskan oleh Pak Sinung, dalam subbab “Ragam Bahasa di Mata para Para Ahli Bahasa,” ragam bahasa yang terbentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat dan akan berubah ke ragam bahasa yang baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ragam bahasa G merupakan salah satu ragam bahasa yang muncul karena kebutuhan di kalangan anak muda pada tahun 2000-an.
Jika pengertian tersebut dikaitkan dalam fenomena ragam bahasa G, maka dapat ditemukan penyebab dari hilangnya ragam bahasa G, yaitu karena ragam bahasa G mulai tergantikan oleh berbagai jenis ragam bahasa lain yang lebih memenuhi kebutuhan penggunanya di zaman sekarang. Ragam bahasa yang menggantikan bahasa G sebagai slang anak muda 2000-an, antara lain bahasa terbalik seperti sabi, skuy, ngab, dan sebagainya, bahasa gaul ala anak Jakarta Selatan (Jaksel) seperti percampuran bahasa Inggris dan Indonesia (alih kode/code switching), dan fenomena bahasa unik lainnya yang menjadi tren di kelompok masyarakat tertentu.
Selain itu, salah satu faktor hilangnya bahasa G, yaitu kesulitan dalam pengucapan kata-kata yang memiliki dua bunyi [g], seperti yang telah dijelaskan dalam subbab “Sulitnya Saat Bertemu dengan Bunyi [g] Lagi.”
Jelasnya, fenomena bahasa G muncul sejak tahun 90-an dan kembali populer pada tahun 2000-an. Ragam bahasa G terbentuk dengan tujuan tertentu, yaitu untuk menyimpan rahasia dalam percakapan di dalam kelompok pertemanan tertentu. Dengan kata lain, ragam bahasa G merupakan slang di kalangan anak muda pada tahun 2000-an. Bahasa ini kemudian hilang karena beberapa faktor, yaitu kesulitan pengucapan kata-kata yang memiliki bunyi [g] secara berulang dan tergantikan oleh ragam bahasa baru yang muncul.
Editor: Catharina Menur Sekar Putih