Kesan Desi dan Wanti Menjadi Bagian Sastra Indonesia

Dari Vietnam dan Tiongkok terbang ke Indonesia untuk mempelajari budaya dan bahasa Indonesia, Wanti dan Desi mencoba beradaptasi di Universitas Sanata Dharma dan Yogyakarta. Program Darmasiswa membawa mereka mendapatkan kesempatan untuk sit in dalam mata kuliah Pengantar Kajian Budaya Indonesia di Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia. 

Desi dengan nama asli Huang Yuxian merupakan mahasiswa Tiongkok yang menerima beasiswa Darmasiswa di Sanata Dharma. Tidak jauh berbeda dengan mahasiswa berumur 21 tahun ini, Wanti, seorang mahasiswa Vietnam dengan nama asli Nguyen Thuc Quyin, juga mendapat kesempatan sit in setelah mengikuti beberapa rangkaian program Darmasiswa. 

Darmasiswa merupakan program beasiswa untuk pelajar asing di negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Program ini menawarkan kesempatan untuk mempelajari bahasa, budaya, dan seni Indonesia di salah satu universitas di Indonesia. Program ini dijalankan selama kurang lebih satu tahun. 

Program yang telah mereka jalani dari bulan September ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia secara langsung. Program ini didampingi oleh penutur asli bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mendukung pendidikan dengan prodi yang mereka ambil di negara asal. Desi mengambil prodi Bahasa Indonesia, sedangkan Wanti mengambil Studi Indonesia. 

“Karena jurusan saya Bahasa Indonesia. Jadi, ke Indonesia untuk belajar lebih dalam (tentang bahasa Indonesia),” ujar Desi. 

Tidak jauh berbeda dengan Desi, Wanti mengatakan, “Aku mau ke Indonesia untuk meningkatkan keterampilan bahasa Indonesia, seperti kemampuan mendengar, membaca.”

Wanti menambahkan bahwa kemampuan berbahasa Indonesia ini akan ia gunakan untuk melakukan penelitian tentang Indonesia. Hal ini tentunya berhubungan dengan studinya di Vietnam.

Program studi yang mereka pilih di negara asal membuat mereka telah memiliki kemampuan berbahasa Indonesia. Dengan program Darmasiswa ini, mereka kembali memperdalam kemampuan berbahasa Indonesia bersama Lembaga Bahasa Universitas Sanata Dharma.

Desi dan Wanti mengatakan bahwa terdapat lima bagian dalam pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu mendengar, membaca, berbicara, menulis, dan tata bahasa. Menurut Desi, tata bahasa menjadi bagian yang sangat membantunya untuk mengaplikasikan bahasa sebagai alat berekspresi, baik secara formal di dunia akademik, maupun dalam kehidupan sehari-hari. 

“Kita bisa belajar banyak ekspresi. Kami bisa menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari atau saat di sekolah atau lainnya. Tidak sekedar dari buku, kami juga bisa, misalnya, saat bertukar pesan kami bisa tahu banyak hal,” ucap Desi.

Mendalami Indonesia di Sastra Indonesia 

Hasil belajar bahasa Indonesia Desi dan Wanti semakin dimantapkan dengan mengikuti program sit in di kelas dengan mengikuti mata kuliah bersama mahasiswa Indonesia. 

Mata kuliah Pengantar Kajian Budaya Indonesia (PKBI) mereka pilih dengan motivasi untuk mempelajari budaya Indonesia. Harapannya, mata kuliah ini dapat membantu mereka mengenal kebudayaan Indonesia lebih dalam. Namun, kurangnya informasi dan pengetahuan mereka terhadap mata kuliah yang akan dipelajari membuat ekspektasi mereka terhadap mata kuliah tersebut tidak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi. 

“Aku khusus tentang budaya (program studi). Belajar khusus tentang budaya. Jadi, aku mau belajar lagi tentang budaya Indonesia. Aku berpikir, mata kuliah ini bakal memperkenalkan tentang budaya Indonesia, tentang semuanya, seperti itu,” jelas Wanti.

Ia menambahkan, “Akan tetapi, sedikit (kecewa) karena hanya tentang teori, tetapi teori budaya aku sudah belajar di Vietnam dulu. Gapapa seperti (memperkuat) pengetahuan aku, gapapa.”

Meskipun mata kuliah yang dipilih tidak sesuai dengan harapan, mereka tetap merasa proses perkuliahan di kelas cukup menyenangkan. Hal ini karena pembawaan dosen pengampu santai dan penuh tawa. Teori yang sulit dapat dipahami dengan baik melalui contoh-contoh yang relatable.  

“Dia sangat lucu karena dia mencoba untuk membuat teman mahasiswa bisa paham apa yang terjadi, tentang teorinya. Mungkin dia juga tahu pula teori itu sedikit susah, ya, tentang orang-orang baru belajar Indonesia. Jadi, dia membuat contoh yang kami sudah tahu,” ujar Wanti. 

Penyampaian materi kuliah dengan bahasa Indonesia, membuat mereka memiliki cara belajar tersendiri. Dengan kompak, mereka mengatakan bahwa materi kuliah yang dipelajari kembali mereka ulas dengan menerjemahkan ke bahasa asal mereka. Selain itu, di kelas, Wanti biasanya mencatat penjelasan dosen menggunakan bahasa Vietnam karena merasa kurang cukup jika mengandalkan materi presentasi yang telah ia terjemahkan.

Selama kurang lebih sepuluh pertemuan, mereka mengakui bahwa materi dari perkuliahan ini memang sulit, belum lagi harus menerjemahkan materinya. Meskipun demikian, mereka merasa bahwa kelas PKBI memiliki suasana yang cukup menarik karena para mahasiswa ternyata begitu responsif.

“Kalau di universitas saya, beberapa kelas tidak wajib dipilih. Kalau ini sedikit membosankan, tidak banyak respons (dari mahasiswa), tapi kelas ini, saya pikir … mahasiswa di kelas, mereka akan merespons dosen, semua pertanyaanya,” ujar Desi.

Terlepas dari persoalan ekspektasi yang tidak terpenuhi, mereka tetap merasa mata kuliah ini memberikan manfaat. Menurut Wanti, setelah mengikuti mata kuliah ini, ia menemukan teori-teori yang belum ia pelajari sebelumnya sehingga pengetahuannya tentang teori budaya menjadi lebih mendalam.

“Karena ada teori-teori yang aku belum belajar dulu, jadi, aku bisa tahu lebih dalam teori-teori budaya,” ucap Wanti. 

Wanti dan Desi dengan kompak menyampaikan keinginannya untuk mengambil mata kuliah yang berkaitan dengan budaya jika memiliki kesempatan untuk kembali sit in di Prodi Sastra Indonesia. 

Pengalaman Mengenal Indonesia, Sistem Studi, hingga Rekreasi ke Kampung Dewasa 

Berbicara tentang sit in, Wanti dan Desi juga memiliki pengalaman sit in di program studi lain di Sanata Dharma. Wanti mengatakan bahwa ia juga mengambil mata kuliah Sejarah Pergerakan Nasional dari Prodi Sejarah. Sementara itu, Desi mengambil mata kuliah Morfologi dari Prodi Sastra Indonesia dan Sejarah Kontemporer serta Antropologi dari Prodi Sejarah.

Selama beberapa pertemuan dan ujian tengah semester yang diselenggarakan pada 15–19 April 2024, pengalaman sit in ini membuat mereka bisa melihat dan mengalami  pola studi di Universitas Sanata Dharma. Menurut Desi, sistem belajar di Indonesia memiliki pola, yaitu studi materi kuliah, ujian tengah, materi kuliah, dan diakhiri dengan ujian akhir. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pola studi di Tiongkok. Berbeda dengan Desi, Wanti mengatakan, bahwa di University of Social Sciences and Humanities hanya terdapat satu ujian di akhir pembelajaran.

“Hanya belajar dan ujian akhir. Tapi, pengetahuannya sangat-sangat berat karena dari awal sampai akhir. Ada banyak,” jelas Wanti. 

Kegiatan sit in yang mereka jalani  menambah pengalaman mereka menggunakan fasilitas-fasilitas di Sanata Dharma, seperti ruang kelas dan perpustakaan. Desi dan Wanti berbagi pengalaman mereka akan hal tersebut. Bagi Desi, ruang diskusi di Perpustakaan Sanata Dharma merupakan satu hal yang baru baginya. 

“Semua ruangan (perpustakaan di kampusnya) hanya untuk belajar sendiri dan harus tenang,” ujar Desi. 

Selain itu, Wanti menambahkan bahwa perpustakaan di Sanata Dharma terlihat cukup modern. 

“Karena kalau di Vietnam perpustakaannya hanya ada satu lantai aja,” ujarnya. 

Selain terhadap fasilitas kampus yang mereka rasakan selama kegiatan belajar, mereka juga memiliki kesan terhadap kegiatan nonakademik di Lembaga Bahasa. Selain kegiatan belajar bahasa dan budaya Indonesia secara formal di kelas, mereka memiliki kegiatan tambahan sebagai selingan dan hiburan. Kegiatan ini tetap dilakukan dalam rangka mengenal Indonesia lebih dalam. 

“Dari Lembaga Bahasa, mereka membawa kami ke Kampung Dewasa. Kami membuat batik dan berkeliling desa itu dan juga ada kelas memasak,” cerita Desi. 

Kelas memasak yang mereka lakukan tentunya berhubungan dengan masakan Indonesia. Mereka mengatakan bahwa soto, bakwan, dan es kuwut menjadi menu yang mereka masak.  Di samping membatik dan memasak, mereka juga bercerita bahwa mereka diajak berkunjung ke salah satu media televisi. 

“Kemarin kami (juga) ke TVRI,” lanjut Desi.

Adaptasi Budaya dan Lingkungan 

Tinggal di lingkungan yang baru, Desi dan Wanti mengaku bahwa mereka mengalami dinamika yang beragam dalam beradaptasi, terutama dalam aktivitas sehari-hari. Misalnya, ketika Desi berjalan melewati jalanan yang dipadati kendaraan bermotor dan menghadapi perbedaan sistem lampu lalu lintas antara jalanan di Indonesia dan Tiongkok. Mengingat jumlah pengguna kendaraan bermotor di Tiongkok lebih sedikit daripada Indonesia, Desi merasa perlu berhati-hati ketika menyebrang jalan. 

Setelah menetap di Indonesia selama kurang lebih delapan bulan, Desi dan Wanti juga menyadari perbedaan cuaca di Indonesia. Desi mengungkapkan bahwa di negara asalnya, ketika musim panas, ia akan merasakan hawa panas sepanjang hari bahkan ketika malam hari. Di Indonesia ia merasa cukup nyaman karena cuaca malam terasa sejuk meskipun ketika musim panas.

Di sisi lain, Wanti tampaknya menyoroti cita rasa makanan Indonesia yang cenderung pedas. Sebagai seseorang yang tidak bisa mengonsumsi makanan pedas, Wanti berusaha untuk memilih makanan yang aman dan cocok dengan seleranya. Meskipun begitu, Wanti dan Desi sempat mencoba kuliner ayam geprek di sekitar kampus yang ternyata memberikan kesan menarik antara rasa pedas dan manis yang menyatu. Selama di Indonesia, sudah banyak makanan lokal yang mereka coba, di antaranya sate ayam, soto, dan yamie panda.

Berkaitan dengan budaya lokal, Wanti mengungkapkan bahwa Yogyakarta masih kental dengan budaya tradisionalnya. 

“Rasanya Jawa banget,” tuturnya mengenai suasana di kota istimewa ini. 

Keduanya juga sempat berkunjung ke beberapa destinasi budaya dengan pertunjukan tradisional, seperti pertunjukan drama Ramayana di Museum Sonobudoyo dan wayang kulit. Namun, tampaknya Desi dan Wanti cukup kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan pertunjukan berbahasa Jawa sehingga keduanya tidak dapat memahami isi cerita atau pertunjukan dalam waktu singkat. 

Kesan dan Keinginan untuk Kembali 

Desi dan Wanti mengungkapkan rasa bersyukurnya selama mengikuti kegiatan sit in ini. Desi merasa tahun ini adalah tahun yang paling menyenangkan baginya karena berkesempatan untuk hidup di lingkungan yang baru dan memiliki teman-teman baru. 

“Karena tahun ini adalah tahun yang paling menyenangkan untuk saya. Saya pikir, ketika saya kembali (ke negara asal) nanti, saya akan merindukan semua orang, saya akan merindukan mereka (teman-teman baru),” ucap Desi. 

Semua pengalaman dan kenangan yang mereka peroleh tampaknya akan memberikan kesan yang membekas dan sulit untuk dilupakan. 

“Karena, setiap orang saya kenal, saya dan mereka pergi bersama-sama. Rasanya semuanya baru saja terjadi kemarin. Itu akan menjadi kenangan yang indah. Karena ini kali pertama saya pergi ke luar negeri untuk belajar, hal ini jadi sesuatu yang penting bagi saya. Hal ini juga mengubah diri saya,” lanjut Desi. 

Wanti mengungkapkan, “Wah, Indonesia benar-benar negara yang bagus. Semuanya sangat baik, semua orang sangat ramah, bahkan dosen dan mahasiswa di sini lebih terbuka dan menyenangkan.” 

Melihat ke depan, keduanya tampak berencana untuk kembali ke Indonesia setelah mereka lulus nanti. Wanti sendiri berencana kembali ke Indonesia untuk menekuni pendidikan pascasarjana dan berkemungkinan kembali memilih Universitas Sanata Dharma karena merasa cocok dengan lingkungan dan sistem belajarnya. 

Berbeda dengan Wanti, Desi memilih untuk langsung bekerja ketika ia lulus. Ia mengungkapkan bahwa pekerjaan itu juga pasti akan berhubungan dengan Indonesia dan menggunakan bahasa Indonesia. 

Redaktur: Salma Syafira dan Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita

Editor: Maria Tatag Prihatinningtyas Wigati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *