Janji Senja: Kesetiaan Jadi Boneka Kehidupan

Janji Senja dimulai dengan adegan suatu tempat yang terpancar melalui satu cahaya di latar itu membayangi kegelapan di area kanan-kirinya menampakkan suasana pagi. Pancaran setiap hal yang hadir berhadapan langsung dengan cahaya itu. Akan tetapi, cahaya tersebut tiba-tiba meredup. Semua bayangan yang ada hilang tak bersisa. Berubah menjadi halaman rumah dengan kursi kayu yang panjang untuk menatap senja yang hadir untuk menyambut malam tiba.

Itulah suasana yang menggambarkan panggung pementasan Janji Senja pada 3 Oktober 2021 di aula FKIP Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Pementasan ini disiarkan langsung melalui akun kanal Youtube, Teater Jaringan Anak Bahasa (JAB).

Janji Senja merupakan naskah karya Taofan Nalisaputra dan mengangkat masalah keluarga dengan bentuk teater. Masalah keluarga yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari menjadi upaya kuat untuk mewujudkan keberhasilan pementasan kali ini. Janji Senja menggunakan latar di suatu rumah sederhana dengan tampilan senja indah di kala malam hendak hadir. Ibu dan anak yang menjadi peran utama saling memaksa untuk menerima dan menolak atas ingatan yang terus-menerus hadir di kepala mereka.

Drama ini diawali dengan adegan pasangan suami dan istri yang tengah mengandung. Suaminya hendak pergi bekerja dan berjanji akan pulang ketika senja. Akan tetapi, kenyataannya waktu terus berjalan, layaknya manusia pada umumnya, Ibu yang semakin merenta dan anak yang semakin dewasa, janji laki-laki itu tak kunjung ditepati. Hanum (Lilis Handayani) sebagai anak yang juga semakin dewasa mengerti bahwa telah banyak senja yang mereka berdua lalui, tetapi tidak ada bukti kehadiran Bapak. Harapan seorang Mayang (Umi Faridha) yang selalu menginginkan suaminya pulang, tetapi ditolak oleh Hanum karena janji yang kenyataannya tidak pernah ada buktinya. Pada dasarnya, kesetiaan seorang istri dengan bentuk kepatuhannya ditampilkan sebagai bagian kuat. Bahkan wujud kesetiaan ini tetap bertahan ketika Hanum memintanya untuk ikut dengannya tinggal di kota dan berakhir Hanum memilih meninggalkan Mayang di desa.

Dalam pertunjukan dengan durasi selama dua puluh lima menit ini, Apid menampilkan sisi Mayang sebagai seorang istri yang tetap menanti meski sebenarnya janji itu telah dipatahkan selama berpuluh-puluh tahun. Setiap sore, Mayang duduk di halaman rumahnya untuk membuktikan bahwa janji suaminya itu akan ditepati. Ia menatap senja yang hadir dan menceritakan perkembangan anak mereka Hanum bahkan hingga dewasa.

“Hanum, anak kita, Mas. Hanum sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Saat Mas pulang, Mas pasti senang melihat Hanum sudah dewasa. Aku membesarkan Hanum dengan sepenuh hati. Dengan penuh kasih sayang. Agar Hanum menjadi wanita yang baik.”

Obrolan senja selalu hadir dengan suasana yang hangat dan senyap. Suasana yang sesuai untuk membahas berbagai hal tentang kehidupan yang akan dan sudah dilewati. Akan tetapi, ketika senja hadir dalam realita masih belum kehilangan cahaya karena sebagai pergantian antara siang dan malam. Inilah yang kurang terwujud dalam pementasan drama ini karena penggunaan cahaya yang masih belum maksimal untuk menggambarkan suasana ketika senja tiba.

Di luar masalah tersebut, setiap pemain elok dalam menampilkan setiap adegan dengan emosional sehingga adegan-adegan yang ditampilkan membekas dalam ingatan penonton. Olah tubuh dan vokal yang jelas semakin memperkuat adegan. Permainan ekspresi dari Mayang dan Hanum ikut mendukung setiap sisi emosi dan semakin nampak pada bagian klimaks cerita. Penataan panggung dan pemilihan properti menjadi bagian penting sehingga para penonton dapat menikmati pementasan ini. Penataan panggung di halaman rumah sebagai tempat Mayang untuk menanti suaminya juga sangat sesuai dan didukung dengan properti daun-daun yang bertebaran. Selain itu, pergantian waktu juga dilakukan dengan meredupkan cahaya secara lebih halus sehingga tidak terkesan kaku.

Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam pementasan ini menjadi bagian penting. Akan tetapi, sangat disayangkan keterlibatan cahaya dalam drama ini sangatlah kurang sehingga kejelasan penonton yang menyaksikan melalui akun Youtube menjadi terganggu. Setiap adegan memiliki moral yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Tentunya, naskah ini menarik dan dibuktikan dengan banyaknya pementasan drama yang memilih menggunakan naskah ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *