Jangan Panggil Kak!

Can everyone stop call me ‘Kak’?” 

Just don’t. Don’t say ‘kak’. Just don’t say ‘mbak’. It’s kinda offensive for women.

Kalimat itulah yang akhir-akhir ini banyak dibahas oleh warganet Indonesia. Kalimat ini diambil dari percakapan dua orang dalam platform sosial media OmeTV yang  menyediakan lapak percakapan video bagi penggunanya secara acak dari seluruh dunia. 

Titik konflik dari video pertemuan Ramzi Bayhaki dan lawan bicaranya, yang kita sebut sebagai B, adalah panggilan “Kak” yang disematkan oleh Bayhaki saat menyapa B. Menurut B, panggilan itu menyinggungnya.

Tulisan ini akan menjelaskan mengapa sapaan tersebut bisa menyinggung B dan membahas respons warganet terhadap video tersebut dari sudut pandang linguistik. 

Sapaan “Kak”  merupakan salah satu tanda bahasa. Menurut semiotika dari Ferdinand de Saussure, bahasa memiliki sisi sosial dan sisi individual. Dalam hal ini, Saussure menerapkan pemikiran Emil Durkheim tentang fakta sosial. 

Saussure menganggap bahwa bahasa merupakan fakta sosial, yaitu kesepakatan bersama yang mengikat sehingga terpenuhilah bahasa sebagai tanda (konvensional). Menurut Saussure, bahasa sebagai tanda terdiri atas dua komponen, yaitu penanda dan petanda. 

Penanda adalah bentuk bahasa, baik lisan maupun tulisan. Sementara itu, petanda merupakan simplifikasi atau konsep tentang objek. 

Hubungan antara penanda dan petanda ini sangat simbolik dan arbitrer. Jadi, tidak ada alasan khusus mengapa suatu objek disebut A. Selama penanda tersebut disepakati bersama, penanda tersebut dapat digunakan. 

Dalam kasus video OmeTV yang sedang viral, terjadi kesalahpahaman petanda karena pandangan B terhadap petanda “kak” tidak sesuai dengan fakta sosial saat ini. B menganggap bahwa “Kak” berarti ‘sapaan untuk perempuan yang lebih tua’. 

Sementara itu, Bayhaki menganggap bahwa “kak” merupakan ‘sapaan universal untuk bersikap sopan terhadap lawan bicara yang baru dikenal.’ Universal dalam hal ini berarti tidak untuk jenis kelamin tertentu dan tidak untuk status sosial tertentu (lebih tua atau muda). 

Konsep yang ada di pikiran Bayhaki merupakan petanda konvensional. Hal ini karena konsep penanda “Kak” sudah mulai bergeser, terutama di lingkup generasi Z. “Kak” bukan lagi ‘kata sapaan kepada saudara tua’, melainkan juga bisa menjadi ‘kata sapaan untuk perempuan yang lebih tua’. Respons warganet terhadap video tersebut bisa menjadi bukti akan hal itu.

Namun, B tidak berpikir demikian sehingga dia tersinggung dengan sapaan tersebut. Hal ini karena ia merasa bahwa ia belum setua itu untuk dipanggil dengan sebutan “kak”. Barangkali B menganggap Bayhaki lebih tua darinya sehingga tidak pantas bagi Bayhaki untuk menyebutnya demikian. Entah yang mana alasannya, tetapi setidaknya itulah yang terlihat dalam video.

Ketidaksesuaian fakta sosial dari bahasa dan realisasi individu yang dilakukan B inilah yang menimbulkan selisih paham dengan Bayhaki. Terlebih lagi, video tersebut menyebar di sosial media sehingga menimbulkan respons kurang mengenakan pula dari warganet. 

Editor : Sabina Lintang Kemala

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *