Aku, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma (USD). Dua tahun lamanya menjalani perkuliahan yang memiliki banyak tantangan dan keluh-kesahnya. Ada banyak hal yang selalu jadi bahan perbincanganku dengan teman-temanku, mulai dari pertemanan, tugas, bahkan lingkungan kampus. Akhir-akhir ini, topik hangat kami merujuk pada pembangunan gedung sebelah.
Gedung sebelah adalah julukan yang aku buat sendiri untuk sebuah gedung bekas aula milik Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang sudah dihancurkan dan kini sedang dalam tahap pembangunan. Julukan itu kuberikan karena gedung itu memang terletak di sebelah Gedung Sastra. Gedung kami bertetangga, bahkan dulu inisiasi Fakultas Sastra berlangsung di sana. Dari yang aku dengar, gedung itu akan dibangun ulang untuk dijadikan Gedung Vokasi.
Yah, awalnya aku dan teman-temanku tidak ambil pusing mengenai pembangunan tersebut. Lagipula, selama ini kami juga tidak sering menggunakan gedung itu. Jadi, desas-desus mengenai pembangunan gedung sebelah tidak pernah kami tanggapi dengan serius.
Ketika baru masuk perkuliahan di awal semester genap, kami menyadari bahwa pembangunan gedung sebelah sudah berlangsung. Gedung itu sudah beberapa lama dibiarkan dalam kondisi berantakan sejak dihancurkan. Aku hanya senang karena akan ada pemandangan yang lebih enak dilihat, bukan lagi puing-puing reruntuhan. Apalagi debu-debu yang menyebar di sekitar area itu, memang sempat mengganggu.
Sebenarnya, aku dan beberapa mahasiswa sastra lainnya sudah memiliki masalah dengan tempat parkir sejak dulu. Biasanya, kami berebut tempat parkir di basement Gedung Sastra untuk menghindari hujan. Kalau sedang sial, kami akan berakhir parkir di halaman depan gedung sastra dan membiarkan kendaraan serta helm kami basah ketika hujan.
Lalu, apa hubungannya dengan pembangunan gedung sebelah itu? Jujur, aku sedikit terkejut karena ternyata pembangunan gedung sebelah membuat banyak akses ditutup. Belum lagi, banyak tempat parkir yang tidak bisa kami gunakan lagi. Bahkan, pintu keluar basement Gedung Sastra juga ditutup. Kami yang awalnya sudah kesulitan mencari tempat parkir yang nyaman, kini semakin kesulitan karena area parkir yang menyempit. Beberapa mahasiswa yang mendapat kelas siang terkadang kehabisan tempat parkir di Gedung Sastra dan berakhir memarkirkan kendaraannya di dekat kapel. Sebagian dari mereka juga terpaksa parkir di sekitar lapangan Realino. Hal itu membuat beberapa mahasiswa sastra, termasuk aku, membutuhkan waktu lebih dari biasanya untuk berjalan ke kelas.
Membiasakan diri berebut tempat parkir di pagi hari saja sudah cukup menyulitkan. Aku pikir, permasalahan sudah berhenti sampai di sana. Namun, ternyata pembangunan gedung sebelah itu lagi-lagi menimbulkan keresahan. Suatu hari, aku menyadari adanya suara bising yang menyelimuti kegiatan perkuliahan di Gedung Sastra. Awalnya, kupikir hanya bunyi-bunyi yang disebabkan oleh angin kencang pada musim hujan. Namun, ternyata kebisingan itu mulai konsisten muncul di setiap waktu.
Aku tidak benar-benar tahu apa yang menyebabkan kebisingan itu. Namun, aku yakin bahwa suara besi yang bertabrakan dengan sangat kencang tersebut berasal dari area pembangunan gedung sebelah. Jika dilihat dari lantai 3 Gedung Sastra, akan tampak sebuah alat besi yang sangat besar di sana. Dugaanku, suara bising yang selalu terdengar dari gedung sastra berasal dari alat besi tersebut. Dari pagi hingga malam hari, suara itu tetap terdengar. Bahkan, ketika aku masih berada di kampus pada pukul 8 malam, suara bising itu masih terdengar sangat jelas. Aku tidak melebih-lebihkan suara bising itu. Namun, aku dan temanku sering terganggu ketika mengobrol di area gedung sastra. Suara besi yang bising itu bahkan sanggup menutupi suaraku dan temanku yang sedang mengobrol.
Entah sampai kapan persoalan tempat parkir dan kebisingan yang mengganggu itu akan berlanjut. Namun, pastinya semua itu tergantung pada pembangunan gedung sebelah yang sedang berlangsung saat ini. Jika pembangunan itu memakan waktu 2-3 tahun atau bahkan lebih, sepertinya aku harus menghadapi masalah tempat parkir dan kebisingan itu sampai lulus.
Cerita dari: Anonim
Editor: Helena Setiasari dan Maria Tatag Prihatinningtyas Wigati