Gen Z: Healing Berkedok Boros?

Gen z merupakan generasi yang lahir kisaran tahun 1997-2012. Dengan perkiraan usia saat ini dari 10-25 tahun. Dikutip dari Badan Pusat Statistik dalam Berita Resmi Statistik 2021, hasil sensus penduduk menyatakan mayoritas penduduk Indonesia didominasi oleh generasi z dengan proporsi sebanyak 27,94%, yaitu 74,93 juta jiwa. Bukti dari sensus penduduk ini mampu memperlihatkan generasi z memengaruhi perkembangan Indonesia.

Gen z menghasilkan banyak hal, salah satunya adalah perkembangan teknologi. Saat ini akses internet mudah didapatkan oleh generasi z. Kehidupan mereka tak pernah lepas dari teknologi karena ketika mereka lahir pun teknologi sudah mulai berkembang pesat. Tentu saja perkembangan dan gaya hidup seperti itu mampu memengaruhi karakteristik gen z. Tidak hanya karakteristik, tetapi juga mental dari kelompok mayoritas ini.

Saat ini, generasi z lah yang menduduki lingkungan pendidikan dan pekerjaan. Kesadaran generasi z dalam menanggapi tanggung jawab yang perlu diemban biasanya akan menimbulkan perasaan yang ragam. Misalnya, dia duduk di bangku universitas. Sebagai seorang mahasiswa, tingkat kesulitan akan menyesuaikan tingkat semesternya pula. Oleh karena itu, apabila tugas tersebut memberatkan, maka dia cenderung mengeluh terlebih dahulu. Setelah itu, pekerjaan tersebut selesai dikerjakan dan merasa membutuhkan hiburan atau refreshing untuk memanjakan dirinya atas kesulitan yang sebelumnya dia dapatkan.

Lagi-lagi tidak jauh dengan perkembangan teknologi, segala hal menjadi lebih instan. Generasi z bahkan dikenal sebagai generasi yang lemah dan manja. Sebagian besar cenderung memiliki keinginan untuk mencapai sesuatu dengan instan. Ketika keinginan mereka tidak terwujud sesuai dengan ekspektasi yang mereka bangun sebelumnya, tentu akan menimbulkan perasaan kecewa.

Perasaan kecewa tersebut mampu membuat gen z merasa terburu-buru untuk menghilangkannya sehingga menjadi lebih nyaman dalam melakukan kehidupan sehari-hari. Inilah yang menyebabkan gen z cenderung lebih mudah mengumpulkan informasi yang mereka tengah butuhkan. Teknologi dan kebutuhan gen z inilah yang mendukung ilmu psikologi lebih banyak peminat dari generasi ini. Salah satu bentuk dari pemulihan diri dari ilmu psikologi adalah healing. Dikutip dari Kumparan.com (13/4), seorang psikolog UGM, Galang Lufityanto menjelaskan healing merupakan suatu proses untuk membuat psikologis seseorang menjadi lebih sehat atau suatu proses penyembuhan, mengobati diri secara psikologis.

Sayangnya, generasi z salah menangkap makna sesungguhnya dari healing. Tafsiran healing menurut generasi z adalah menginap di suatu tempat dan menghabiskan waktu untuk membeli sesuatu. Inilah prespektif yang salah dalam memahami makna healing. Dengan pemikiran seperti ini, tentu seseorang akan cenderung boros untuk menghibur dirinya sendiri setelah menghadapi suatu kesulitan.

Galang pun menjelaskan bahwa healing bisa dengan cara mindfulness. Teknik ini dengan cara meditasi atau mengatur pernafasan. Dengan begitu, selain mampu mengenal kebutuhan psikologis diri sendiri, seseorang juga cenderung lebih tenang dalam menghadapi suatu permasalahan. Refreshing juga bisa menjadi salah satu pilihan untuk healing. Misalnya dengan memasak, tidur yang cukup, menonton film kesukaan, dan membaca buku. Faktanya, penyembuhan diri tidak harus menguras dompet secara berlebihan, bukan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *