Allah menciptakan segenap alam raya baik adanya. Setiap sudut di muka bumi memiliki keindahan alam dengan ciri khasnya masing-masing, seperti gurun, padang rumput, es, laut, dan masih banyak lagi. Dalam Kitab Kejadian, tertulis bahwa manusia diciptakan pada hari keenam setelah Tuhan menciptakan bumi, langit, dan segala isinya. Manusia pertama, Adam, dan istrinya, Hawa, hidup di taman yang digambarkan sangat indah, yaitu Taman Eden. Adam dan Hawa selalu hidup berdampingan dan terikat dengan alam, mulai dari hidup sejahtera sampai akhirnya berbuat dosa. Sejak awal mula bumi diciptakan, manusia selalu hidup berdampingan dengan alam.
Kehidupan manusia yang selalu berdampingan dengan alam dibagi dalam 2 masa yang berbeda. Pertama, zaman Palaeolitikum, zaman ketika manusia belum mengenal dunia bercocok tanam. Manusia purba hidup sebagai pemburu dan pencari makanan. Pada masa ini, kehidupan manusia dengan alam dapat dikategorikan sebagai suatu keseimbangan. Alam yang menjadi penopang kehidupan manusia senantiasa mengalami hubungan timbal balik yang seimbang dengan aktivitas manusia kala itu.
Kedua, masa ketidakseimbangan alam yang digambarkan sebagai masa dimana keinginan manusia menjadi berlebihan dan tidak sebanding dengan apa yang alam berikan. Pada masa Revolusi Neolitikum, terjadi banyak aktivitas alam yang tidak sesuai dengan keinginan manusia, seperti: suhu bumi yang mengalami perubahan dan binatang-binatang yang bermigrasi, sehingga menyebabkan manusia mengalami krisis makanan. Sampai pada zaman Revolusi Industri, zaman ketika manusia menganggap bahwa merekalah subjek aktif atas alam. Manusia menyatakan dirinya sebagai penguasa atas alam, lalu menggunakan alam sebagai alat pemenuhan kebutuhan.
Kitab Kejadian menggambarkan dengan bahasa naratif simbolis tiga relasi dasar eksistensi manusia yang saling terkait satu dengan yang lain, yaitu manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. Alkitab sendiri menjelaskan bahwa kehidupan manusia akan selalu terikat dengan alam. Apa yang kita perbuat, entah positif atau negatif kepada alam, akan selalu berdampak kepada relasi kita dengan sesama dan Allah. Manusia zaman ini masih sering mengeksploitasi alam tanpa tahu dampak ke depannya bagi bumi, rumah kita bersama. Satu perbuatan buruk kepada bumi sama dengan perbuatan dosa karena telah merusak ciptaan Allah.
Baca juga: Pentingnya & Cantiknya Bencana Alam yang Sering Diabaikan
Relasi manusia dengan Allah dapat ditemukan melalui pemeliharaan alam. Kita diajak untuk, “mengusahakan dan memelihara,” (Kejadian 2:15) alam dengan berbagai cara untuk memperbaiki konflik (Kejadian 3:17-19) yang telah manusia perbuat sejak awal kepada alam. Santo Fransiskus dari Assisi adalah tokoh suci yang selalu menghayati alam sebagai sarana menemukan Tuhan. Santo Fransiskus mampu menjadi “teman” dengan alam sebab melalui alam, kita dapat meresapi harmoni ciptaan Tuhan yang amat indah. Santo Fransiskus mampu memulihkan perpecahan manusia dengan alam hanya dengan menghargai alam dan menjadikannya subjek penting yang perlu dipelihara.
Dalam beberapa ayat atau perikop dalam Mazmur, terdapat ajakan untuk menjaga harmoni seluruh ciptaan yang ada di alam raya. Mazmur sering kali menggunakan bahasa sastra puitis untuk menggambarkan keindahan alam. Mazmur memang tidak bermaksud untuk menceritakan peristiwa penciptaan alam, tetapi Mazmur ingin merenungkan dan mengidungkan kemuliaan Tuhan dan karya ciptaan-Nya yang agung. Mazmur mengajak pembaca untuk mendalami bahwa kita memang tidak bisa langsung menemukan kehadiran Tuhan hanya dengan melihat alam.. Namun, Tuhan senantiasa memperhatikan dan menuntun kita menuju pada jalan kebenaran melalui alam.
Keprihatinan kepada alam yang kian memburuk telah menggugah hati Paus Fransiskus untuk mengajak segenap umat beriman menyadari pentingnya merawat alam. Kegiatan merawat alam bukan hanya sekadar bentuk perhatian fisik, tetapi juga pendalaman iman dan pertobatan atas alam yang telah rusak. Manusia dapat mencapai tujuan pertobatan ekologis ketika mampu mengalami perjumpaan dengan Tuhan melalui alam. Pertobatan ekologis adalah istilah yang Paus Fransiskus gunakan dalam Ensiklik Laudato Si untuk menggambarkan pengalaman iman dan pertobatan dengan eksplorasi alam. Tujuan pertobatan ekologis menjadi visi orang beriman zaman modern ini dalam memelihara alam.
Tak perlu melakukan hal yang begitu dahsyat dan langsung mengubah dunia untuk mencapai tujuan pertobatan ekologis. Santo Fransiskus Assisi pernah membuat suatu syair berjudul “Gita Sang Surya”. Syair atau kidung tersebut menyiratkan pujian akan keagungan Tuhan yang terpadu dengan keindahan alam. Seperti Santo Fransiskus, kita bisa memulai dengan pujian dan syukur kepada Tuhan atas indahnya alam yang dapat kita nikmati setiap waktu. Ucapan “selamat pagi”, “selamat siang”, “selamat malam” dan “terima kasih” kepada alam dengan intensi khusus untuk mengucap syukur mampu mengawali langkah kita dalam mencapai pertobatan ekologis.
Perasaan satu dan terkoneksi dengan alam juga bisa dibangkitkan dalam diri manusia. Sejak awal masa penciptaan sampai zaman modern saat ini, manusia selalu terikat dengan alam. Penting pula membangkitkan koneksi “persahabatan” dengan alam yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya bila kita senang melihat daun atau rerumputan yang melambai, merasa sedih, dan prihatin ketika ada tanaman yang layu, sedih melihat hewan yang kelaparan, dan sebagainya. Perasaan-perasaan semacam itulah yang memicu gerakan cinta kasih kepada alam. Tuhan sendiri mengajarkan cinta kasih tak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada alam.
Sampai pada akhirnya, muncul perasaan tanggung jawab dan kepedulian untuk merawat alam. Panggilan untuk bertanggung jawab atas alam sudah ditanamkan kepada manusia sejak awal proses penciptaan. Kepekaan dan kepedulian kepada alam dapat kita inisiasikan dengan berbagai aktivitas konkret, contohnya menanam tanaman, menyiram tanaman, memberi makan pada hewan, tidak membunuh tumbuhan atau tanaman dengan sengaja, dan sebagainya. Manusia tak hanya tak dapat hidup dengan sesamanya, tetapi juga tak dapat hidup tanpa alam. Hak manusia atas alam perlu seimbang dengan kewajiban manusia dalam merawat alam. Maka, kita sebagai manusia ciptaan Tuhan sudah layak dan sepantasnya mengusahakan dan memelihara alam sebaik mungkin.
“Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung;
darimanakah akan datang pertolonganku?
Pertolonganku ialah dari TUHAN,
yang menjadikan langit dan bumi.”
(Mazmur 121 :1-2)
Redaktur: Fransisco Diaz Galang Braja Nala (SMA Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan Magelang)
Editor: Joan Delanoue Denting Sanitia Merdu