Melucu dan berkomedi sering disalahartikan sebagai tindakan yang main-main dan terkadang dianggap tidak memerlukan kemampuan khusus. Namun, Pusaka Alang Bumi, seorang lulusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, memecahkan stigma tersebut dengan membagikan betapa pentingnya pengetahuan dan ilmu pengetahuan dalam mengembangkan hobinya sebagai komika.
Pusaka: Sastra Indonesia dan Kegiatan Mahasiswa
Pusaka Alang Bumi, yang akrab dipanggil Pusaka, merupakan mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2020. Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia memang menjadi pilihan ketiganya pada saat mendaftar kuliah di Sanata Dharma. Namun, prodi yang dipilihnya itu sejalan dengan jurusannya di SMA, yaitu Bahasa, dan ternyata mampu memberikannya pengetahuan yang bermanfaat untuk mengembangkan hobinya dalam berkomedi.
Pusaka mengakui bahwa perkuliahan yang ia jalani selama 7 semester membuatnya kelelahan. Meskipun begitu, hal tersebut tidak menghalangi pria asal Magelang itu untuk tetap aktif dalam beberapa kegiatan prodi.
Salah satu peran yang pernah diemban Pusaka saat berkuliah adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Sastra Indonesia. Ketika mengajukan diri menjadi Ketua HMPS, pria kelahiran 28 Mei 2002 itu berekspektasi dapat membuat Prodi Sastra Indonesia lebih dikenal oleh masyarakat umum.
“Pengennya, ya, ngenalin Sastra Indonesia ke (masyarakat) umum gitu lah. Soalnya di Jogja, kan, (Prodi) Sasindo (Sastra Indonesia) cuma ada empat tuh, salah satunya di Sadhar (Sanata Dharma). Waktu jadi Ketua HMPS, salah satu caranya mungkin dari acara Aksara itu,” ujarnya.
Kelelahan yang berarti dirasakan Pusaka terutama pada semester ketujuh. Kelelahan itu ia rasakan karena kegiatannya pada semester itu cukup padat. Selain berpartisipasi dalam kegiatan kemahasiswaan, ia juga terlibat dalam pertunjukan Ekspresi Sastra dan mengerjakan tugas-tugas berkala, seperti tugas membuat media jurnalistik daring serta video. Kegiatan-kegiatan tersebut ia laksanakan bersamaan dengan pengerjaan tugas akhirnya.
“Apalagi, kan, kemaren ada matkul (mata kuliah) pementasan yang konsepnya, tuh, jadi diubah sama yang tahun kemaren. Terus, mikir skripsi juga. Ada beberapa tugas juga. Jadi, kebanyakan tugas, apa ya, mesti kayak tugas berkala, gitu loh. Misal, ada yang bikin website jurnalistik, terus ada yang bikin video, dan lain-lain. Jadi, mungkin, keteterannya di situ,” kata Pusaka.
Pusaka tidak memungkiri bahwa hal-hal tersebut membuatnya keteteran. Namun, ia tetap dapat melewati masa kuliahnya dengan baik dan pada akhirnya diwisuda pada tanggal 15 Maret 2024.
Nasib Hobi yang Digencet Tanggung Jawab dan Kewajiban
Pusaka menerjuni dunia stand-up comedy sebelum ia masuk kuliah, tepatnya ketika ia masih kelas 2 SMA. Saat itu, ia menyaksikan pertunjukan stand-up comedy untuk pertama kalinya bersama orang tuanya. Pada momen itulah ia mulai merasa tertarik pada kesenian ini.
“Kalau (menjadi) komika udah dari (SMA) kelas dua,” kata Pusaka, “Waktu itu, pertama kali nonton itu sama orang tua, kan. (Saat itu aku berpikir,) wah, ini tuh ngapain, ya? Ini kok malah ngomong sendiri, tapi kok lucu?”
Pusaka mengakui bahwa kegiatan HMPS dan perkuliahan membuat hobinya sedikit terabaikan.
“Waktu itu, aku lebih fokus ke HMPS-nya. Jadi, emang, waktu itu, hobi itu sempet enggak kesentuh. Terus, kuliah juga sempet ada beberapa tugas yang telat,” ungkap Pusaka.
Meskipun sempat terhambat karena kegiatan kampus, Pusaka masih terus menjalankan hobinya. Lebih dari itu, bidang akademik yang ia geluti ternyata dapat mengembangkan keterampilannya dalam berkomedi. Perkembangan ini merupakan hal yang tidak disangkanya karena di awal ia tidak menyadari hubungan antara Prodi Sastra Indonesia dan komika.
“Waktu itu enggak kepikiran sih (stand-up comedy) sama Sasindo ini ada nyambungnya atau enggak,” ujar Pusaka, “Ya, Alhamdulillah waktu masuk Sasindo bisa nambah ilmu (untuk melakukan stand-up comedy).”
Perkembangan Pusaka terlihat pada cara ia menulis materi dan membawakan materi tersebut. Prodi Sastra Indonesia membantunya memperbanyak kosakata yang tidak begitu familier di telinga masyarakat umum. Kosakata tersebut selanjutnya ia gunakan sebagai diksi dalam materi stand-up comedy-nya. Menurutnya, hal itulah yang membuat materinya menjadi lucu.
“Setelah masuk Sasindo (menjadi) tau cara nulis yang bener gimana. Diksinya … ada tambahan diksi baru yang orang, tuh, jarang denger. Nah, karena orang jarang denger, jadi lucu,” jelas Pusaka.
Sebagai komika, Pusaka melabeli dirinya dengan persona mahasiswa Sanata Dharma. Hal ini membuat banyak materi yang ia bawakan berkaitan dengan hal-hal seputar perkuliahan. Ia mengatakan bahwa ia justru senang ketika ada masalah, khususnya dalam perkuliahan, karena masalah tersebut dapat dijadikan materi.
“Emang aku bikin materi itu tentang kampus ini, sih. Makanya kan, bersyukurnya, tuh, kalau ada masalah bisa jadi materi, itu. Berkaitan dengan keresahan,” ungkap Pusaka.
Ia juga senang ketika materi dan personanya bisa membantunya memperkenalkan Sanata Dharma lebih luas lagi.
“Waktu itu sempet, maksudnya, banyak orang yang kurang tau Sanata Dharma. Cuma setelah aku pakai materi itu, mereka itu kayak penasaran Sanata Dharma itu kayak gimana. ‘Oh ternyata ada Sanata Dharma.’ Ya maksudnya, seneng karena secara enggak langsung bisalah ngenalin kampus ke luar, gitu.”
Dengan persona yang ia bangun, Pusaka berekspektasi penonton dapat memahami bahwa ia lucu dan juga berpendidikan.
“Yang pertama, pastinya, pinginnya, tuh, di hadapan mereka itu (dianggap) lucu,” kata Pusaka.
Pusaka menjelaskan, walaupun pekerjaan seorang komika seolah hanya mengatakan atau melakukan hal bodoh untuk melucu, sebenarnya komika juga membutuhkan ilmu sebagai dasar untuk melucu.
Selain kegiatan akademik, kegiatan kemahasiswaan juga membantu Pusaka dalam berkarier sebagai seorang komika. Pengalamannya mengikuti kegiatan kemahasiswaan membuatnya mampu mengelola serta mengoordinasi komunitas stand-up comedy di Magelang.
“Ada (kaitannya antara pengalaman kepemimpinan di organisasi kemahasiswaan dan kegiatan berkomunitas di luar kampus), kayak bantu-bantu temen. Misal, harus koordinasi di komunitas gimana, terus ngelola komunitasnya harus kayak gimana,” ujarnya.
Dalam menggeluti stand-up comedy, Pusaka tentunya mendapat dukungan morel dan materiel dari orang tua. Teman-temannya pun ada yang ikut mendukung. Lebih dari itu, pihak kampus bahkan melirik hobinya. Hal ini terlihat ketika pihak kampus sempat mengajak Pusaka untuk melakukan stand-up comedy di acara Dies Natalis Fakultas Sastra.
“Orang tua pasti ada dukungan, secara moril maupun materil. Terus kalau temen-temen, ya, ada juga. Dosen pun tau sih, tau dari semester dua,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, “Waktu itu juga sempet disuruh ngisi acara dies natalis fakultas, disuruh stand-up. Jadi, ya, Alhamdulillah banyak dukungan.”
Sepanjang Pusaka menekuni hobi ini, pencapaian yang membuatnya paling bangga dan senang adalah pengalaman tampil di acara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Inspirasi, Pengalaman, Harapan, dan Pesan
Dalam menekuni bidang tertentu, tidak jarang orang-orang memiliki panutan atau senior yang diidolakan. Begitu pula Pusaka. Ia menyebutkan, Ridwan Remin, Ali Akbar, dan Mukti Entut merupakan orang-orang yang ia gemari. Meskipun tidak mengikuti cara mereka men-deliver (membawakan) materi, ia merasa bahwa style komedi mereka begitu cocok dengannya.
Kegiatan berkomedi yang menyenangkan tentunya tidak luput dari hal yang kurang mengenakkan dan cenderung mengkhawatirkan, yaitu ketersinggungan.
Para komedian kerap kali menjadikan pihak tertentu sebagai objek tertawaan melalui roasting. Tentunya roasting dilakukan dengan prosedur tertentu, yaitu meminta izin pada calon objek tertawaan dengan menunjukkan materinya terlebih dahulu.
Pusaka menjelaskan, ketika mereka, para komedian, tidak mendapat persetujuan dari pihak yang akan di-roasting, mereka tidak akan membawakan materi tersebut.
Namun, meskipun prosedur tersebut sudah dilakukan, ketersinggungan tetap tidak dapat dihindari. Pusaka sendiri pernah mengalami hal tersebut. Walaupun ia sudah mendapatkan izin, pihak yang di-roasting tetap merasa tersinggung.
Ketersinggungan yang kurang bisa diprediksi itu membuat Pusaka tidak bisa melakukan banyak hal selain mengklarifikasi materi yang ia bawakan sendiri.
“Kalau dari aku sendiri, jangankan komika kecil, komika besar pun, ya, mungkin cuma klarifikasi, minta maaf.”
Kejadian yang tidak terhindarkan ini memang menyebalkan dan menakutkan bagi Pusaka. Namun, hal itu tidak membuatnya berhenti menggeluti stand-up comedy.
Setelah lulus kuliah, Pusaka berencana mengikuti komunitas stand-up comedy lainnya. Ia juga berharap dapat kembali mencoba mengikuti kompetisi stand-up comedy. Harapannya, kompetisi yang akan ia ikuti tersebut dapat membawanya masuk ke TV nasional dan menjadikannya entertainer.
“Ya, berharapnya, sih, bisa lanjut ke kompetisi yang di TV nasional, terus bisa kerja di dunia entertain(ment),” ujar Pusaka.
Pusaka, yang telah mengikuti berbagai kegiatan di kampus, memberikan nasihat kepada adik-adik tingkatnya, khususnya mahasiswa Sastra Indonesia, untuk pintar mengatur waktu dalam menekuni hobi dan menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa.
Selain itu, ia juga menitipkan harapannya untuk Prodi Sastra Indonesia. Ia berharap Prodi Sastra Indonesia bisa menjalin hubungan yang lebih dekat dengan mahasiswa-mahasiswanya dan berusaha memahami hobi mereka agar dapat ikut terlibat dalam pengembangan hobi-hobi mereka.
“Aku berharapnya, prodi bisa lebih deket aja sama mahasiswa. Tau hobinya mahasiswa apa. Terus bisa bantu mahasiswa. Kalau, misal, besok ada mahasiswa yang suka stand-up, ya, nanti prodi bantu. Kerja sama sama (dengan) komunitas yang di Jogja. Atau mungkin dalam hal musik, nanti prodi juga bantu, pengembangannya gimana, gitu,” ujar Pusaka.
Lalu, ia melanjutkan, “Kalau aku liat, adek-adek tingkat itu sebenernya banyak (potensinya). Potensinya bagus-bagus, cuma kayak dipendem aja gitu, lho. Mereka, kayak, belum nemu wadah di lingkungan terdekat mereka.”
Satu kata penutup dari Pusaka, sang Mahasiswa Komika, untuk Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, “Gokil!”
Redaktur : Salma Syafira Agustina, Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita
Editor : Laetitia Sugestian