Pada hari Rabu, 3 Mei 2023, Universitas Sanata Dharma mengadakan seminar hybrid dalam rangka ulang tahun Fakultas Sastra yang ke-30. Dalam acara tersebut, Prof. Dra. Novita Dewi, M.S., M.A. (Hons.), Ph.D. sebagai salah satu pembicara berbicara tentang apa, bagaimana, dan mengapa akademisi bidang sastra belajar sastra.
“Nah, pada kesempatan ini, izinkan saya untuk menguraikan saja apa yang bisa kita lakukan ketika ya, mengajar belajar dan meneliti tentang karya sastra. Maka, ada tiga hal yang akan saya sampaikan di sini,” ucapnya.
“Jadi tentang apa, bagaimana, dan mengapa,” lanjutnya.

Ibu Novi memaparkan tentang apa saja yang dipelajari dalam sastra, yaitu genre sastra, periodisasi sastra, dan sastrawan. Genre sastra yang terdiri atas puisi, cerpen, novel, drama, lagu, dan film. Dalam hal priodisasi sastra, beliau menjelaskan bahwa ada periode Balai Pustaka, Pujangga Baru, Generasi 45, LEKRA dan Generasi 66, serta Generasi Kontemporer. Terakhir, beliau juga membahas tentang sastrawan-sastrawan. Dalam power point-nya, beliau menuliskan beberapa sastrawan, yaitu Chairil Anwar, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Budi Darma, dan Ahmad Tohari. Beliau mengatakan bahwa sebetulnya sastrwana tidak hanya para laki-laki, melainkan ada juga sastrastrawan yang berjenis kelamin perempuan. Beliau tidak menuliskannya karena takut tidak muat dalam slide presentasinya.
“Kok belum ada nama perempuan? Ya, pasti ada. Tapi, nanti slide terlalu panjang, jadi saya sebut keenam nama ini yang kiranya perlu untuk dipelajari,” ujarnya.
“Untuk apanya, apa yang dipelajari secara tradisional atau konvensional ya, kita belajar tentang genre sastra, kita biasanya lihat puisi, cerpen, novel, drama, ataupun film ya, itu sudah biasa sekali,” lanjutnya.
Lalu, beliau menjelaskan tentang bagaimana cara mengenali sastra. Para peserta seminar diajarkan tentang bagaimana caranya melihat sastra atau metode membaca sastra. Ada tiga metode dalam membaca karya sastra, yaitu membaca close reading, critical reading, dan creative reading.
“Di sini, yang saya tekankan yaitu soal bagaimana. Nah, slide berikutnya, di situ saya cerita tentang metode membaca sebetulnya. Ada tiga, yaitu membaca close reading, atau yah, lebih meningkat lagi sedikit critical reading, dan kalo bisa sampe ke creative reading,” ujarnya.
Dalam pembacaan karya sastra, hal yang paling mendasar adalah memahami karya itu sendiri serta mengetahui karya yang sedang dipelajari. Ibu Novi berkata bahwa akademisi perlu memulai tahap pembacaan karya sastra dengan pembacaan dasar (close reading). Pada proses pembacaan dasar ini, akademisi harus berusaha mengetahui alur, tokoh, dan sebagainya. Hal ini penting sebab akademisi baru dapat maju ke tahap analisis yang lebih jauh setelah memahami unsur instrinstik sastra.
“Nah, kita mulai dari pembacaan dasar. Saya selalu mulai dengan itu (pembacaan dasar). Jadi, sangat basic, sangat basic sekali, ya. Mengenai alurnya, tokohnya, dan sebagainya. Karena harus tahu itu sebelum kita menganalisis lebih jauh,” ujarnya.
Setelah melaksanakan pembacaan karya sastra yang diawali dengan pembacaan dasar, akademisi juga harus mempelajari metode penulisan yang digunakan oleh sastrawan. Akademisi harus mengidentifikasi metode yang seperti apa yang digunakan oleh sastrawan.
Selain membaca secara mendasar, eksplorasi tulisan juga sangat penting. Alasannya, dengan melakukan eksplorasi tersebut, akademisi dapat mengetahui sejauh mana sebetulnya sastrawan menuangkan gagasannya dalam sebuah karyanya. Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Widi, seorang narasumber lainnya, metode penulisan etnografi juga menghasilkan tulisan-tulisan yang luar biasa dan tidak menjadi etnosentris. Tulisan etnografis sendiri dapat diartikan sebagai tulisan yang dihasilkan dari apa yang terjadi dalam masyarakat. Contohnya, tulisan tentang kemiskinan yang ditulis etnograf sesuai dengan apa yang ia lihat tanpa adanya rekayasa. Cara pandang inilah yang menurut Ibu Novi harus dicontoh oleh akademisi sastra. Sastrawan memiliki sugesti yang bersifat subjektif. Karena itu, akademisi sastra harus melihat karya sastra apa adanya supaya akademisi tidak bias.
“Kemudian, …, eksplorasi penulisan, ya. (Dalam tahap ini, akademisi mengidentifikasi) bagaimana mereka (sastrawan) menulis, metode yang dipakai seperti apa. Tadi, dijelaskan oleh Prof. Widi, ya, bahwa metode etnografi ternyata menghasilkan tulisan-tulisan yang luar biasa dan tidak menjadi etnosentris. Melihat apa adanya, membicarakan kemiskinan, dibicarakan seperti yang terlihat. Tidak memakai cara-cara yang ternalistik, ya, tetapi melihat seperti apa adanya. Dan ini menghindarkan kita dari bias karena sugestinya pengarang itu tentu secara subjektif. Kita teliti di sana, apakah pengarang menggunakan cara tertentu. Jadi, saya merasa selain kita membaca secara mendasar, eksplorasi penulisan ini penting karena kita ingin tahu sejauh mana sebetulnya pengarang itu menuangkan gagasannya di dalam hasil karyanya tadi,” ujarnya.
Selanjutnya, setelah memahami metode pembacaan yang mendasar (close reading), akademisi sastra bisa masuk ke tahap pembacaan selanjutnya, yaitu critical reading. Pada tahap ini, akademisi bisa mulai menerangkan teori-teori dan melihat karya sastra lebih jauh.

“Kita sampai pada yang pembacaan yang (tingkatnya) lebih tinggi lagi, yaitu critical reading. Yaitu, ketika kita mulai menerangkan teori-teori yang saya harap tidak hanya tempelan saja, tapi benar-benar kita ingin meneropong karena itu lebih jauh dan di benak kita ada cara pandang sehingga karya satu bisa dibaca dengan cara bermacam-macam,” ujarnya.
Ibu Novi mengibaratkan kemampuan memilih teori sastra sebagai berlian, yang semakin banyak mendapat asahan semakin berkilau dan bersinar. Untuk dapat memilih teori untuk karya sastra, akademisi harus banyak mengasah kemampuan kita dalam memahami teori dalam sastra. Lebih jauh lagi, kemampuan memilih teori ini juga diharapkan bisa dimanfaatkan akademisi untuk menulis karya sastra dengan kreatifitas dalam diri sendiri.
Tahap selanjutnya, yang menurut Ibu Novi paling penting, ialah merefleksikan karya sastra yang dibaca. Contohnya, dengan mencari makna dan pesan tersembunyi yang ada dalam karya itu untuk diri sendiri sebelum kita memberikan makna dan pesan pada orang lain. Dengan menemukan makna dan pesan yang tersembunyi itu, akademisi akan memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri. Manfaat itu pun selanjutnya bisa dibagikan kepada orang lain.
“Saya selalu mengibaratkan (pemilihan teori sastra) dengan sebuah berlian yang semakin banyak diasah ya semakin berkilau. Nah, pemilihan teori itu juga harus melalui latihan-latihan yang cukup banyak, supaya tidak terkesan tempelan saja. Dan, kalau mungkin, kita bisa menulis kreatif,” ucapnya.
“Yang penting adalah refleksi. Ketika kita membaca karya, apa maknanya untuk saya sendiri? Apakah karya ini memberikan pemahaman tertentu pada orang yang selama ini saya curigai atau pada suatu keadaan yang tidak saya sukai? Nah, untuk saya sendiri apa manfaatnya sebelum saya bisa berbagi kepada orang lain tentang manfaat itu,” lanjutnya.
Ibu Novi berpendapat bahwa karya itu bisa dinilai baik jika bisa dipahami. Sebuah karya sastra harus bisa dipahami terlebih sebelum dipromosikan kepada orang lain. Pembaca karya sastra bisa menyampaikan terlebih dahulu apa pemahamannya tentang sebuah karya pada orang lain. Dengan sendirinya, orang lain akan tertarik dan penasaran terhadap karya tersebut lalu ikut mencari tahu tentang karya tersebut.
“Menurut saya, itu baik kalo karya itu dipahami dan diketahui. Itu dulu, ya. Saya merasa kita tidak perlu mempromosikan ‘baca ini, ini bagus, ini mengubah hidupmu’ tidak perlu. Tapi disampaikan saja. Karena ini adalah metode peningkatan belaka,” ucapnya.
Ibu Novi juga menjelaskan mengapa akademisi sastra harus mengajar sastra. Ia menjelaskan bahwa dengan belajar sastra, akademisi dapat meningkatkan kompetensi, suara hati, dan bela rasa. Dalam hal kompetensi, Ibu Novi mencontohkan bahwa mahasiswa zaman ini lebih kompeten dalam mencari sumber materi, membaca karya sastra, dan membukakan mata kaum muda terhadap teknologi yang mulai berkembang pada era sekarang. Karena itu, mahasiswa pun mendapatkan banyak pengetahuan, misalnya tentang karya sastra besar di Indonesia bahkan tentang dunia. Dalam hal suara hati, orang akan terdorong untuk menginternalisasikan dan menumbuhkan kehidupan yang sehat secara spriritual saat membaca karya sastra (membangun jiwa spiritual). Orang-orang diajak untuk tidak sekadar mencari pelarian, tetapi mampu berempati dan tanggap dalam memahami persoalan kehidupan manusia. Ketika membaca dan memahami karya sastra, kemampuan seseorang untuk kehidupan sosial manusia diasah sebab karya sastra menceritakan kisah kehidupan sosial manusia sehari-hari yang nyata. Dalam hal bela rasa, membaca karya sastra membuat seseorang menjadi lebih terbuka dan solider terhadap penderitaan sesama dan semesta.
“Mengapa kita mengajar karya sastra? Nah, itu tadi, tentu untuk membantu percakapan ketiga hal itu tadi ya, antara kompetensi, suara hati, dan bela rasa,” ucapnya.
“Untuk yang kopetensi misalnya, mahasiswa sekarang lebih kompeten dalam mencari sumber, membaca cerpen-cerpen dari gawai, ya. Jadi, melek teknologi gitu yang diharapkan. Dan ini ingin dicapai di sana dan itu mahasiswa taat. Kadang-kadang, bisa membantu dosen dalam hal ini dan tentu paham akan beberapa pengetahuan. Banyak pengetahuan. Misalnya paling tidak bisa menyebutkan lima karya besar dari Indonesia dan dunia juga misalnya. Gitu,” jelasnya.

“Kemudian yang lainnya adalah suara hati. Jadi, menginternalisasikan kehidupan yang sehat secara spiritual. Ketika membaca karya sastra, bukan bermimpi-mimpi indah, atau sekadar pelarian tetapi mampu berempati, mampu memahami inilah persoalan manusia,” lanjutnya.
“Kemudian, yang terakhir itu bela rasa, ya. Supaya lebih terbuka, dan solider terhadap penderitaan sesama dan juga semesta,” ucapnya.
Ibu Novi juga mengatakan bahwa belajar sastra tidak boleh membuat seseorang merasa terbebani karena sebetulnya dalam mempelajari atau membaca karya sastra adalah kegembiraan dan sukacita. Dengan mempelajari bahasa dan karya sastra, seseorang dapat berbagi cerita dengan sesama, berbagi kesedihan, dan berbagi keceriaan.
“Belajar sastra itu harusnya tidak membebani karena sebenarnya yang ada hanya kegembiraan. Apa sukacitanya dalam belajar bahasa dan sastra itu? Yaitu ya, kita bisa berbagi cerita. Berbagi cerita, berbagi kesedihan, berbagi kegembiraan,” ucapnya.
Dalam konteks ini, Ibu Novi memaparkan peran sastra terhadap permasalahan dunia. Sastra mengajarkan kita banyak hal, sastra membuka jendela inspirasi dalam diri kita. Melalui sastra, kita dapat menumbuhkan rasa kemanusiaan dalam diri kita sebab sastra tercipta dari sebuah realita kehidupan. Karena itu, ketika membaca dan memahami karya sastra, kita tidak merasa sendiri dan sastra dapat membantu kita menumbuhkan bela rasa terhadap permasalahan dunia.
Sastra dapat mengungkapkan hal terdalam yang ada dalam kehidupan yang nyata. Sastra dapat membantu individu menuangkan emosi dan membagikannya dalam sebuh pesan dan makna yang terkandung di dalamnya. Sastra membantu kita mengenal kehidupan manusia melalui penggambaran tokoh dalam karya sastra. Sastra memberikan sebuah jalan dan penghiburan pada manusia di tengah kehancuran dunia.
Editor : Laetitia Sugestian