Pulang

dok. pribadi rahma

“Kapan pulang?” 

Akhir-akhir ini pertanyaan itu tersesat di kepala saya. Saya tidak tahu pulang mana yang mereka maksud. Apakah pulang selalu menunjukkan tempat? Saya tidak tahu kemana saya harus pulang. Mereka bilang pulang selalu berartikan rumah. Saya belum memiliki rumah. Dan mungkin tidak akan pernah. 

Saya menatap jendela perpustakaan. Di luar sana langit sangat cerah. Lama saya memandangnya. Lama sekali. Pertanyaan itu masih tersesat di kepala saya. Berusaha mencari jalan keluar tapi tidak ketemu. Saya menghela nafas panjang terdengar seisi ruangan ini. Ruangan ini, ruangan kesukaan saya.  Disini sepi dan sunyi. Saya menyukainya. Saya merasa aman. Apakah ini bisa disebut rumah? Tunggu… Jika ruangan ini adalah rumah bagi saya, berarti saya tidak perlu pulang. Mengapa mereka selalu bertanya “kapan pulang?” Seolah-olah saya merasa tidak pernah mengenal ‘rumah.’

Rumah. Kata itu muncul di kepala saya lalu tersesat dengan pertanyaan “Kapan pulang?”.  Rumah dan “Kapan pulang?” bermain-main di kepala saya layaknya labirin. Saya tidak tahu mengapa mereka betah di sana. Seolah-olah saya bisa menemukan jalan keluar. Saya menghela nafas kedua kalinya. Langit masih cerah. Cerah sekali. Saya betah memandangnya. Bip… Satu pesan masuk ke ponsel saya. Pesan dari seorang teman lama yang dekat tetapi berbeda pulau. Satu kata yang tertera di layar. Satu kata yang membuat saya berpikir. Kata yang mulai ikut tersesat di kepala saya. Sudah lama saya tidak mendengar kata itu dan merasa asing. Rindu. begitu isi pesan dari teman saya. 

Lama saya memandang layar ponsel. Lama sekali. Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di kepala saya. Resah yang selama ini saya pendam belum sepenuhnya berhasil saya muntah kan. Terkadang saya rindu pulang ke pelukan seseorang. Tetapi saya tidak mendapatkannya. Terkadang saya rindu aroma dan hangatnya rumah. tetapi saya tidak pernah merasakannya. Terkadang saya rindu bercerita. Tetapi saya belum menemukan telinga yang tepat. “Kapan pulang?”, rumah, dan rindu mereka tersesat di kepala saya. Layaknya labirin yang belum menemukan jalan keluar. Saya menghela nafas panjang untuk ketiga kalinya. Langit dan mata saya masih betah saling pandang. Langit cerah. Cerah sekali. Dan saya menyukainya. Trtttt…. Panggilan telepon masuk dari teman saya yang belum dibalas pesannya sejak tadi. Saya sudah menduga pertanyaan apa yang akan teman saya lontarkan. Sudah lebih dari tiga kali dia selalu menanyakan hal yang sama. 

“Kapan kau pulang?” 

Beberapa detik saya diam. Selalu begitu. Ada satu kalimat yang terlintas di kepala saya. Saat itu juga. Sebuah jawaban yang tidak pernah saya lontarkan seperti sebelumnya. Sebuah jawaban yang saya tidak tahu mengapa muncul tiba-tiba dan bibir saya berani mengatakannya. 

“Tuhan, belum membuka pintu untuk saya.”

Kami diam. Tak ada suara. “Kapan pulang?”, rumah dan rindu mereka berhasil menemukan jalan keluar. Saya tersenyum lalu menekan tombol merah. Mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya. Langit cerah. Cerah sekali. Kami masih betah saling pandang. Saya tahu kemana saya harus pulang. 

SELESAI 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *