Kamis (4/5/2023) dilakukan orasi ilmiah oleh Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, salah satu dosen Sastra Indonesia dalam rangka merayakan Lustrum VI Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, bertema “Peran dan Tanggung Jawab Insan Sastra sebagai Global Citizen dalam Merespons Permasalah Dunia”.
Mengangkat judul “Sastra, Teori-teori Kritis, dan Responnya terhadap Permasalahan Global” pada orasi ilmiahnya, beliau menjawab berbagai pertanyaan bagaimana peran dan tanggung jawab insan sastra di dalam merespons masalah-masalah global saat ini.
Dalam orasinya, Dr. Yoseph Yapi Taum membacakan puisi karya W.S. Rendra berjudul “Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon”, yang diambil dari kumpulan Potret Pembangunan dalam Puisi (1996). Ia mengutip sebuah frasa puitis berbunyi “senjakala yang menyala” yang mengacu pada kondisi buruk kehidupan sosial manusia, di mana kehidupan semakin hari semakin panas, dan tidak lagi sejuk maupun nyaman. Senja digambarkan terbakar oleh berbagai persoalan manusia seperti kemiskinan, kelaparan, ketidaksetaraan, eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, perang, perusakan lingkungan hidup, ketamakan, pelanggaran HAM, penipuan, dan penindasan di bumi yang semakin merajalela.
Melalui paradigma M.H. Abrams, yakni Pendekatan Diskursif, ia menerangkan Pendekatan Diskursif sebagai pendekatan yang menitikberatkan pada diskursus (wacana sastra) dalam sebuah praktik diskursif. Teori-teori kritis, termasuk teori-teori postrukturalisme, tergolong dalam pendekatan diskursif ini. Pendekatan tersebut merupakan sebuah pendekatan analisis sastra kritis yang terfokus pada pembongkaran wacana sastra sebagai media pengungkapan kekuasaan, dominasi, dan ketidaksetaraan yang dipraktikkan, direproduksi, ataupun dilawan oleh teks-teks sastra. Pada titik inilah, kontribusi ilmu sastra di dalam merespons berbagai persoalan manusia, termasuk persoalan global, mulai menemukan relevansinya.
Suburaian yang kedua, yakni Sastra dan Krisis Lingkungan. Seorang ahli hukum bernama Profesor Christopher D. Stone menentang eksploitasi alam oleh perusahaan di Colorado, AS yang melakukan pembabatan hutan untuk dijadikan resort. Stone menulis artikel yang berjudul “Should Trees Have Standing? Law, Morality, and the Environment” pada tahun 1972. Tulisan tersebut kemudian mengejutkan banyak orang hingga memunculkan teori: Legal Standing sebagai dasar hukum lingkungan. Sejak saat itulah muncul hak etis lingkungan di dalam konsep etika kepedulian (ethics of care). Kelebihan dan keunggulan inilah yang dimiliki sastra, yakni potensi ampuh dalam menyadarkan hati nurani manusia sejagat, tanpa harus menggurui atau menyebarkan propaganda yang terlalu bombastis.
Dan yang terakhir, suburaian yang ketiga, yakni bagaimana peran dan respons Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma terhadap permasalahan global. Universitas Sanata Dharma mendirikan Program Magister Sastra yang dianggap memiliki nilai penting dan strategis dalam membentuk global citizen. Sebagai satu-satunya Program Studi Magister Sastra di universitas swasta, program ini berupaya menjadi center of excellence untuk pengembangan ilmu humaniora di Indonesia. Melalui bidang peminatan yang tertuang di dalam program kurikulumnya, Program Studi Magister Sastra menyiapkan mahasiswanya untuk menguasai persoalan lokal, nasional, regional, dan global (global studies). Dalam bidang peminatan tersebut, terdapat mata kuliah yang secara spesifik dimaksudkan untuk memberikan bekal teoritis sekaligus aplikatif, seperti Studi Sastra Lisan, Sastra. Dan Gender, Ekokritik dan Ekofeminisme, Teori-Teori Kritis, Sastra Bandingan Asia, Sastra Bandingan Afrika, Sastra Indonesia kanon dan Nonkanon, Sastra dan Ideologi, Sastra dan Gender, Sastra dan Siber, dan Postkolonialisme.
Acara orasi ilmiah ditutup dengan pembacaan puisi berjudul “Aku mendengar Suara” karya W.S. Rendra oleh Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.
Editor: Sabina Lintang Kemala