Mentari pernah bermimpi suatu hari. Katanya, ia ingin menjadi manusia hebat dan pantang menyerah. Bahkan dulu saat kecil, ia selalu bercerita pada bapak tentang bagaimana masa depannya yang dirancang sendiri dengan begitu idealis. Dimana hari-hari dewasa yang begitu dinantinya akan sukses seperti ekspetasinya dulu.
Namun hari itu, setelah air mata dan hampa di hari kepergian bapak, Tari terjatuh, rapuh, dan berlutut pada sang bumi. Menyadari bahwa bahagianya hilang karena impian klise yang ternyata bukanlah segalanya.
“Bapak tahu, ‘kan? Tari sudah besar. Lagipula cita-cita Tari itu lebih dari segalanya, Pak. Tari nggak mau kehilangan kesempatan ini.” Dirinya kembali mengingat kalimat yang pernah terucap. Namun, ia yang dulu memanglah keras kepala.
Tari mengakui kalau dirinya adalah manusia yang gagal. Gagal menjadi hebat dan justru jatuh ke jurang egois karena mimpinya sendiri. Meskipun bukan sepenuhnya karena ia yang keras kepala. Tetapi, andai saja malam itu tangan bapak masih ia genggam. Andai saja Tari tahu bahwa bapak perlu menyampaikan pesan terakhir pada anak perempuan satu-satunya ini.
Dan pada akhirnya, hingga tepat 100 hari kepergian bapak bersamaan dengan lebaran tahun ini, Tari masih berharap bahwa ia akan kembali melihat bapak di teras rumahnya. Mengesap rokok yang sering ia buang diam-diam demi kesehatan bapak.
“Bapak kenapa, sih, selalu benerin lentera dari simbah itu?” Malam itu adalah percakapan terakhir mereka sebelum akhirnya ada pertengkaran hebat yang membuat Tari tetap memaksa pergi ke luar kota untuk mengambil tawaran pekerjaan dari kawan lamanya.
“Ya ndak pa-pa. Bagus lho ini, peninggalan dari simbahnya simbahmu.” Bapak sesekali mengetuk rokoknya pada asbak di lantai teras malam itu. Sembari sibuk membenahi lentera kayu yang biasanya akan dinyalakan sebagai pajangan di depan rumah saat lebaran.
“Barang antik dong berarti? Kalau Tari jual duitnya lumayan nggak ya, Pak?” ucap Tari sembari terkekeh.
Bapak hanya menggeleng heran. “Duit aja kamu tahunya. Benda ini maknanya lebih besar daripada sejumlah uang.”
“Ya habisnya… kadang, ya, Pak, ada hal-hal yang kalau dibenahi tetap rusak, ya, sudah. Seperti lentera ini. Jangan dipaksa menyala terus kalau memang sudah waktunya mati.”
Bapak hanya diam, seperti tak mau mendebat Tari yang selalu mengoceh setiap tahun saat melihat bapak selalu membenahi lentera tersebut. Tari itu hanya kasihan karena melihat bekas luka bakar di jari-jari bapak setiap selesai membenahi lentera tersebut. Ia pikir tak ada salahnya jika membeli baru.
“Tari…” Malam semakin gulita bersama Tari dan bapak di teras. Hanya teh hangat bapak yang sepertinya sudah mendingin dan sekaleng toples roti koguan berisi rengginang menemani diam mereka.
“Ya, Pak?” jawab Tari yang tampak sibuk dengan ponselnya.
“Bapak nggak tahu alasan kenapa kamu selalu protes sama adanya lentera ini. Tapi suatu saat nanti, kalau bapak nggak sempat nyalakan, kamu yang nyalakan lenteranya waktu lebaran, ya?”
“Bapak mau tau kenapa Tari nggak suka ada lentera itu?” ucap Tari. Ia meletakan ponselnya lalu menatap sekilas pada lentera yang nampaknya telah selesai dibenahi. Hingga sepersekian detik kemudian, tangan bapak ia raih perlahan. “Ini, lho, Pak alasan Tari suruh bapak berhenti benahi lentera itu. Belum lagi benda benda benda-benda kayak gitu bisa memicu kebakaran kalau sial. Apalagi kerincing di bawahnya. Tari suka serem dengernya, ih.”
Bapak sedikit terkekeh mendengar alasan yang keluar dari mulut Tari. Senyum lebar diikuti sebuah usapan pada surainya oleh bapak. Tapi kalau dipikir-pikir juga, momen dimana mereka bisa menghabiskan waktu bersama itu ya saat ini. Saat malam lebaran dan Tari yang akan menemani bapak di teras untuk membenahi lentera itu sembari melihat orang-orang takbiran yang lewat di depan rumah.
“Anak perempuan bapak yang hebat.” Kalimat itu tak pernah absen pada saat malam lebaran. Selalu tentang bapak yang begitu menyayangi dan membanggakan Tari.
Tari berharap hal hal hal-hal seperti itu bisa berjalan selamanya. Namun terkadang, mereka adalah manusia yang punya ego masing-masing. Malam setelahnya, Tari dan bapak bertengkar hebat tentang bapak yang menentang Tari untuk bekerja di luar kota sendirian. Tapi tidak dengan Tari yang sungguh-sungguh memimpikan cita-citanya di sana.
“Bapak cuma mau yang terbaik, Nak. Kamu tau, ‘kan, kalau bapak sayang sekali sama kamu. Bapak takut anak perempuannya kenapa-napa.” Ucapan Ibu sempat menenangkan sesaat. Meskipun akhirnya tetap ada pertengkaran hebat di hari selanjutnya.
Hari itu, hari dimana Tari seolah tak ingin lagi mendengarkan bapak. Ia bersikeras mengejar mimpinya tanpa persetujuan bapak dan tetap nekat berangkat menuju kota sendirian.
“Tari nggak peduli sama larangan bapak. Tari tetap mau berangkat pagi ini. Kalau bapak nggak suka, bapak cari saja anak perempuan lain yang mau dikekang dari cita-citanya!” Tari seolah enggan lagi mendengarkan pendapat bapak yang menurutnya ‘kolot’ tersebut. Ia tak peduli. Tari tetap pergi dari rumah dan mengejar cita-citanya.
Purnama berlalu begitu cepat. Tak terasa Tari sudah sibuk dengan urusan pekerjaannya. Tak terasa juga rumah bapak begitu mendung setelah kepergian Tari hari itu.
“Bapak mau ketemu Tari.” Namun satu hal yang Tari tidak ketahui adalah Ibunya kini menggengam tangan suaminya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Menghela napas setelah diagnosis dokter siang ini.
“Nanti ibu coba hubungi Tari kalau bisa, ya, Pak,” ucap Ibu sembari mengusap punggung tangan bapak.
Bapak menatap langit langit ruangan putih itu. Ia tak mengira kalau batuk berkepanjangan miliknya beberapa tahun kebelakangan ternyata bukan sekedar masuk angin biasa. Bapak didiagnosis memiliki kanker paru-paru akibat kebiasaan merokoknya. Dan itu membuatnya seperti sekarat hari ini.
“Tari sibuk, Pak, katanya. Nggak bisa pulang.” Ucapan ibu memang tak membuat keadaan lebih baik. Bahkan di malam menegangkan hari itu, nomor Tari masih sulit dihubungi.
“Nanti bilang sama Tari. Bapak minta maaf karena sudah melarang dia mengejar cita-citanya. Bapak sayang sama Tari, Bu.”
Tangis ibu pecah bersamaan dengan denyut jantung yang semakin melemah dan berhenti. Hingga pagi hari setelahnya, Tari berlarian di bandara untuk mengejar jam terbang setelah kabar duka yang ia dapatkan.
“Bapak…Tari minta maaf.” Lirihan yang mendayu. Kedatangannya disambut duka yang perlahan membiru di dadanya. Tari terus berucap, tetapi jiwanya membeku. Dunianya hilang.
Kalimat itu seperti tak bisa mengembalikan keberadaan bapak. Dan pagi ini, lamunannya tentang masa kelam bulan Januari lalu seperti melintas lagi. Ia tersadar, setulus apapun maaf yang dimintanya atau sekeras apapun ia kembali memanggil Bapak, sosok dunianya tidak akan kembali pulang kepadanya.
“Tari, tolong ibu pasang ini.” suara ibu menginterupsi pagi lebaran hari ini. Sembari menyerahkan sebuah lentera yang ada ditanganya.
Tari menamatkan netranya pada lentera yang sudah menghangat. Menyala terang dan siap dipasangkan di depan rumah. Aroma asap dan suara kerincingnya mengiringi pagi lebaran hari ini. Dalam sesaat, memorinya merekam kembali momennya dengan Bapak; dimana ia selalu membantu memegangi kursi yang akan bapak naiki saat memasang lentera itu. Sekarang, hanya dirinya sendiri yang berdiri di kursi itu. Menggantikan bapak memasang lentera antik miliknya.
“Nanti malam ada acara doa buat 100 harian bapak. Siang ini kamu ke makam bapak duluan, ya. Ibu masih ada perlu sebentar,” ucap ibu.
“Iya, Bu.”
Siang itu, Tari melangkahkan kakinya dengan pasti pada jalan setapak menuju makan berumput di sana. Berjongkok menatap nisan bertuliskan nama bapak, helaan napasnya terdengar begitu berat. Padahal hari ini adalah hari bahagia semua orang. Tapi Tari, ia justru seperti kembali menetesi luka kehilangannya dengan jeruk nipis.
Tangannya mengusap nisan yang masih tampak bersih, sedikit lembab karena kerap terguyur hujan. Tanganya menaburkan beberapa helai kelopak bunga di atas makam bapak. Air matanya sulit di bendung, bahkan seperti ada sesuatu di dadanya yang begitu terasa perih dan berdenyut.
Setelah itu, kedua tangannya mengadah. Menamatkan doa tertingginya di hadapan makam bapak. Berharap ketenangan dan tempat terbaik untuk bapak kepada sang pencipta. Tari kembali hancur. Doa khusyuknya melemah dan membuatnya menjatuhkan badan untuk memeluk makam bapak. Bahu bergetar Tari berusaha memberitahu bahwa anak perempuan ini begitu rapuh.
“Bapak…” Sedu tangisnya berseru-seru. Semakin ia memanggil bapak, semakin dadanya terasa sakit. Semakin dirinya sadar bahwa kehilangan bapak adalah kehancuran besar baginya.
Tari benar benar menyesal. Bukan lagi mengenai siapa yang salah atau siapa yang benar. Melainkan mengenai waktu yang ia harap bisa kembali diulang agar pelukan hangat bapak merengkuhnya lagi.
“Bapak… Tari rindu sama Bapak.”
Kehilangan bapak hari itu sukses membuatnya runtuh. Ia tak peduli lagi dengan semua hal selain memohon keajaiban akan kembalinya bapak. Ia tak akan lagi memaksa bapak berhenti membenahi lentera itu. Bahkan kerincing lentera itu sudah bukan hal menyeramkan lagi baginya. Untuk Tari, bunyi lentingan kerincing itu seperti mengetuk hatinya agar tak pernah melupakan bapak. Lebaran kali ini tanpa bapak. Dan hari hari selanjutnya akan tetap berjalan seperti itu. Namun, Tari tetap harus berdiri pada tempat terbaiknya.
Menurut Tari, salah satu pekerjaan tersulit manusia adalah menjadi manusia yang baik. Di antara gelapnya jalan takdir, semua rintangan bagai level permainan yang semakin sulit. Hanya ada dua pilihan, berhenti mati atau berjuang lelah. Di saat semua orang orang bepikir bahwa hidup adalah alam mimpi sementara, Tuhan justru berkata lain. Sang penulis narasi tak segan menoreh luka pada karyanya. Menuliskan semua cerita berdarah untuk menyingkirkan yang lemah. Entah amarah, dendam, benci dan iri, atau luka lain sejahat hancur. Tuhan seolah ingin semua manifestasinya diuji untuk setiap langkah menuju tahap selanjutnya. Menggapai impian dengan epilog yang selalu ditanyakan.
“Bapak, setelah ini Tari harus apa?”
Tari seperti terbelenggu dalam pertanyaan yang mustahil terjawab. Anak perempuan ini seperti ditarik untuk kembali pada ekspetasi bahagianya saat kecil dulu. Tak menyangka akan serumit ini ternyata. Penopang hidupnya sudah berpamit. Mengubahnya menjadi puing puing rapuh yang tidak tau arah.
“Tanpa bapak di sini rasanya begitu kosong.”
Tak ada yang melarang Tari untuk bersedih di hari lebaran ini, bahkan ibu. Tapi yang pasti, kahilangan bapak akan terus dikenangnya dalam ikhlas. Bersama maaf yang tidak berhenti dipanjatkan. Bersama kenangannya dengan bapak.
Hari ini, lentera milik bapak sudah menghangat seperti sebagaimana mestinya. Sedangkan untuk yang pertama kalinya, Tari berharap bahwa lentera hangat itu bisa membawanya ke tempat sehangat pelukan bapak.
“Tari selalu di sini, Pak. Sebagai anak perempuan bapak yang hebat.”
Editor : Sabina Lintang Kemala