Mahasiswa umumnya dapat mengikuti sidang skripsi ketika dinyatakan lulus pada semua bidang akademik. Saat ini, banyak universitas yang menggunakan poin keaktifan sebagai syarat pendamping kelulusan. Begitu juga dengan Universitas Sanata Dharma, yang memiliki cara unik dengan memadukan kemampuan akademik dan nonakademik sebagai syarat kelulusan.
Sejak tahun 2008, Sanata Dharma sudah mulai membuat sistem poin, tetapi sistem ini baru diberlakukan pada angkatan tahun 2011/2012. Pada awalnya, mahasiswa harus dapat memenuhi jumlah poin tertentu sebagai syarat untuk mengikuti skripsi. Banyaknya poin yang perlu dikumpulkan mahasiswa sejumlah 10 poin. Poin-poin tersebut dapat diperoleh dengan mengikuti kegiatan aktif di kampus, seperti unit kegiatan mahasiswa (UKM), webinar, Formasi Cerdas Humanis (FCH), kejuaraan lomba, kepanitiaan (baik tingkat program studi [prodi], fakultas, atau universitas), dan kepanitiaan luar kampus lainnya.
Keberadaan poin keaktifan ini memberikan dampak positif bagi mahasiswa. Dengan adanya syarat wajib pengumpulan poin, mahasiswa menjadi punya dorongan untuk terlibat aktif dalam kegiatan kampus. Tanpa disadari, mahasiswa sudah terbantu dalam mendapatkan pengalaman baru yang nantinya dapat digunakan dalam dunia kerja.
Tujuan Keberadaan Poin Keaktifan
Poin keaktifan di Universitas Sanata Dharma merupakan bagian dari penerapan visi dan misi universitas serta perwujudan dari tujuan pendidikan di Sanata Dharma. Dr. Titik Kristiyani, M.Psi., wakil rektor III, mengatakan bahwa seluruh mahasiswa perlu dibekali dengan adanya hard skill dan soft skill. Kedua hal tersebut mutlak dibutuhkan dari sistem pendidikan tinggi baik di lingkup Sanata Dharma atau lingkup nasional.
Dari segi hard skill, Sanata Dharma sudah mengembangkannya melalui kurikulum akademik di setiap program studi. Setiap prodi mempersiapkan mahasiswanya untuk memiliki kompetensi akademik pada bidangnya masing-masing. Sementara itu, pada segi soft skill sendiri perlu dibuatkan adanya kurikulum. Hal itu merupakan dasar utama adanya poin keaktifan. Dari ide awal inilah Sanata Dharma lantas menciptakan wadah bernama “Formasi Mahasiswa” atau yang sering disebut sebagai Formasi Cerdas Humanis (FCH).
FCH secara spesifik dibagi berdasarkan jenjang perkuliahan dengan tujuan agar mahasiswa mulai dari maba (mahasiswa baru) hingga mahasiswa lama dapat mengisi kurikulum soft skill mereka. Untuk bentuknya, kurikulum softskill ini berupa Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI). Karena berupa surat pendamping ijazah, surat ini akan diberikan bersamaan dengan pemberian ijazah.
Surat tersebut menjadi bukti bahwa mahasiswa telah memiliki bekal soft skill yang dicapai selama menjadi mahasiswa di Sanata Dharma dari awal sampai akhir. Surat itu juga dapat dilampirkan sebagai pendamping portofolio jika mahasiswa akan melamar kerja. Hal itu mampu menunjukkan dalam bidang apa mahasiswa menguasai pekerjaannya.
Revitalisasi Sistem Poin Lama ke Baru
Akhir-akhir ini mahasiswa Sanata Dharma digemparkan dengan isu perubahan sistem poin. Hal yang membuat sistem poin menjadi hot news di kalangan mahasiswa adalah bocornya penambahan jumlah poin tanpa mengetahui persyaratan pendukungnya.
Adanya perubahan sistem poin memang benar adanya, hal tersebut telah diakui oleh Ibu Titik. Namun, sistem poin yang baru ini sebenarnya masih dalam proses pengerjaan oleh Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi (BAPSI). Ibu Titik menegaskan bahwa sistem poin yang baru masih dalam tahap pengembangan sehingga untuk saat ini belum bisa disahkan. “Sebelum adanya perubahan yang dilakukan oleh BAPSI, maka sistem poin yang di SIA masih menggunakan pedoman lama,” tuturnya.
Salah satu kelebihan sistem poin yang baru adalah satuan penilaian poin yang lebih besar. Karena skala penilaian dimulai dari angka 10, maka perhitungan bobot poin akan menjadi lebih mudah untuk dikalkulasikan. Tak hanya itu, Bu Titik juga menyinggung mengenai penambahan bonus apresiasi bagi mahasiswa yang berhasil mendapat total poin 200 (atau lebih) selama proses pengumpulan poin.
Salah satu mahasiswi Sastra Indonesia angkatan 2023, Carissa Azahra, mengungkapkan bahwa adanya perubahan sistem poin ini dinilai seimbang karena poin minimal yang perlu dikumpulkan sebanyak 50 poin dan setiap melakukan kegiatan bisa diberi bobot 10 hingga 25 poin. “Awalnya kaget sih, cuma setelah tau prosedur penilaiannya jadi merasa balanced aja,.” tutur Caca.
Sementara itu, Valentino Febrian, mahasiswa prodi Akuntansi, mengaku merasa tidak percaya ketika ia mendengar adanya perubahan sistem poin terkait jumlah bobotan. “Waktu awal-awal temen-temen bilang jumlah poin bakal ditambah jadi 50 itu aku kaget ya, tapi pas tau ternyata satu sertifikat nilainya beda-beda jadi merasa dimudahkan dalam prosedur penilaiannya,” tuturnya.
Pandangan Mahasiswa Terkait Poin Keaktifan
Beberapa orang berpandangan bahwa adanya poin keaktifan dapat membebani dan mengganggu kegiatan akademik mahasiswa itu sendiri. Namun, selama 13 tahun Sanata Dharma menerapkan sistem poin, nyatanya belum ada dosen, mahasiswa, maupun orang tua yang mengeluhkan poin keaktifan sebagai syarat kelulusan. Mahasiswa justru merasa tertantang untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya belum pernah dilakukan.
“Dari adanya sistem poin ini, aku jadi lebih bisa mengembangkan talentaku. Ibarat kata kita melakukan hobi, tapi dapet reward berupa poin,” pungkas Maria Dita, mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI). Sementara itu, Bu Titik berpendapat bahwa apa yang mahasiswa capai itu tergantung dengan diri mahasiswa sendiri. “Jika mahasiswa hanya berorientasi untuk kuliah pulang kuliah pulang pasti akan berat untuk mendapatkan poin itu,” pungkasnya.
Editor: Sabina Lintang Kemala