Siapa sangka bermalam di kampus bisa membuatku menghadapi pengalaman yang menyeramkan? Malam itu, aku dan beberapa teman sedang membuat perlengkapan untuk sebuah acara. Kami berkegiatan di selasar lantai 4 gedung kampus, membantu teman-teman divisi perlengkapan. Saat itu sebagian besar mahasiswa sudah pulang, hanya tersisa kami yang memang ingin menyelesaikan pekerjaan itu. Aku bersama temanku, Lukman, Yoga, Mikael, dan Yehuda, berkumpul di selasar sisi barat dekat lift. Di tempat kami berada itu lampu menyala, sedangkan lampu lainnya mati dan membuat sekitar kami sangat gelap. Waktu menunjukan pukul setengah sembilan malam. Biasanya ada satpam yang mengelilingi setiap lantai dengan membunyikan kunci yang selalu ia bawa untuk memberitahu bahwa sudah seharusnya para mahasiswa pulang di jam tersebut. Alasannya, gedung kampus kami memang selalu ditutup pukul sembilan malam.
Di setiap lantai gedung itu ada dua tangga. Satu di sisi barat dekat lift tempat aku dan teman-temanku berkumpul, satu lagi di sisi timur dekat toilet mahasiswa. Seperti yang aku bilang, satu-satunya tempat yang terang saat itu hanyalah tempat kami berkumpul. Namun, tiba-tiba saja Yoga mendengar suara langkah dari arah tangga dekat toilet yang gelap. Suara itu terdengar seperti langkah seseorang yang menggunakan sandal. Ia pikir, mungkin itu satpam.
“Iya, Pak, iya, Pak. Sebentar sebentar,” ucap Yoga di kondisi yang sudah lelah. Suara itu terdengar berjalan kemudian berhenti. Yoga kemudian sadar, kenapa suara langkah itu tiba-tiba berhenti, padahal kan di sana gelap sekali. Aku dan yang lainnya biasa saja, tidak begitu memperhatikan karena kami hanya sibuk untuk menyelesaikan pekerjaan ini dan ingin segera pulang. Lagi-lagi, suara langkah itu terdengar lagi. Kali ini aku mendengarnya. Aku dan Yoga mendengar suara itu, sedangkan ketiga temanku yang lain tidak. Suara itu kemudian berhenti dan terdengar untuk ketiga kalinya. Saat itu, aku baru menyadari bahwa kami semua termasuk Mikael mendengarnya juga. “Weh kok gak sampe-sampe ya ini bapaknya jalan dari tadi,” ucap Mikael bercanda.
Kami menunggu. Suara langkah yang kami kira adalah pak satpam itu terus terdengar tetapi masih belum sampai ke sisi tangga barat di mana kami berada. Setelah itu, barulah aku sadar bahwa hal ini adalah sesuatu yang tidak beres. Aku bertanya kepada teman-temanku, apakah mereka sadar bahwa suara itu sudah terdengar sejak tadi, sejak Yoga mendengarnya pertama kali tetapi masih belum sampai juga atau bahkan mendekat ke arah kami. Padahal, nyatanya jarak antara kedua tangga tidak sejauh itu. Jika satpam itu berjalan, seharusnya tidak akan memakan waktu selama itu. Kemudian, kami hanya saling menatap dalam diam. Kami mulai membereskan barang-barang dan menyimpannya di basecamp mahasiswa.
Esok harinya, kami bersiap di aula kampus sembari menunggu vendor sound system. Ada banyak kendala dan kabar tentang sound system kami yang mungkin akan sampai terlambat. Malam itu, kami menunggu hingga pukul 12, berlanjut sampai pukul 2 dan masih terus menunggu. Pihak vendor juga mengabari bahwa teman-teman panitia bisa beristirahat sembari menunggu kabar tentang kedatangan sound system.
Jam setengah tiga malam, ada delapan orang yang menunggu. Tiga orang tidur di panggung, dua orang lainnya tidur di dekat panggung, lalu aku dan Yoga tidur di tengah aula. Kami mengincar kain backdrop di tengah aula yang hangat dan empuk untuk dijadikan alas kami tidur. Sekitar pukul tiga atau setengah empat, aku mendengar suara ketukan dari arah pintu belakang aula. Aku hanya diam, tidak ingin memberitahu yang lain dan justru membuat mereka ketakutan. Lagipula, aku berpikir mungkin mereka semua sudah tidur.
Di tengah diamku, suara ketukan itu kembali terdengar. Tiba-tiba saja Yoga menepuk dan bertanya, “Pus, dengar gak?” Aku dan Yoga saling pandang. Kami kemudian memutuskan untuk pindah. Aku menempatkan diri di atas panggung, sementara Yoga sudah bersama dua temanku yang berada di dekat panggung. Suara ketukan kembali terdengar. Aku yang penasaran akhirnya bangun dengan posisi terduduk. Saat itu aku melihat seseorang sedang berdiri di pintu belakang aula. Aku yang merinding dan ketakutan memutuskan untuk kembali tidur.
Tiga hari berlalu. Acara sudah selesai dan aula sudah bersih. Tiba-tiba saja Yoga bercerita tentang malam itu. Ia berkata bahwa ia melihat sosok hitam di bagian pojok pintu belakang aula. Bisa jadi, kami melihat hal yang sama malam itu. Lagi-lagi aku dan Yoga yang mengalaminya. Entah apa yang kami hadapi mulai dari suara langkah di lantai 4 hingga sosok di pojok aula, tetapi begitulah pengalamanku bermalam di kampus.
Editor: Laetitia Sugestian