Bagaimana rasanya ketika kita terluka? Apa yang akan kita lakukan pertama kali ketika kita merasa sakit di keramaian? Terutama rasa sakit yang hanya nyeri saja. Rasa nyeri sering kita rasakan semisal ketika jaring kelingking kejepit pintu, siku tersenggol sudut meja, atau bagian tubuh yang terluka. Tak jarang ketika kita merasa sakit, kita merasa cemas atau menikmati rasa sakit itu. Cerpen Kejetiti menceritakan Nyonya Marta dan rasa cemasnya.
Nyonya Marta dihadirkan Putu Wijaya lewat cerpennya berjudul Kecetit. Berawal dari rasa nyeri biasa dan noda biru di tangan, diramu Putu Wijaya dengan apik. Putu Wijaya dikenal seorang sastrawan besar dan ide-ide “gilanya” dalam karyanya. Seorang yang telah melahirkan banyak karya seperti naskah drama Aduh tahun 1975, yang dikenal memiliki alur melingkar. Serta karya-karya lainnya seperti cerpen, esai, novel, dan skenario.
Dalam cerpen Kecetit Putu Wijaya menghadirkan “nyeri” sebagai ide gilanya. Sebuah rasa sederhana dan sering dialami manusia pada umumnya. Nyonya Marta mengeluh karena merasa nyeri di tangannya. Lantaran harus berebut formulir pendaftaran kursus bahasa, Nyonya Marta harus berdesak-desakan dengan banyak orang. Ada rasa cemas dalam diri Nyonya Marta, ketika dia bertemu dengan seorang polisi. Dia mempertanyakan rasa sakit di dirinya. “Ia memegang tangan nyonya Marta. Dilihatnya noda biru itu. Ia menggelengkan kepalanya. Nyonya Marta cepat menerangkan dengan panjang lebar, bagaimana kecelakaan itu terjadi. Tetapi setelah bicara panjang, ia sendiri sangsi apa sebenarnya yang mengakibatkan noda itu. Terbentur tembok, siku orang, atau memang sudah cedera sejak ia belum datang untuk mengambil formulir?” (halaman 1 dan 2 ). Rasa cemas juga hadir ketika Nyonya Marta berada di ruang tunggu rumah sakit. Ketika Dia bertemu dengan tiga orang pasien. “Nyonya Marta terkesima, “Apa?”
“Dipotong,”
Nyonya Marta memandangi mata orang itu. Tetapi wanita separuh umur itu tampak tenang
saja,
“Dipotong? Dipotong benar? Tidak takut?”
Orang itu mengedipkan matanya tidak peduli.
“Takutnya sudah lama lewat. Sekarang saya sudah membiasakan hidup pakai satu tangan.”
Kemudian ia menoleh ke samping. Rupanya ada kawannya. Mereka bertegur-teguran. Lalu
wanita itu kembali lagi mengulangi ceritanya.
“Mula-mula ini cuma gatal …”
Nyonya Marta mengeloskan mukanya, Ia bergidik. Lalu dirabanya tangan kirinya. Ia tambah
bergidik.” (halaman 3).
“”Biasa, anak-anak. Main-main iseng. Ada anak tetangga yang menyiram bensin ke rambutnya sambil melemparkan api. Hampir saja ia tidak tertolong. Seluruh rambutnya habis dan kepalanya luka luka. Mungkin tidak akan bisa tumbuh lagi. Pada hal ….” Ibu itu tiba-tiba berhenti bicara karena anak itu menangis. Rupanya dengan tidak sadar ia telah melukai perasaan cucunya. Nyonya Marta menghirup nafas dalam-dalam. Ia merasa tiba-tiba berada di sebuah tempat yang asing. Apalagi ketiga melayangkan pandangan ke depan. Di situ dilihatnya seorang wanita dipapah masuk dengan kaki yang dibalut oleh gips. Tetapi wanita itu masih sempat tersenyum senyum kepada orang-orang di sekitarnya.” (halaman 4).
Pada kutipan di atas Putu Wijaya menghadirkan sisi absurditas dalam cerpen ini. Dalam cerpen ini Nyonya Marta dihadirkan sebagai sosok yang kaya dan mudah cemas. Terlihat di awal cerpen ini dibuka dengan perkenalan tokoh Nyonya Marta. Rasa cemas dan sebutan Nyonya merupakan daya tarik dari cerpen ini. Memperkenal identitas tokoh dan psikis tokoh. Kelemahan cerpen ini terletak di beberapa tulisan yang kurang enak dibaca dan kesalahan ejaan. Lewat Nyonya Marta Putu Wijaya menghadirkan rasa nyeri, cemas, dan tipu muslihat menjadi satu.