Berkobarnya semangat demokrasi mahasiswa dan elemen masyarakat pada aksi unjuk rasa “Gejayan Memanggil Kembali” dilandasi keresahan yang berkaitan dengan tindakan rezim Jokowi yang mengebiri demokrasi.
Semangat demokrasi yang tercantum dalam tuntutan dari pihak pengunjuk rasa tersebut dipicu oleh persoalan demokrasi yang sempat diabaikan sebelumnya, yaitu persoalan hak asasi manusia (HAM), Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, problematika dalam lingkup akademik, dugaan rezim yang egois dan merugikan negara, serta persoalan lainnya.
Isu-isu yang disuarakan para pengunjuk rasa pada hari Senin (12/2/2024) merupakan keresahan masyarakat terhadap hilangnya kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam merealisasikan pemerintahan yang demokratis. Menurut Komite Driyarkara Muda, salah satu pihak yang ikut serta dalam aksi unjuk rasa, demokrasi di Indonesia tidak sekadar mengalami kemunduran, lebih dari itu transisi demokrasi bahkan belum terjadi.
“Demokrasi hari ini bukan sekedar mengalami kemunduran, kita sama sekali tidak mendapatkan demokrasi. Transisi demokrasi pun tidak dilakukan,” ujar salah seorang perwakilan Komite Driyarkara Muda.
Sejalan dengan pendapat dari Driyarkara Muda, Mas Daffa, salah satu mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia (UII), mengatakan bahwa peristiwa ini merupakan efek dari kebijakan pemerintah yang dianggap bermasalah.
“Ini (aksi unjuk rasa) dan orasi itu mungkin salah satu efek… tanggapan dari mahasiswa atau mungkin dari guru-guru besar sendiri akan kebijakan-kebijakan kontroversi(al) yang sudah dikeluarkan Presiden Jokowi akhir-akhir ini,” ucapnya.
Keresahan masyarakat terhadap rezim Jokowi pun memantik demonstrasi yang menyuarakan satu tuntutan utama, yaitu hancurkan dan adili rezim Jokowi. Namun, menurut Komite Driyarkara Muda, tuntutan utama tersebut masih diikuti tuntutan-tuntutan lainnya.
“Kita harus hancurkan dan adili rezim Jokowi. Itu yang utama, tapi jelas utama bukan berarti dia itu satu-satunya. Banyak penindasan-penindasan itu terjadi dan semuanya, aku kira, belum juga terangkum oleh tuntutan Jagad (Jaringan Penggugat Demokrasi), belum juga terangkum oleh tuntutan Gerakan Driyarkara Muda.”
Pemilihan tanggal aksi unjuk rasa ini dapat dikatakan menguntungkan pengunjuk rasa karena membuat unjuk rasa ini tidak terkesan ditunggangi pihak mana pun. “Sebenarnya ada keuntungannya ketika memilih tanggal 12. Orang-orang awam yang selalu berbicara, ‘awas hati-hati aksi ditunggangi,’ kayak gitu kan. Ya, tanggal 12 siapa yang mau nunggangin? Orang ga boleh kampanye.”
Perwakilan Komite Driyarkara Muda melanjutkan, “Aku kurang tahu pasti, ya, kenapa (tanggal 12 dipilih). Mungkin saja karena tanggal ini kan sebenarnya banyak kampus yang baru masuk juga. Bisa saja karena itu. Artinya, bisa menggalang massa juga.”
Berkumpulnya mahasiswa dan elemen masyarakat yang bersama-sama menyuarakan isi hati yang seirama merupakan alarm bahwa ada dinamika yang salah dalam pemerintahan.
“Aksi-aksi seperti ini tuh adalah respons yang keraslah. Harusnya sebagai peringatan dari masyarakatlah. Berarti tuh ada yang salah gitu loh dari… langkah yang sudah dilakukan Presiden Jokowi itu,” ujar Mas Daffa.
Peran anak muda dalam demonstrasi seperti ini sangat dibutuhkan untuk menyuarakan pendapat-pendapat dan kritik terkait kondisi negara demi sebuah perubahan.
“Orang muda itu justru harus terus-terusan melawan gitu, ya. Dalam perkembangan sejarah Indonesia sendiri kita melihat bahwa orang muda itu selalu punya peran untuk bagaimana membawa perubahan.”
Aksi unjuk rasa yang berjalan cukup lama dan disertai orasi dari beberapa pihak ini bisa jadi bukanlah akhir dari semangat mereka untuk terus bersuara. Aksi-aksi lainnya bisa saja diadakan jika penindasan terhadap kesejahteraan masyarakat terus terjadi dan transisi demokrasi tidak terealisasi.
“Selagi transisi demokrasi tidak dijalankan, tidak ada kata selain lawan,” ucap perwakilan Komite Driyarkara Muda.
Editor: Laetitia Sugestian