Yogyakarta (12/02) – Melalui unggahan akun Instagram, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sanata Dharma mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi dalam Aksi Damai Gejayan Memanggil sebagai demonstran yang bertajuk “Hancurkan dan Adili Rezim Jokowi”. Aksi ini dilakukan guna menyuarakan isu Presiden Jokowi yang berpihak pada salah satu pasangan calon (paslon) capres-cawapres, kecurangan dalam pemilu, nepotisme, partai-partai yang tidak solidaritas, dan permasalahan-permasalahan lain yang memicu demonstran membuat beberapa tuntutan.
Titik kumpul demonstran Sanata Dharma berada di kantin, Kampus II, Universitas Sanata Dharma. Mahasiswa yang berpartisipasi diberi kesempatan untuk berorasi di titik kumpul suara. Selain itu, sebelum turun ke jalan mereka juga diberikan pita hitam yang diikat di lengan yang menjadi identitas sebagai mahasiswa Universitas Sanata Dharma.
Demonstran dari Sanata Dharma mengawali aksi mereka dari Kantin Realino, Kampus II Universitas Sanata Dharma, pada pukul 14:42 WIB dengan berorasi di depan Kampus II. Di tengah seruan orasi, salah satu pendemo membacakan sebuah puisi.
Pada pukul 15:49 WIB, Jalan Gejayan dan Simpang Tiga Colombo ditutup oleh aparat. Demonstran dari Sanata Dharma berjalan menuju Simpang Tiga Colombo. Selain itu, ada pula demonstran dari UGM dan UII yang memadati wilayah Barat dan Selatan titik demo. Beberapa aliansi jurnalis dan masyarakat juga terlibat turun ke jalanan untuk menyuarakan keresahan mereka terkait kecurangan pemilu di bawah rezim Jokowi.
Spanduk yang bertuliskan “Hancurkan dan Adili Rezim Jokowi” dibentangkan pada pukul 16.00 WIB diikuti spanduk-spanduk lain serta poster yang mewakili suara rakyat. Aksi demo dilanjutkan oleh beberapa perwakilan universitas seperti Guru besar dari UII yang turut serta memberikan orasi. Selain berorasi, demonstran juga menyuarakan keresahan mereka dengan menyanyikan “Buruh Tani”.
Aksi demo kembali dilanjutkan dari perwakilan Universitas Sanata Dharma, mahasiswa Program Magister Kajian Budaya, Ivo Trias Julianno. Ia juga membacakan sebuah puisi yang berjudul “Blues for Indonesia”. Menurutnya, aksi ini kemungkinan akan berkesinambungan dengan diadakannya ruang kritis bagi mahasiswa Universitas Sanata Dharma.
“Terbuka. Semua mahasiswa datang, ngundang semua. Terus yang… yang disasar pertama yang meng kantor di medsos itu, diundang secara resmi. Ya, berunding aja, diskusi terkait pandangan gimana mereka, gimana propernya, dan sebisanya itu dihadiri juga oleh para rektorat karena sekaligus mau jadi kritik ke kampus. Kritik karena efek dari selama ini nggak ada ruang-ruang kritis kayak gitu akhirnya mahasiswa nggak bisa membaca situasi. Akhirnya mereka terpecah, mereka merasa nyaman dan sebagainya. Nah, itu kritik di kampus,” ucapnya.
Editor : Sabina Lintang Kemala