“Iya, kalo mau nyoblos di sini harus ada surat pindahnya, Mbak. Maaf ya,” kata panitia TPS di kampusku. Keluar dari TPS, aku langsung nangis sambil nyerocos ke temanku karena ternyata aku betul-betul gak bisa nyoblos.
Di awal bulan Januari lalu, aku mendapat informasi dari Instagram kampusku kalau batas akhir layanan pindah TPS di kampusku adalah 15 Januari 2024. Sebelumnya, aku sepakat dengan ibuku jika aku akan memilih di kampung halaman saja. Toh pulang-pergi ke Yogyakarta di tengah liburan sama saja dengan pulang-pergi untuk mengikuti pemilu di kampung halaman. Ayahku pun tidak berkomentar apa-apa, jadi aku pikir semua baik-baik saja.
Akhir Januari, menjelang hari bimbingan rencana studi, aku menyampaikan bahwa aku harus kembali ke Yogyakarta pada ayahku. Di saat yang sama, aku mengutarakan keinginanku jika akan pulang lagi untuk mengikuti pemilu di kampung halaman. Tahu apa yang mengagetkan? Ayahku bilang, aku tidak perlu pulang lagi hanya untuk ikut pemilu. Katanya, takut aku kenapa-kenapa di jalan (berhubung aku akan pulang-pergi pada hari pemilu dan hari sebelumnya). Jujurly, aku kaget sampai nangis.
Aku pun segera mencari informasi lagi tentang pindah TPS. Ternyata, saat itu aku masih bisa mengurus kepindahan memilih di daerah asal atau di daerah tujuan. Jelaslah aku memilih untuk mengurus di daerah asal supaya tidak perlu pergi jauh-jauh.
Kepindahan memilih pun diurus. Panitia pemungutan suara (PPS) yang dihubungi menyampaikan bahwa aku harus menyerahkan surat keterangan atau surat tugas. Ya sudah, aku minta Surat Keterangan Mahasiswa Aktif ke fakultas. Setelah suratnya jadi, anggota PPS menanyakan nomor TPS tujuanku. Saat itu, mana aku tahu nomor TPS tujuanku itu berapa.
Daripada mengurus di kampung halaman, orang tuaku menyarankan untuk mengurus di Yogyakarta saja, setelah aku bimbingan rencana studi. Aku sempat bilang ingin mengurus di kecamatan supaya lebih cepat selesai, tapi orang tuaku tetap kekeh pada pendapat mereka. Ya sudah, aku turuti saja.
Menjelang keberangkatanku ke Yogyakarta, malapetaka terjadi. Aku sakit dan tidak bisa berangkat. Jadilah aku menanyakan nomor TPS terdekat dari kos pada teman kosku. Namun sampai hari terakhir, aku tetap tidak bisa mengurus karena masih sakit.
Ketua RT dan orang tuaku menyarankan agar aku langsung datang saja ke TPS dengan membawa KTP. Siapa tahu aku bisa tetap mencoblos. Ketua RT bahkan menambahkan, anaknya yang mahasiswa rantau dulu bisa ikut mencoblos hanya dengan menunjukkan KTP di TPS pada hari pemilu. Aku serasa diberikan harapan bahwa aku tetap bisa mencoblos.
Setelah aku kembali ke Yogyakarta, aku langsung mendatangi kantor PPS, dua hari sebelum pemilu. Aku bertanya pada PPS apakah pada hari pemilu aku bisa mencoblos hanya dengan menunjukkan KTP. “Gak bisa, Mbak. Kalau mau ngurus pindah memilih maksimal tanggal 7 Februari,” kata anggota PPS. Di titik ini, aku mulai kehilangan sedikit harapan. Tangisku pecah saat itu.
Aku juga menanyakan hal yang sama pada panitia di TPS terdekat dari kosku. Jawabannya tidak jauh berbeda dari PPS yang kutemui itu. Kalau mau mencoblos hanya dengan KTP, ia menyarankan agar aku mencoblos di kampus saja. Harapanku untuk bisa nyoblos memang telah berkurang. Namun setelah mendapat jawaban demikian dari panitia TPS itu, aku kembali mendapatkan sedikit harapan.
Akhirnya, tibalah tanggal 14 Februari 2024. Aku datang ke kampus untuk mencoba peruntunganku dan… tentu saja zonk. Tetap saja aku tidak bisa mengikuti pemilu karena tidak memiliki surat pindah mencoblos.
Aku seperti diberi harapan, tetapi dihempaskan begitu saja. Bohong kalau aku bilang aku merasa gak apa-apa setelah gak bisa nyoblos. Kurang merana apa sih, di pemilu pertama terpaksa jadi harus golput?
Dari dulu aku excited banget mau ikut pemilu. Aku penasaran, gimana ya rasanya bisa ikut nyoblos dan jarinya dikasih tinta? Eh, taunya aku malah begini. Masa aku harus nunggu lagi setidaknya beberapa bulan buat bisa nyoblos untuk pertama kalinya?
Selain itu, aku merasa malu banget gak ikut pemilu, apalagi aku rencana mau daftar program yang kalau aku diterima aku akan jadi representasi Indonesia. Ini ikut pemilu yang udah tinggal dateng dan nyoblos aja gak bisa, yakin mau jadi representasi Indonesia yang tanggung jawabnya lebih berat?
Mana ajakan untuk ikut pemilu berseliweran pula di berbagai media sosial. Di akun Instagram kampus, di akun Instagram penyanyi favoritku, bahkan sampai di grup Whatsapp. Ya kan aku jadi makin merasa bersalah.
Ditambah lagi aku juga gak di kos doang di hari pemilu dan di hari berikutnya. Aku tuh selalu merana waktu lihat orang-orang di tempat-tempat yang aku kunjungi selama dua hari itu jarinya ada tintanya. Kemudian, di media sosial pun ada banyak orang yang posting jarinya yang udah ada tintanya, tanda mereka ikut pemilu. Pakai caption, “Done my civic duty,” pula. Apa gak makin merana? Doain aku bisa ikut pilkada nanti ya….
Cerita dari: Anonim
Editor: Maria Tatag Prihatinningtyas Wigati