Ini adalah ceritaku ketika duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Hari itu, aku dan temanku menunggu jemputan di sekolah. Sekitar pukul tiga sore, suasana sekolahku sudah mulai sepi. Bisa dibilang, aku suka dan kerap penasaran dengan hal-hal berbau horor. Apalagi di masa-masa itu, permainan seram seperti Charlie Charlie, Bloody Mary, dan Ouija sedang menjadi tren di kalangan anak-anak. Permainan yang terlintas di kepalaku saat itu adalah Bloody Mary. Aku sudah mendengar sedikit dan paham mengenai cara melakukan permainan itu.
Di dekat tempatku menunggu, ada sebuah toilet yang menurutku suasananya agak aneh. Entah, rasanya tidak seperti toilet modern pada umumnya. Lampunya redup, keramiknya bermotif abstrak, dan tampak usang. Toilet berbentuk persegi panjang itu tidak terlalu besar, hanya berisi tiga bilik dengan sebuah wastafel dan cermin di ujung lorongnya. Ketika aku dan temanku masuk, semuanya tampak baik-baik saja. Semua lampu di sana masih menyala dengan tambahan sedikit cahaya dari ventilasi kaca. Sore itu, sebuah keputusan gila membawa aku dan temanku bermain Bloody Mary di sana.
Aku dan temanku Dina mulai mengucapkan mantra-mantra yang kami tahu di hadapan kaca. Sepersekian detik selanjutnya, lampu di toilet itu mati dan menyala bergantian. Kami menatap lampu-lampu yang berkedip. Hal itu cukup membuat kami merasa bahwa permainan kami berhasil. Kami yang hanya tahu sedikit tentang permainan itu dan tidak mendalami peraturan-peraturannya, merasa cukup puas dengan eksperimen jadi-jadian tersebut. Tanpa pikir panjang, aku dan Dina keluar begitu saja dari toilet. Kami meninggalkan mantra yang sudah terlanjur diucapkan tanpa diakhiri.
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah seperti biasa. Pada salah satu mata pelajaran, guruku memberi freetime untukku dan teman-temanku. Kami punya waktu senggang untuk sekadar bermain di dalam kelas. Beberapa siswa laki-laki bermain di ujung sana, tidak berbeda dengan siswa perempuan yang berkumpul di sisi lainnya. Saat itu, Dina tampak izin ke toilet. Aku melihatnya keluar sendirian dan menghilang di balik pintu kelas.
Waktu berlalu hingga aku sadar bahwa Dina sudah pergi terlalu lama. Setelah membicarakan hal itu dengan beberapa temanku, akhirnya aku izin kepada guru dan menyusulnya ke toilet. Aku berjalan menuju toilet yang berada di ujung lorong dekat kelas tersebut. Di dalam, aku melihat bilik yang di tengah tertutup. Dugaanku, Dina berada di dalam sana. Namun, ketika aku mengetuk dan memanggil namanya berkali-kali, tidak ada sahutan sama sekali. Karena khawatir, aku menyampaikan hal itu ke semua orang. Seketika teman-teman dan guruku menyusul ke toilet. Mereka juga mengkhawatirkan Dina yang mungkin berada di dalam sana. Selagi guruku memeriksa bilik bagian tengah melalui bilik sebelahnya, aku dan beberapa temanku pergi ke kantor guru untuk melaporkan kejadian ini, lalu guru yang berada di sana memberi tahu orang tua Dina untuk menjemputnya. Awalnya, kami berpikir bahwa Dina pingsan di dalam toilet. Namun, ketika aku kembali dan mendengar obrolan temanku, saat itu pula aku merasakan ada yang tidak beres.
Temanku menceritakan tentang situasi genting tadi. Ia berkata bahwa ketika guru kami memeriksa bilik, di dalam sana kosong, layaknya toilet yang tidak dipakai. Namun, ketika mereka meminta tolong kepada salah satu petugas kebersihan untuk memeriksa kembali, Dina ada di dalam sana. Benar, Dina ditemukan dalam keadaan tidak sadar dan terduduk di lantai toilet.
Setelah petugas mengeluarkan Dina, ia kembali ke kelas. Ketika akan bersiap untuk pulang, Dina tampak terdiam di dekat pintu kelas dengan tatapan kosong. Hari berakhir dengan Dina pulang terlebih dahulu. Entah mungkin ini hanya perasaanku saja, kejadian ini sangatlah aneh. Esoknya, ketika Dina kembali bersekolah, ia tidak membuka mulut tentang kejadian tersebut. Ia tampak tak ingin menceritakan atau membahas hal tersebut. Sampai saat ini, aku masih tak mengerti dengan kejanggalan hilangnya Dina di dalam toilet. Dugaanku, semua itu akibat dari permainan Bloody Mary yang tak terselesaikan sore itu. Apakah benar dia sempat hilang?
Cerita dari: Anonim
Editor: Helena Setiasari