Di era teknologi sekarang ini, semuanya mudah didapatkan. Hanya dengan gawai yang terhubung dengan internet, kita dapat dengan mudah mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia maya dan kegiatan sehari-hari teman atau tokoh masyarakat. Banyaknya informasi yang kita terima di media sosial bisa membuat kita betah bermain gawai dalam waktu lama dan melupakan kehidupan kita di dunia nyata. Tak hanya itu, segala sesuatu yang ada di dunia maya juga bisa membuat kesehatan mental kita menjadi terganggu. Seperti overthinking, depresi, stress, dan insecurity dengan unggahan orang di media sosial.
Meningkatnya aplikasi media sosial yang naik daun dan banyaknya pengguna membuat kita betah menghabiskan waktu di sana. Merasa cemas dan takut akan ketinggalan suatu hal baru membuat kita harus selalu up to date terhadap kabar atau berita yang tengah viral. FOMO atau Fear of missing out adalah suatu keadaan dimana kita merasa takut ketinggalan akan sesuatu yang sedang viral dan ramai diperbincangkan. Mengutip dari satupersen.net Fear of missing out pertama kali dikenalkan oleh profesor dari Oxford University, Dr. Andrew K. Przybylski, pada tahun 2013. Menurutnya, penyebab utama seseorang mengalami sindrom ini adalah perasaan tidak puas dan tidak bahagia dengan dirinya sendiri. Tidak hanya remaja, siapapun bisa mengalaminya.
Marissa Anita dalam kanal youtube great mind dan artikelnya memaparkan terdapat dua tipe orang yakni romantik dan klasik. Dua tipe tersebut memiliki FOMO yang berbeda. Tipe romantik merasa cemas dan takut jika tertinggal berita hangat, tempat hits, hal-hal yang trend, dan kabar teman yang telah menikah misalnya. Tipe romantik cenderung mudah terkena FOMO daripada tipe klasik. Tipe romantik merasa sangat menyakitkan jika merasa tertinggal. Mereka cenderung bahagia jika menjadi bagian dari itu. Tipe klasik berbanding terbalik dengan tipe romantik. Tipe klasik tidak memandang hal yang mewah sebagai indikator memukau. Tipe klasik merasa takut dan cemas jika ketinggalan mengenal orang terdekatnya, menyadari kekuatan alam dalam menenangkan hati, mendengarkan celotehan anak kecil dan mengenal diri sendiri. Tipe klasik menemukan kebahagian tidak selalu di rak buku best seller bisa saja di rak buku terpencil, ditulis orang biasa, dan tidak terkenal. Tipe klasik sadar kualitas tidak terlihat dari orang yang mewah tetapi bisa saja dari orang yang biasa.
Pemicu utama FOMO kemungkinan adalah gawai. Gawai beserta fitur dan aplikasi didalamnya memiliki pemicu untuk kita betah berlama-lama di sana. Tidak ada salahnya memiliki gawai dengan perangkat, fitur, dan aplikasi yang mendukung kita baik untuk karir, pendidikan, hingga hiburan. Ada kalanya kesalahan atau hal negatif yang dapat ditemukan. Berlarut-larut di dunia maya hingga lupa kehidupan di dunia nyata, misalnya membuatkan kita melalaikan kewajiban. Seperti tugas kuliah yang menumpuk, kerjaan di kantor, dan malas gerak karena betah berjam-berjam bermain gawai. Kecenderungan dan keseringan kita berselancar di dunia maya memicu kita takut dan cemas akan ketinggalan suatu hal. Hal ini membuat kita tidak bisa lepas dari gawai dan media sosial.
Ada beberapa hal bisa mengatasi FOMO. Mengurangi waktu bermain media sosial dan ubah titik fokus. Pilah dan pilihlah akun-akun atau aplikasi yang memang kita butuhkan. Bisa dilihat dari jenis dan fungsi aplikasi. Jika aplikasi itu menguntungkan kita dalam berkarir atau pendidikan tidak ada salahnya menggunakan itu sebagai hal yang menguntungkan dalam diri kita. Ada sebuah istilah namanya digital minimalism atau minimalis digital. Digital Minimalisme adalah filosofi teknologi di mana seseorang memusatkan waktu daring hanya ketika aktivitas yang telah dijadwalkan dengan cermat dan membawa manfaat baginya. Detoks media sosial, mungkin bisa menjadi pilihan untuk mencoba pelan-pelan lari dari FOMO menjadi JOMO. JOMO atau Joy of missing out adalah suatu keadaan di mana kita sadar, hadir, dan puas dengan keadaan kita saat ini. Istilah lainnya bisa dikatakan mindfulness. Detoks media sosial mungkin bisa dijadwalkan tiga hari atau seminggu tanpa sosial media. Jika ini terlalu berat mungkin bisa diatur dalam penggunaan jam. Semisal bermain instagram selama dua jam dalam dua puluh empat jam. Detoks media sosial atau istirahat sejenak dari media sosial. Sudah saya lakukan sejak tahun 2017. Hingga sekarang, saya selalu menjadwalkan detoks media sosial dalam satu tahun setidaknya sebulan. Awalnya susah, karena saya sering aktif di instagram dan gemar nonton youtube. Saya kembali ke hobi lama membaca buku, menonton drama Korea, mendengarkan musik, melamun, menulis dan journaling.
The Social Dilemma saya rasa bisa menjadi pilihan bagus untuk sekedar ingin tahu belakang layar media sosial. Film dokumenter yang rilis 2020 di netflix menjadi pilihan saya hanya karena rasa penasaran saja. Film tersebut menampilkan tokoh-tokoh di balik media sosial seperti para desainer media sosial. Film itu membongkar sisi gelap teknologi. Ironisnya media sosial memang didesain untuk membuat kita kecanduan. Begitu juga dengan fitur-fitur yang hadir di setiap media sosial. Serta permainan algoritma yang membuat kita semakin betah berlama-lama dan membuat kita menjadi adiktif.
Analisa Widyaningrum seorang psikolog klinis dalam kanal youtube yang membahas konten tentang sosial media dan kesehatan jiwa. Dari video tersebut dapat dirangkum penggunaan media sosial bergantung kepada pengguna dan bijaknya pengguna dalam memprioritaskan sesuatu. Tidak ada salahnya bermain media sosial dan berharap mendapat feedback dari orang lain. Bijak dalam menggunakan media sosial rasanya adalah keahlian yang cukup sulit untuk dilatih di era sekarang ini. Ditambah lagi pada masa pandemi semua kegiatan diarahkan ke virtual. Marissa Anita dan Ferry Irawan adalah dua tokoh yang sempat mencoba puasa media sosial. Dari mereka saya mengenal istilah digital minimalism, fomo, detoks media sosial dan lain sebagainya. Merubah kebiasaan buruk menjadi baik tidak bisa instan. Semua butuh proses. Tidak ada salahnya mencoba seminggu tanpa media sosial. Rehat sejenak dari hiruk pikuk dunia maya dan menyadari keadaan kini dan sini.