Prambanan dan Ksatria Bondowoso
Sore hari yang teduh di halaman Kerajaan Prambanan, di antara taman-taman kehijauan yang menjadi gurun subur, Roro Jonggrang mengusap rambutnya yang panjang, mendayu-dayu ditiup angin senja yang menari-nari. Terkadang ingatannya berseluncur pada kenangan masa kecil; kaki-kaki yang melangkah di rerumputan ini, tawa-tawa yang terkadang terlalu berisik. Baginya, tidak ada tempat terbaik selain di kerajaannya sendiri.
Paras cantiknya sudah dikenali di seluruh kerajaan ini. Terlepas dari dirinya yang merupakan anak perempuan dari sang raja, Roro Jonggrang memang dikenal sebagai sosok wanita yang baik hati, ramah senyum, dan ceria. Sosoknya yang anggun serta pesona yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, itu selalu bisa membuat semua laki-laki terkagum-kagum.
Di umurnya yang dewasa ini, ada beberapa hal yang sempat mengganggu pikirannya. Ayahnya sang Raja Prambanan sudah berumur cukup tua, sedangkan penurunan tahta kepadanya sering kali menjadi keputusan yang selalu dipikirkan dua kali. Bukan ayahnya meragukan, tetapi bukankah lebih baik jika tahta kerajaan ini diserahkan pada seorang pangeran, bukan putri kerajaan?
Roro Jonggrang masih begitu ingat perdebatannya dengan sang ayah beberapa hari lalu. Namun, seperti yang sudah-sudah, dirinya tak bisa membantah hukum tahta raja Prambanan. Ia dengan sangat mampu bersedia menjadi pemimpin kerajaan ini. Roro Jonggrang tak peduli dengan klise bahwa seorang putri tidak bisa menjadi raja. Apalagi sudah sejak kecil ia beradaptasi dengan lingkungan kerajaan yang keras. Ia berlatih perang dengan beberapa prajurit dan bersikap layaknya seorang anak raja yang mampu melindungi dirinya bahkan seluruh kerajaan ini.
“Dengar anakku, bukan maksudku meragukanmu.” Di ruang pusat tahta kerajaan, sang ayah masih mencoba menasehati anak perempuannya.
“Lalu apa yang membuat ayah sangat tidak ingin jika aku menjadi raja? Apa hanya karena aku ini seorang perempuan yang selalu dianggap lemah?” Perdebatan ini seperti tak ada habisnya, tetapi Roro Jonggrang tetap berpegang pada pendiriannya. Kerajaan ini hanya bisa dipimpin olehnya nanti, bukan oleh orang lain yang bahkan bukan anak dari ayahnya sendiri.
“Bukan begitu, anakku. Tahta ini bukan hanya mengurusi tentang kemakmuran rakyat kita. Ada hal-hal lain yang ayah rasa belum cukup mampu kau tangani.” Prabu Baka bukan meragukan, ia hanya khawatir pada hal-hal yang mungkin membahayakan putrinya. Ia tak ingin putrinya harus merasakan penderitaan akibat masa kepemimpinan seperti yang dulu pernah ia rasakan.
“Belum mampu? Ayah pikir untuk apa aku selalu berlatih siang dan malam dengan panglima perangmu itu? Katakan padaku, apa hal yang menurut ayah pikir tidak mampu aku tangani?”
Prabu Baka menghela nafasnya. Putrinya ini memang benar-benar seperti dirinya, keras kepala dan selalu tegas dalam semua perkataannya. Namun, mau bagaimana lagi, sepertinya ia harus menceritakan perihal kegelisahan yang sudah terpendam beberapa waktu belakangan ini.
“Ada hal yang sebenarnya terjadi beberapa waktu terakhir. Sengaja ayah tidak memberitahukan hal ini padamu agar kau tidak ikut campur tangan dan terjadi sesuatu yang tidak ayah inginkan.”
“Apa itu ayahanda?”
Sejenak Prabu Baka menatap lekat pada putrinya. Ia berdeham singkat lalu mengusap surai sang putri yang terduduk di dekatnya. “Patih Gupolo sempat memberi kabar tidak menyenangkan. Sang Raja Pengging, Prabu Damar Moyo itu merencanakan penyerangan terhadap kerajaan kita,” ujarnya lirih.
Mendengar itu lantas sang putri terkejut, kabar ini terlalu genting untuk ayahnya sembunyikan darinya. Bagaimana ia bisa tinggal diam terhadap rencana penyerangan tempat tinggalnya oleh kerajaan tetangga tersebut.
“Apa! Lalu dari mana Patih Gupolo mengetahui hal tersebut?” tanya Roro Jonggrang.
“Seorang pedagang rempah mendengarnya. Selepas menghantarkan rempah ke Kerajaan Pengging, ia segera datang kemari dan memberitahu Patih Gupolo.”
Akhir dari kalimat Prabu Baka membuat Roro Jonggrang terdiam. Mengenai kerajaan tetangga, ia sudah tak asing dengan julukan iblis bagi sang Raja Pengging. Dirinya juga tahu-menahu mengenai kearoganan dan keserakahan Prabu Damar Moyo. Namun, apakah harus kerajaannya yang akan diserang? Ia tak pernah berpikir bahwa perluasan kerajaan yang dilakukan Prabu Damar Moyo juga akan menyeret kerajaan milik ayahandanya pada sebuah ancaman bahaya seperti ini.
Berita itu akhirnya tersebar luas. Hari-hari di Kerajaan Prambanan menjadi semakin mencekam. Rakyat terlampau ketakutan atas hal-hal yang mereka dengar. Roro Jonggrang sudah mendesak sang ayahanda untuk segera memberi tindakan. Ia tak ingin rencana kerajaan tetangga akhirnya berjalan dan memporak-porandakan wilayah mereka.
Beberapa hari berlalu, meski selalu ada gelisah di hati Roro Jonggrang, ia tetap tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan bujukan kepada Patih Gupolo hari lalu tak membuahkah hasil.
Hingga suatu malam yang tenang, derap langkah ribut bisa didengar dari dalam kerajaan. Ada teriakan-teriakan liar yang tiba-tiba muncul dari luar. Prabu Baka terkejut dalam kediamannya. “Apakah saat ini waktunya?” ujarnya.
Para pasukan nampak berhamburan, Patih Gupolo menghampiri Prabu Baka, memberitahukan mengenai penyerangan yang dilakukan Kerajaan Pengging. Sepertinya dugaan Prabu Baka benar, keributan itu berasal dari aksi pasukan Kerajaan Pengging. Maka dengan sigap, dirinya keluar dari kediaman, bersiap menghadapi penyerangan licik ini.
Sudah terjadi beberapa pertarungan di tiap sudut kerajaan. Pasukan-pasukan dari Kerajaan Prambanan memang berjumlah banyak, tetapi yang mereka hadapi di sini bukan hanya pasukan manusia. Prabu Baka menyaksikan banyaknya pasukan Jin di antara pertarungan. Batinnya menyadari siapa yang menjadi pemimpin dari aksi penyerangan ini.
Baca Juga: Petualangan Seru dan Menegangkan: Empat Rekomendasi Film yang Akan Membawamu ke Dunia Lain
“Hai kau Joko Bandung! Beraninya pasukan Jin kotormu menginjakan kaki di kerajaanku!” dipandangnya ksatria di sana. Anak dari Prabu Damar Moyo, si sakti dengan pasukan Jin miliknya.
“Namaku Bandung Bondowoso, orang tua! Menyerahlah! Kau tau pasukanku akan tetap menang nantinya,” ksatria itu menyahuti sembari membunuh satu-persatu pasukan prambanan yang menyerangnya, ia tersenyum licik pada Prabu Baka.
“Jangan arogan, Bandung. Perluasan wilayah dengan cara ini adalah kelicikan. Ayahmu sang iblis itu sudah berbuat terlalu jauh.” Prabu Baka tahu, Bandung Bondowoso mendapatkan nama belakangnya itu setelah mengalahkan raksasa bernama Bondowoso dan mendapatkan kesaktian yang luar biasa. Maka bertarung dengan ksatria itu bukanlah jalan keluar, semoga saja semua ini bisa selesai dengan sebuah negosiasi.
“Hahaha! Siapa peduli tentang itu? Lagipula ajalmu akan datang sebentar lagi, Prabu Baka. Lebih baik kerajaan ini dipimpin olehku daripada dirimu yang sudah tua ini.” cemoohan itu keluar begitu saja. Sama seperti ayahnya, ksatria ini sangatlah jahat dan tak memiliki belas kasih.
“Maka matilah kau dengan ucapan bodohmu!” Prabu Baka memulai serangan terhadap Bandung Bondowoso.
Tak peduli seberapa kuat Bandung Bondowoso, harga dirinya sehabis diinjak-injak oleh pemuda tengil itu. Pertarungan antara keduanya berlangsung sengit. Sementara para pasukan lain mulai kewalahan sebab perbandingan jumlah yang tidak seimbang. Suasana begitu kacau di sana.
Beberapa serangan ditangkis oleh Bandung Bondowoso. Ksatria itu hanya menatap remeh pada Prabu Baka yang berulang kali mengarahkan serangan. Ketegangan dari pertarungan yang intens bisa dirasakan. Sedari tadi, Bandung Bondowoso hanya menangkis tanpa melancarkan serangan pada Prabu Baka. Ia tau dirinya tak sebanding dengan sang raja tua yang tidaklah sekuat dirinya.
Selepas waktu berlalu, Prabu Baka yang sudah melakukan begitu banyak serangan mulai kehilangan fokus. Di saat bersamaan, Bandung Bondowoso menampakan senyuman liciknya kemudian membuat satu serangan yang cukup keras. Tubuh Prabu Baka terjatuh pada rerumputan. Sang Raja terbatuk di sana, merasakan efek serangan yang begitu fatal.
Tawa terdengar nyaring. Prabu Baka menatap sengit pada Bandung Bondowoso. Ksatria itu kemudian menghampirinya yang masih terdiam lemah.
“Kejutan untukmu, Prabu Baka. Sepertinya kau yang akan mati malam ini.” Bandung Bondowoso tertawa puas melihat ketakberdayaan Prabu Baka.
Maka tanpa belas kasih, setelahnya sebuah serangan yang lebih kuat Bandung Bondowoso arahkan pada Prabu Baka. Tubuh itu menerima akibat yang fatal dan kesadaraan sang raja perlahan menghilang. Bersamaan darah yang tak berhenti keluar dari mulut Prabu Baka, menandai seluruh Kerajaan Prambanan jatuh dalam kemenangan bagi Bandung Bondowoso
Sang Arogan dan Paras Dewi
Tahta yang bijaksana sudah tak lagi berdiri. Di sana, di tempat ternyaman sang raja berwibawa, ada sendu yang mengelilingi. Ketakutan yang menghantui ternyata lebih buruk dari yang diperkirakan. Kejadian malam itu tak akan terlupakan bagi seluruh rakyat Prambanan. Sang raja yang begitu dicintai sudah berusaha sebaik mungkin, tetapi entah mengapa kali ini kejahatan berhasil menguasai.
Langkah besar dan arogan melalui ruangan-ruangan di kerajaan. Bandung Bondowoso menikmati kemenangannya. Ia begitu bangga atas kekuatannya yang luar biasa. Maka selepas kemenangannya semalam, ia mendapatkan ucapan selamat dari sang ayahanda. Prabu Damar Moyo kemudian meminta dirinya untuk memimpin kerajaan itu., yakni menjadi raja di kerajaan yang berhasil didapatkan dalam satu malam.
“Kekuatan yang tak terkalahkan. Selamat atas tahta barumu, Bandung.” ucap Sindoro, salah satu orang kepercayaan Prabu Damar Moyo. Setelah berita kemenangan Bandung Bondowoso, ia ditunjuk oleh Raja Pengging untuk menjadi tangan kanan di Kerajaan Prambanan yang akan di pimpin Bandung Bondowoso.
“Kekuatan Bondowoso yang amat kuat. Berkat ini aku akan menjadi seorang raja di Kerajaan Prambanan. Diriku akan menguasai dunia!” seru Bandung Bondowoso dengan lantang.
Jika dipertanyakan, dari mana kekuatan yang dimiliki Bandung Bondowoso? Padahal ia hanyalah anak laki-laki dari Prabu Damar Moyo. Maka hal itu berkaitan dengan pertarungannya melawan raksasa hari lampau.
Ksatria ini bernama asli Joko Bandung. Dirinya hanya ksatria yang dulunya selalu berlatih untuk menjadi kuat. Kemudian, terus mendorong dirinya pada pertarungan-pertarungan yang akan membuat dirinya semakin hebat. Pada suatu waktu, Joko Bandung beradu kesaktian dengan seorang raksasa sakti bernama Bondowoso. Bandung yang merasa hebat ingin membuktikan pada ayahnya bahwa ia bisa menjadi ksatria yang hebat. Maka tekadnya saat itu, ia benar-benar ingin mengalahkan Raksasa Bondowoso.
Pertarungan antara Joko Bandung dan Raksasa Bondowoso berlangsung sengit. Mengingat keduanya memiliki kekuatan ilmu kanuragan yang sama tinggi. Beruntungnya waktu itu, Joko Bandung sukses membuat Raksasa Bondowoso terpojok. Dirinya meminta roh sang raksasa untuk bersatu dengannya agar ia memiliki kesaktian Bondowoso sebagai tanda kemenangannya saat itu. Permintaan itu akhirnya membuahkan kesaktian miliknya menjadi dua kali lipat dan tak terkalahkan. Maka sebagaimana ia mendapatkan kesaktian Bondowoso, nama itu juga digunakan sebagai tanda kesaktiannya.
Saat ini kekuasaan Prambanan sepenuhnya di tangan Bandung Bondowoso. Termasuk para pasukan jin miliknya yang menempati setiap sudut kerajaan saat malam hari. Seperti saat ini, singgasana milik Prabu Baka itu ia duduki dengan bangga. Menatap remeh pada sosok yang bersimpuh di sana dengan tubuh terikat.
“Senang melihatku duduk di sini, Gupolo?” sang patih mendongak pada ucapan Bandung Bondowoso, menatap dengan begitu benci.
“Terkutuklah kau dan kearogananmu, Bandung Bondowoso. Kematian Prabu Baka bukanlah akhir. Karma akan memberikan pembalasan yang lebih keji,” ucap Patih Gupolo.
“Jangan naif begitu. Akui saja kehebatanku dengan bukti berhasil menduduki tahta ini. Memangnya siapa yang akan membalaskan dendam kerajaan ini, sementara kau akan segera menyusul kepergian rajamu itu?”
Diakuinya bahwa Bandung Bondowoso adalah manusia dengan sifat arogan tertinggi. Patih Gupolo mengatur nafasnya sejenak. Kemudian menenangkan suasana hatinya atas apa yang mungkin terjadi padanya setelah ini. Setidaknya sang putri berhasil ia sembunyikan saat proses penyerangan baru saja terjadi.
Prambanan benar-benar jatuh pada masa hancurnya. Gupolo tak tau harus berbuat apa untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Kematian sang raja berdampak terlalu fatal. Sementara menyerahkan masalah ini pada anak perempuannya justru akan membahayakan sang putri sendiri nantinya.
…
Si cantik berhati gelisah sejak kemarin. Ia tak tahu kenapa sang patih memaksanya untuk bersembunyi bersama Bi Sumi di bagian kerajaan paling terpencil. Belum lagi mengenai kabar yang sempat ia takutkan benar-benar terjadi. Hatinya berkata sesuatu terjadi dan itu bukanlah hal yang menurutnya baik baik saja. Tak ada komunikasi antara dirinya dengan sang ayahanda semenjak persembunyian ini. Setidaknya ia ingin tau apakah ayahnya dalam keadaan yang baik baik saja.
Bersama beberapa dayang-dayangnya, Roro Jonggrang berdiam pada bangunan di ujung sisi selatan kerajaan. Sejak semalam, ia mengamati Bi Sumi yang sibuk mengintai keadaan di luar. Suasana begitu tenang, dirinya bahkan tidak diperbolehkan untuk berjalan-jalan, hanya menikmati waktu yang berjalan tanpa disadari.
Pagi buta datang. Seperti yang sejak dulu, Roro Jonggrang memang selalu bangun dini hari dan melakukan beberapa pekerjaan bersama para dayang. Itu hanya satu dari sekian kebiasaan yang ia lakukan di kerajaan. Namun pagi ini sedikit berbeda, dirinya ditinggalkan sendirian. Entah kemana perginya Bi Sumi dan para dayang, mungkin mereka menyiapkan makanan untuk dirinya, pikirnya. Kebosanan yang tak kunjung hilang membuat Roro Jonggrang beranjak dari tempat tidur sederhananya. Ia mengintip melalui celah jendela batu yang ada di dekatnya. Suasana tampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar bangunan ini. Matanya melirik kekanan dan kekiri, tetapi yang bisa ia temui hanya bangunan bebatuan.
Tak tahan lagi dirinya, Roro Jonggrang keluar dari tempat persembunyian. Tak peduli lagi dengan perkataan Patih Gupolo yang menyuruhnya untuk tetap tinggal di sana hingga sang ayah menjemput. Langkahnya berpijak di luar ruangan, memeriksa keadaan sekitar yang menurutnya aman-aman saja.
Langkah anggun itu menyusuri komplek kerajaan yang asri. Dirinya bingung akan maksud paksaan Patih Gupolo untuk bersembunyi. Nyatanya tidak terjadi sesuatu di sini. Ia melihat langit yang hampir terang, memicingkan matanya pada sisa-sisa sinar bulan yang belum tenggelam. Saat awan-awan tipis itu ditatapnya, ada sesuatu yang nampak begitu janggal. Ada sosok di atas sana, di atas atap-atap komplek kerajaannya. Dua sosok gaib yang tertangkap matanya begitu membuat Roro Jonggrang terkejut. Makhluk apakah itu?
Sang putri terdiam, badannya membeku di sana. Apakah sosok itu berkaitan dengan hal genting yang dimaksud oleh Patih Gupolo? Entah, yang ia pikirkan sekarang adalah cara untuk menemui sang ayahanda di kerajaan utama. Berlarilah dirinya di antara fajar, tergesa-gesa sembari berhati-hati menatap sekeliling. Hatinya dipenuhi gelisah.
Dari balik pohon rindang, matanya menatap sekeliling hingga tertuju pada pintu masuk ruangan tahta sang ayahanda. Mereka dimana-mana, makhluk mengerikan itu berdiri di setiap sudut seolah berjaga. Kepalanya hanya berisi tentang keadaan ayahnya. Di mana sang ayahanda? Apakah beliau baik baik saja?
Tangan kirinya beralih pada tubuh sisi belakang. Roro Jonggrang menyampirkan selendang sutranya. Menampakan satu bilah cundrik kecil yang tajam. Alat tajam itu selalu ia simpan di balik selendang indahnya. Membuat siapapun tak percaya sang putri yang anggun akan membawa benda itu bersamanya.
Dirinya menyalakan radar bahaya. Ia tak bisa terdiam dan kebingungan atas semua yang terjadi saat ini. Maka setelah ancang-ancang yang cukup lama, Roro Jonggrang berlari cepat. Gerakannya menarik perhatian makhluk-makhluk yang berterbangan di atas. Dirinya menggenggam cundrik dengan yakin. Jika nyawanya terancam, maka cundrik itu siap ia layangkan.
Teriakan-teriakan aneh terdengar saat Roro Jonggrang berlari menuju ruang utama tahta kerajaan. Namun yang dirinya tidak duga adalah badannya tiba-tiba terhempas begitu saja. Bahunya menyentuh rerumputan terlebih dahulu. Setelahnya ia melihat sosok-sosok yang berterbangan tadi mendekat dan mengelilinginya. Kemudian, ia merasa tubuhnya dibawa begitu saja. Makhluk-makhluk itu menyeretnya memasuki ruang tahta hingga sang putri sukses terkejut melihat sang patih tergeletak sudah tak bernyawa.
Ditatapnya laki-laki di sana. Matanya mengerucut pada sosok asing tersebut. Sepersekian detik selanjutnya, ia melihat sekitar untuk mencari keberadaan sang ayahanda. Namun di sela itu tubuhnya terlempar, hingga kemudian tersimpuh pada bebatuan lantai kerajaan, menatap sepasang kaki di hadapannya.
Hening berjalan di bawa hembus angin tipis di ruangan itu. Kedua netra bertemu pada sudut yang jauh. Mata bersinar itu ditatapnya, helai rambut yang halus ia telusuri. Begitu cantiknya, pikir sosok di sana. Pada sudut pandang sang ksatria paras cantik itu seperti nirmana yang ingin ia puja-puja sebab keindahannya.
“Di mana raja?” lantang si paras cantik berbicara, “Katakan di mana ayahku!”
Setelah kalimat itu terlontar, seperti mendapat kejutan yang begitu istimewa, Bandung Bondowoso kemudian berbinar. Ia perlahan merendah, menatap lebih dekat paras surgawi yang ia kagumi seketika.
“Siapa raja yang kau cari, wahai putri cantik?” tanya Bandung Bondowoso.
“Di mana ayahanda? Dan kenapa kau membunuh Patih Gupolo?”
“Sssttt…berlembutlah suara berparas indah ini. Akulah Raja Prambanan yang baru. Bandung Bondowoso, sang terkuat,” ucap Bandung Bondowoso dengan bangga.
“Apa maksudmu?” tanya Roro Jonggrang kebingungan.
“Apa kematian ayahmu semalam tidak cukup untuk membuatku menjadi raja di kerajaan ini? Ah…atau perlu diriku menjadikanmu istriku agar tahtaku lebih sempurna?”
Roro Jonggrang tertegun, hatinya seperti ditusuk sebuah keris yang begitu tajam. Tidak mungkin, pikirnya. Semua kekacauan yang ia lewatkan memberi kabar begitu buruk.
“Brengsek kau! Beraninya!” Roro Jonggrang bangkit. Tangannya seketika mengarahkan cundrik tepat dihadapan wajah Bandung Bondowoso.
Ancaman yang tiba-tiba itu dianggap sepele oleh Bandung Bondowoso. Baginya, menghadapi si cantik ini bukanlah tandingannya. Dengan cepat cundrik itu ditepisnya, mengubah situasi sehingga sang putri berada dalam kepungan tangannya.
“Rambutmu indah.” ucap Bandung Bondowoso saat mengungkung Roro Jonggrang dari sisi belakang.
“Apa maumu, sialan?” Roro Jonggrang menggertak meskipun dirinya terjebak pada posisi tertawan.
“Entah. Apa aku bisa menikmati paras cantik ini selamanya? Hiduplah bahagia dengan Raja Prambanan yang baru. Kerajaan ini akan menjadi khayangan terindah untuk kita berdua,” ucap Bandung Bondowoso.
“Penghinaan yang menjijikan. Siapa yang mau diperistri oleh laki laki licik sepertimu?”
“Apa aku mengatakan kau bisa menolaknya?”
“Lepaskan! Lebih baik bunuh aku seperti kau habisi keluargaku atau kutikam cundrik ini ke dadaku,” kata Jonggrang sambil menatap Bondowoso yang masih sibuk terpana melihat kecantikan gadis itu.
Tubuh Bondowoso bergetar dengan tangan kanan masih menggenggam bandung, keris panjang yang baru saja dipakainya untuk membantai Patih Gupala.
“Jangan sia-siakan hidupmu, Jonggrang. Kau akan kunikahi sebagai penebus rasa bersalahku karena telah menewaskan seluruh keluargamu. Namun, beginilah perang. Kau harus maklum,” kata Bondowoso.
“Memaklumi akibat perang bukan berarti mau hidup bersama dengan pembunuh.”
“Kau akan menjadi permaisuriku. Apa pun kehendakmu akan kupenuhi.”
Cinta Seribu Candi
“Buatkan aku seribu candi dan dua sumur dalam satu malam!”
Terdengar seperti permintaan yang gila, tetapi kalimat itulah yang keluar dari bibir Jonggrang siang itu. Apapun ia usahakan agar tekad Bandung Bondowoso menjadikan dirinya istri gagal. Pembunuh ayahnya itu tak pantas melamarnya, apalagi hingga menikahinya.
Permintaan itu bisa dibilang tidak mungkin dilakukan. Roro Jonggrang berharap Bandung Bondowoso gagal memenuhi syarat untuk menikahinya. Ia ingin lepas dari obsesi laki-laki licik pembunuh ayahnya tersebut.
Sore ini, ia bisa melihat di sisi selatan kerajaan, Bandung Bondowoso sedang mempersiapkan diri untuk mewujudkan permintaannya. Sementara itu, Roro Jonggrang mengamati dari jauh bersama dayang-dayangnya. Laki-laki itu kesana kemari bersama makhluk-makhluk yang ia yakini adalah para pasukan jin.
Beberapa waktu berlalu, bahkan tengah malam belum dekat, tampaknya Bandung Bondowoso sudah rampung dengan dua sumur yang diminta. Kemudian Jonggrang mulai menyaksikan bagaimana para pasukan jin bekerja untuk membangun candi-candi dengan gesit. Hal ini curang, menurutnya. Bodohnya Jonggrang tidak memberi peraturan dalam melaksanakan permintaan tersebut. Kalau begini caranya, bisa-bisa candi ke seribu sudah berdiri sebelum matahari terbit.
“Dia sudah setengah jalan,” suara Bi Sumi menyusup di sela pengamatan. Hal itu membuat Roro Jonggrang dilanda gelisah.
“Bagaimana ini? Aku harus mencari cara untuk menghentikannya,” kata Jonggrang gelisah.
“Tuan putri, mari buat hari terasa menyentuh fajar lebih cepat,” ucap seorang dayang di sana.
“Apa maksudmu?”
“Makhluk-makhluk aneh itu. Mereka akan kehilangan kekuatan hebatnya saat fajar meninggi dan pembangunan candi akan terhambat. Jika itu terjadi, maka Bondowoso tidak akan bisa menyelesaikan permintaanmu.”
“Benar. Dan aku tidak akan pernah menjadi permaisurinya,” Roro Jonggrang tersenyum menang.
Setelah itu, bersama Bi Sumi dan beberapa dayang, Roro Jonggrang memulai rencana liciknya. Diambilnya beberapa jerami kering, dikumpulkan dekat pekarangan ayam. Kemudian Bi Sumi menyalakan obor, membakar seluruh jerami kering hingga menyala-nyala. Api-api di sana menyebar dan menghasilkan cahaya yang begitu besar.
Sementara para dayang menghampiri pekarangan dan mencoba membangunkan para ayam. Memaksa ayam-ayam di sana bersuara begitu berisik. Dengan begitu, membuat seolah kerajaan sudah dihampiri fajar.
Cahaya yang datang dari arah timur tampak menarik atensi para pasukan jin yang bekerja. Mereka kemudian mendengar suara ayam-ayam yang sudah bersahutan. Hari sudah pagi, pikir mereka. Mereka harus segera pergi dari sini sebelum sinar matahari yang terik membuat kekuatan mereka hilang.
“Tidak! Tunggu, mau kemana kalian? Kita akan segera menyelesaikan pembangunan candi ke seribu!” Bondowoso panik melihat pasukan jin miliknya pergi satu persatu.
Ia kemudian melihat sekeliling. Cahaya-cahaya dan suara berisik ini tidaklah menandakan pagi benar-benar datang. Ini hanya sebuah tipuan.
Sementara Roro Jonggrang dan para dayang yang merasa berhasil menipu para pasukan jin kini kembali ke tempat. Mereka mengamati Bandung Bondowoso yang akhirnya bekerja seorang diri. Hingga akhirnya, pagi benar-benar tiba. Surya menerpa candi ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan yang sedang dikerjakan.
“Lihat ini, sepertinya ada yang gagal,” kata Jonggrang angkuh.
“Jonggrang! Kau licik!”
“Oh? Apa maksudmu? Licik? Apa kau tidak sedang membicarakan dirimu sendiri?”
“Tipuan itu. Tipuan yang begitu licik untuk seorang putri yang melanggar janjinya sendiri.”
“Bagaimanapun juga, aku tidak akan pernah menjadi permaisurimu, Bondowoso.”
Bandung Bondowoso terdiam bersama rasa kecewanya. Usahanya dimanipulasi oleh kelicikan sang putri. Usaha yang ia lakukan dari keinginan hatinya yang paling dalam. Paras cantik itu kembali ia tatap, masih selalu dikagumi di antara pengkhianatan yang baru saja terjadi. Sang putri membuatnya jatuh hati. Namun, bagaimana akhir tentang kisah cinta penuh pengkhianatan ini?
Apa perasaan cintanya diragukan hanya karena dirinya adalah seorang pembunuh?
“Diriku yang jahat memanglah sebuah dosa. Namun Jonggrang, salahkah cintaku kupersembahkan kepadamu? Cinta sejati seorang pembunuh tetaplah sebuah cinta sejati.”
“Terkutuklah mulutmu, Bondowoso. Apa kau berharap aku bisa mencintai seseorang yang sudah membunuh ayahku?” tanya Roro Jonggrang.
“Lalu apa aku bisa menyalahkan takdir karena dirimu adalah anak perempuan Prabu Baka? Kalau bisa, aku juga mau jatuh hati dengan orang lain. Bukan dirimu, Jonggrang. Namun, siapa yang harus disalahkan saat aku mencintai dirimu, anak perempuan musuh kerajaanku? ”
Bandung Bondowoso adalah sebuah dosa. Ia tak perlu mengelak fakta itu. Semua dosa-dosa yang ia lakukan selama ini ia jalani dengan sadar. Namun dalam hal mencintai, dosa yang ia lakukan dan dengan siapa ia jatuh hati tidaklah berkaitan.
“Kalau begitu sadarlah! Dirimu hanyalah sebuah dosa di kerajaan ini. Persetan dengan cintamu yang licik itu,” kata Jonggrang.
Bandung tak pernah merasa sejatuh ini. Cinta sejatinya dihancurkan oleh seseorang yang begitu dicintai. Namun pada akhirnya, dirinya yang menempati Prambanan tetaplah tentang merebut tahta kerajaan ini. Maka setelah cintanya tak dihargai dengan begitu licik, amarah berdatangan menggeser itu semua.
“Kelicikanmu atas cinta sejatiku adalah dosa yang lebih besar daripada sebuah pengkhianatan! Maka untuk dirimu yang pernah aku cintai, Jonggrang… JADILAH KAU CANDI KE SERIBU!”
Fajar datang bersama setetes air mata dengki pada wajah tegas sang ksatria. Ia mengutuk cintanya sendiri, menyadari arti kelicikan yang sebenarnya. Bukan lagi tentang jatuh hati dan cinta sejati, melainkan dirinya sebagai ksatria yang tidak akan bisa dihancurkan begitu saja.
Editor : Catharina Menur Sekar Putih