Hari itu seharusnya kami hanya dibebankan dengan materi untuk ujian sisipan. Namun, kejadian dari suatu ruangan di kampus membuat bebanku bertambah sekaligus menjadi trauma kecil bagiku dan kelima temanku.
Kejadian ini kualami ketika melakukan ujian sisipan untuk mata kuliah Antonomi. Padatnya jadwal kuliah hari ini membuatku menghabiskan banyak waktu di kampus. Aku berada di kampus sejak pukul 8 pagi hingga 9 malam karena mengikuti ujian di pagi hingga siang hari dan mengikuti remidi di sore harinya.
Saat istirahat siang hari, aku dan kelima temanku memutuskan untuk istirahat di salah satu ruangan yang menjadi tempat untuk ibu dan anak. Kami makan siang, bermain boneka, dan mengisi daya handphone masing-masing. Setelah beristirahat cukup lama, kami akhirnya memutuskan untuk keluar saat jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kami berenam membereskan barang-barang lalu keluar dan menutup pintu ruangan tersebut. Kami memutuskan untuk duduk di pojok lorong sebelum ruangan ujian. Dari sini, kami bisa melihat orang-orang yang akan keluar dari ruangan tersebut. Aku bersandar pada salah satu pintu di ruangan antara ruangan ibu dan anak tadi. Di depan pintu ruangan ujian, terdapat Pak Erik yang merupakan guru pengawas mata kuliah Antonomi.
Kami belajar bersama dengan sungguh-sungguh karena materi mata kuliah yang banyak dan tergolong susah. Saat sedang belajar, Layla, salah satu temanku berdiri dan berjalan ke arah yang lebih sepi sambil menelepon seseorang. Ketika dia kembali, kami panik melihat wajahnya yang sudah pucat dan ia mengeluh mual-mual. Kami pikir penyakit maag yang dia derita mulai kambuh karena sedari pagi dia belum makan sama sekali dan kecapekan. Kami memberinya air putih serta melakukan segala cara agar dia membaik. Setelah beberapa menit, dia memberi tahu bahwa kondisinya sudah lebih baik dari sebelumnya. Mengetahui kondisinya membaik, kami lega dan kembali belajar bersama.
Saat sedang fokus membaca dan menghafal, sekilas dari sudut mata aku melihat pintu ruangan yang kami masuki tadi terbuka. Aku ingat pintunya sudah kami tutup setelah keluar dari sana. Namun, aku tidak mengambil pusing karena mungkin hanya perbuatan angin sore. Tak lama dari kejadian itu, kami melihat dua laki-laki yang kami kenal berjalan dari arah ruangan ujian, yaitu Lukas dan Deon. Kami menghiraukan mereka karena kami pikir mungkin mereka sudah selesai dan pulang, atau ada keperluan yang lain.
Waktu sudah mulai memasuki adzan Maghrib. Saat kami masih fokus dengan materi, tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang tertawa dengan keras. Aku langsung terdiam dan menatap teman-temanku. Kami berenam bertatapan seolah tahu apa yang baru saja kami dengar. Aku berpikir, mengapa bisa ada suara anak kecil tertawa? Ruangan yang kami singgahi sebagai ruangan ibu dan anak tadi sudah tertutup dan tidak ada orang lagi setelah kami istirahat siang.
Aku memastikan suara tersebut dan bertanya, “Kalian dengar suara barusan? suara apa tadi…”
Seketika mereka menyuruhku untuk diam. Layla menyuruh kami untuk tenang dan jangan panik. Di antara kami, ada yang sudah menangis, cemas, dan ingin segera pulang. Kami saling menenangkan satu sama lain.
“Dengerin aku baik-baik ya. Nanti kita pindah ke arah ruangan ujian sambil berpelukan, oke?. Jangan lihat ke arah lain dan fokus jalan sambil berpelukan.” perintah dari Layla dan kami mengangguk patuh.
Kami bersiap untuk berdiri dengan membawa barang yang menurut kami penting dan diperlukan saja. Kami meninggalkan tas masing-masing karena ingin segera pergi dari tempat ini. Layla menghitung satu sampai tiga agar kami semua berjalan serentak. Kemudian kami berjalan cepat ke arah dekat ruangan ujian. Kami duduk di lorong yang lebih dekat dengan ruangan ujian dan bernafas lega sambil terduduk. Temanku masih ada yang menangis ketakutan dan kami menenangkannya agar lebih tenang.
Pak Erik yang melihat kami berjalan sambil berpelukan bertanya heran sekaligus khawatir, “Ada apa ini? kalian gapapa, nak? Ini sisa kalian berenam yang belum ujian kan?”. Aku dan teman-temanku sudah menjawab pertanyaan Pak Erik, tetapi Pak Erik masih terus menanyakan hal tersebut hingga kedua kalinya.
Setelah Pak Erik selesai bertanya, kami sibuk dengan pikiran masing-masing dan sesekali saling menenangkan. Amel, salah satu temanku yang bisa merasakan kehadiran “seseorang”, mengeluh bahwa pundaknya berat dan pegal sekali. Pak Erik menyadari hal itu dan segera mendoakan Amel hingga ia merasa pundaknya ringan kembali. Kami sudah paham apa arti dari keluhan Amel.
Akhirnya kami melihat teman-teman kelas keluar dari ruangan ujian. Kami langsung bertanya tentang suara anak kecil yang tadi kami dengar, “Hey, tadi kalian dengar suara ketawa anak kecil yang besar banget itu gak?”.
Mereka kembali bertanya dan menjawab pertanyaan kami dengan yakin, “Suara anak kecil apaan? Gak ada tuh”. Kami terus memastikan kepada mereka, tetapi jawaban mereka masih tetap sama sehingga membuat bulu kuduk kami berenam berdiri.
Saatnya kami masuk ke ruangan untuk ujian, pikiran kami sudah buyar mengenai materi ujian ini. Kami hanya ingin cepat-cepat pulang karena terbayang suara tawa anak kecil yang tidak tahu darimana asalnya. Aku berusaha mengerjakan soal dengan teliti dan menepis pikiran-pikiran negatif. Waktu sudah memasuki pukul 8 malam ketika kami menyelesaikan ujian. Kami dan Pak Erik keluar dari ruangan dan menuju halaman kampus. Kami berpisah dengan motor yang dinaiki 2 orang, mobil yang berisi 4 orang, dan Pak Erik dengan kendaraan pribadi.
Saat sudah di mobil dan jalan keluar dari kampus, kami memastikan semua hal spiritual kepada Layla. Layla menceritakan semua kejadian yang kami alami sedari tadi sore. Saat Layla menjauh untuk menerima telepon, ia mengatakan bahwa dirinya sedang menelpon abangnya karena ia merasa diajak bermain oleh seorang ‘anak’ yang menempati ruangan tersebut. Kami semua tau bahwa Layla adalah salah satu orang yang bisa berhubungan dengan alam gaib, biasa disebut dengan indigo. Alasan mengapa Layla merasa tidak enak badan tadi sore karena ternyata ia mulai berkomunikasi dengan anak tersebut. Ia meminta abangnya untuk menguatkan dirinya dari gangguan tersebut. Kata Layla, anak tersebut melihat kami sedang bermain dengan boneka di ruangan itu, lalu anak tersebut menganggap kami ingin main bersamanya. Mungkin saja anak itu mengetahui bahwa Layla bisa diajak untuk berkomunikasi, jadi anak itu menghampiri Layla untuk dijadikan sebagai perantara berkomunikasi.
Lalu Layla juga membahas mengenai Lukas dan Deon yang tadi lewat di depan kami. Layla memberi tahu bahwa dua orang yang lewat tersebut bukanlah Lukas dan Deon yang asli secara manusia. Dua orang tersebut adalah sosok lain yang menyerupai Lukas dan Deon. Kami semua terkejut dan bingung karena postur yang lewat tadi sangat mirip dengan Lukas dan Deon. Mulai dari memakai almamater berwarna biru, model potongan rambutnya, dan postur tubuh. Namun, saat mereka lewat, kami memang tidak terlalu memperhatikan bagian wajahnya karena kami hanya melihat sekilas. Mungkin hal tersebut yang menjadi alasan mengapa Pak Erik terus menanyakan kondisi dan jumlah kami karena menyadari tentang sosok yang menyerupai Lukas dan deon.
Terakhir Layla memberi tahu bahwa ada sosok penghuni lain yang ada di ruangan ujian. Katanya, sosok tersebut sedang marah karena ruangannya cukup kotor. Ada Sampah-sampah berserakan di lantai sehabis ujian, seperti kertas bekas coretan dan plastik bekas makanan. Biasanya akan ada petugas kebersihan yang akan membereskan, tetapi nantinya akan kotor kembali. Setelah Layla selesai bercerita, kami semua hanya bisa diam dan melamun memikirkan kejadian yang diceritakan. Rasanya kejadian sore itu menjadi trauma kecil bagi memori kami.
Sesampainya di kos dan membersihkan badan, aku sama sekali susah untuk tidur walaupun lelah karena seharian di kampus untuk belajar ujian sisipan mata kuliah Antonomi. Kejadian sore itu sangat terbayang-bayang di pikiranku hingga saat ini.
Editor: Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita