Film Anak Lanang: Poligami Bukti Nyata Ketidakadilan Keluarga

Film Anak Lanang memperlihatkan penuangan ide dan pemilihan aktor untuk suatu skenario menjadi tonggak utama dalam keberhasilan karya sinematografi. Tak hanya itu, saat ini banyak sutradara yang bahkan menggunakan teknik one shoot untuk menyusun suatu naskah menjadi adegan layar yang epik. Jenis teknik untuk syuting itulah yang ternyata tak kalah penting untuk menghasilkan suatu film. Tentu teknik tersebut juga harus menyesuaikan aktor-aktor yang terpilih. Setiap sutradara tentu akan mempertimbangkan kelayakan adegan yang diperankan. Ini juga turut terjadi pada seorang sutradara di Indonesia, Wahyu Agung Prasetyo.

Kali ini ia menyutradarai sekaligus menjadi penulis naskah sebuah film pendek yang berjudul Anak Lanang. Ia juga bekerja sama dengan Jeihan Angga sebagai produser dalam film ini dan diproduksi oleh Ravacana Films. Pembuatan film ini dilakukan pada tahun 2017. Namun, baru diunggah ke akun Youtube Ravacana Films pada 10 September 2019. Hingga saat ini, film ini telah mendapat beberapa penghargaan, yaitu “Honorable Mention” dalam Panasonic Young Filmmaker 2017, “Oustanding Achievement” dalam Indonesian Film Festival Australia 2019, dan film terbaik dalam Indonesian Short Film Festival SCTV 2019.

Film Anak Lanang adalah film pendek yang berusaha untuk menampilkan masalah-masalah yang kerap kali terjadi di lingkungan sekitar. Tak hanya itu, unsur sosial juga turut serta ditampilkan dalam film ini untuk merefleksikan kehidupan dari berbagai sudut pandang. Usaha tersebut terlihat kuat dalam setiap adegan yang diperankan oleh tokoh-tokoh dalam film ini. Tempo pengambilan gambar yang dilakukan dengan ‘perlahan’ itulah yang membantu penonton untuk ikut serta masuk memahami situasi yang tengah terjadi sehingga melahirkan ikatan antara penonton dengan aktor.

Film Anak Lanang menceritakan empat anak di suatu sekolah dasar yang membahas kehidupan sehari-hari mereka dalam perjalanan pulang di atas becak. Cerita dengan penuh kesederhanaan itu berputar pada kegiatan mereka di sekolah, pekerjaan rumah, dan sikap teman-teman yang mereka temui di sekolah. Dari pembahasan sederhana tersebut dapat terlihat sikap mereka yang sebenarnya. Sigit (Mahrival Surya Manggala), seorang anak rajin yang berusaha untuk mengingatkan teman-temannya mengerjakan tugas, tetapi teman-teman yang lain meminta contekan saja. Samsul (Khoirul Ilyas Ariatmaja) yang terus mengeluh atas sesuatu hal. Hingga Danang (Satrio Satya Purnama) dan Yudho (Muhammad Khildan Habibie) yang terus-menerus bertengkar karena hal kecil.

Pembahasan tersebut tiba-tiba berubah menjadi hari ibu. Samsul menceritakan sikap ibunya ketika ia mengucapkan selamat atas hari ibu. Menurutnya, Ibunya hanya terfokus pada hal lain sehingga membuatnya malas untuk mengucapkan kembali. Sikap orang tua yang mungkin tidak memberikan timbal balik yang baik itu membuat mereka malas bahkan merasa malu.

Film pendek dengan durasi lebih dari empat belas menit itu mengangkat presepsi seorang anak atas sikap orang tua yang ditunjukkan pada mereka. Pengangkatan tema ‘keluarga’ juga semakin diperlihatkan melalui adegan yang membuat penonton memahami sikap Danang dan Yudho yang terus-menerus meributkan tentang hal sepele. Ketika satu persatu anak diantar oleh tukang becak hingga ke rumahnya, tersisalah Yudho dan Danang. Akhirnya, becak tersebut sampai di suatu rumah dan kedua anak tersebut turun. Mereka menyalami laki-laki dewasa dan memanggil dengan sebutan yang berbeda, yaitu Papa dan Bapak. Danang langsung mengungkapkan keinginannya untuk dibelikan ponsel seperti dengan Yudho, saudara tirinya.

“Pah, aku teka. Pah, aku tukokke HP koyo gonne Yudho.”

“HP opo? Kowe wes duwe HP tho.

Melalui adegan inilah dapat diketahui bahwa adanya unsur poligami yang ditampilkan oleh sutradara. Adegan ini memberikan bentuk pembelajaran atas sikap tidak adil kepada anak. Bukankah poligami bisa terjadi apabila seorang laki-laki tersebut dapat bersikap adil kepada kedua perempuan dan keluarganya? Pembelajaran yang dilibatkan dengan sisi agamis ini mencuat ketika adegan ini berlangsung. Sikap ketidakadilan hanya akan membuat pihak lain merasa ‘dirugikan’ karena cemburu, terutama pada anak yang belum memahami perilaku poligami tersebut. Selain itu, sikap yang turun-temurun juga terlihat dalam film Anak Lanang ini. Oleh karena itu, adegan ini sebagai bukti bahwa sikap orang tua akan menjadi cerminan untuk anak mereka.

Film Anak Lanang cukup menarik dengan adegan-adegan perjalanan pulang sekolah. Akan tetapi, sangat disayangkan teknik pengambilan gambar masih terlihat berputar-putar sehingga sulit untuk fokus pada satu titik. Hal ini disebabkan karena pengambilan gambar yang dilakukan dengan berjalan mengarah pada berbagai tempat sesuai dengan target lokasi rumah anak-anak tersebut. Selain itu, cahaya pendukung dengan waktu siang hari terasa sangat kurang.

Dengan memilih anak-anak sebagai pemeran tentunya menjadi kesulitan tersendiri untuk para sutradara, tetapi dalam film ini, akting anak-anak tersebut terlihat natural. Apalagi sesuai dengan penjelasan yang tersebar, pengambilan gambar dalam setiap adegan dilakukan dengan teknik one shoot. Untuk aktor yang berusia anak-anak tersebut tentunya akan terasa sulit, tetapi kesulitan itu rupanya bukan suatu masalah besar mengingat hasil yang ada membuktikan bahwa setiap tokoh dan tim dari film ini telah berhasil. Ekspresi, gesture, vokal yang tetap konsisten juga terlihat jelas dalam film ini. Alur yang diatur dalam film ini menarik dan tidak menduga terhadap adegan selanjutnya. Percakapan sederhana yang mengangkat masalah kehidupan sehari-hari dengan pembawaan yang tenang juga menarik untuk melanjutkan film berdurasi hampir 15 menit ini. Selain itu, keributan yang dibuat oleh dua anak karena masalah kecil juga membuat tegang karena terjadi beberapa kali. Kemudian, pesan moral mengenai keluarga dalam film ini dibungkus dengan menarik dan tersampaikan dengan baik untuk para penonton.

Penggunaan properti hingga blocking yang ditunjukkan oleh pemain berjalan dengan baik. Aktor-aktor yang masih duduk di tingkat dasar tersebut membuktikkan bahwa mereka memiliki pengetahuan untuk memainkan sebuah peran. Sisi sederhana juga ditampilkan dan nyata terlihat seperti kumpulan anak-anak yang pulang sekolah tanpa ada kamera yang merekam. Sangat disayangkan, film terbaik ini tanpa dukungan pengambilan gambar yang konsisten tersebut dan cahaya yang sesuai dengan kebutuhan. Namun, secara keseluruhan dari segi sinematografi tentu film ini sudah tidak diragukan dan pesan moral yang berkaitan dengan unsur keluarga tersebut sangatlah sesuai dengan kehidupan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *