Merayakan Kehidupan dalam “Menua dengan Gembira”

Judul: Menua dengan Gembira

Penulis: Andina Dwifatma

Penerbit: Shira Media 

Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2023

ISBN: 978-60–7760-70-7

Tebal Buku: x + 140 halaman

Hidup itu tantangan yang tak berkesudahan. Di antara tenggat waktu pekerjaan atau hiruk-pikuk kehidupan sosial, mudah bagi kita untuk terseret arus dan tenggelam dalam kesibukan duniawi tanpa jeda. Namun, tiba-tiba datang seorang kawan, yang muncul entah dari mana, mengajak kita sejenak menertawakan diri sendiri dan dunia. Bersamanya, kita menemukan kembali makna pada hal sehari-hari yang sering kita lewatkan begitu saja. Kawan tak terduga ini adalah Menua dengan Gembira.

Buku ini ibarat sosok teman jenaka yang mampir sebentar untuk berbincang-bincang singkat. Ia menarik kita dalam tiap jengkal kisahnya, lantas ketika obrolan telah usai, kita terlempar kembali pada realita dan merindukan interaksi hangat dalam cerita menggelitiknya. Begitulah cara Andina mengajak kita untuk ikut merefleksikan diri lewat pengalaman-pengalaman yang ia alami. Penulis novel Semusim, dan Semusim Lagi (2013) sekaligus pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini mengaku mengambil inspirasi gaya bahasa dari tulisan para kolumnis senior, seperti Mahbub Djunaidi, Bondan Winarno, dan Simon Carmiggelt, Myra Sidharta, dan Brouwer. Ia melihat kecenderungan penulisan mereka yang sederhana dan memutuskan untuk melahirkan tulisan esai ini dengan kiblat kebahasaan serupa: naratif tanpa sok menggurui.

Menua dengan Gembira adalah sekumpulan esai terhimpun dari 23 perkara sehari-hari yang terjadi pada orang-orang bertempat tinggal di suburban; atau mereka yang tinggal di wilayah pinggiran Jakarta, khususnya kelas menengah. Seluruh esai identik dengan kisah yang menyentil dalam memaknai kehidupan menjadi lebih berwarna. Dengan demikian, meskipun dikemas dengan gaya storytelling yang sederhana, pembaca tetap bisa mengangguk relate dan memetik bahan ajaran yang terselip dari potret perjuangan keseharian warga pinggiran kota.

Gestur Sosial Masyarakat Modern dari Budaya Pop

Bertempat tinggal jauh dari kota menuntut Andina untuk harus terbiasa dengan “gangguan” Jakarta demi mencapai tempat kerja. Ia memahami rasanya terkurung berjam-jam di mobil sepanjang pulang-pergi atau terdesak di kendaraan umum dengan wangi parfum bercampur keringat sore yang ia maknai sebagai laboratorium sosial yang luar biasa. Namun, dari fenomena ini, ia pun melihat dan mendengar banyak hal. Mulai dari interior bangunan mungil nan minimalis yang sering diadaptasi oleh lapak warung-warung kopi senja-senjaan, sampai ke gestur sosial masyarakat modern Jakarta yang terbentuk dari budaya pop sekitarnya.

Budaya pop dalam uraian Andina dilihatnya sebagai jalan masuk bagi suatu pandangan atau gaya hidup tertentu. Budaya pop dikonsumsi bukanlah sekedar upaya untuk mencapai kenikmatan, melainkan juga merumuskan identitas, khususnya lewat film. Misalnya, pada bab “Ngopi Sepanjang Jalan”, film Filosofi Kopi menyuguhkan identitas baru tentang kopi. Kopi yang awalnya sekedar sebagai minuman penghilang haus atau kantuk, kini bergeser citranya menjadi produk kebudayaan serius dan filosofis. Kopi menjadi minuman yang memberi cita rasa hidup, senja, dan asmara.  

Pengaruh budaya pop ini semakin menjadi ketika isu sensitifnya menyentil elemen masyarakat kelas menengah ke bawah. Misalnya, pada bab “Menua dengan Gembira” dijabarkan oleh Andina dengan mudah dan tanpa menggunakan jargon kata-kata ilmiah rumit mengenai teknik pemasaran industri kecantikan yang sebenarnya adalah kibul-kibul kapitalisme. Mereka yang takut untuk menua dengan garis kerutan di wajah, menginginkan kulit sebening artis Korea, atau enggan memiliki kantung mata hitam lantas ditawari dengan solusi terapi laser ke dokter kulit yang harga sekali pertemuannya bisa memakan berjuta rupiah. Tentu saja merawat wajah itu adalah sebuah keperluan—tak ada larangan untuk berhenti skincare-an. Namun, Andina pun mengingatkan kepada pembaca untuk tidak melupakan faktor-faktor di luar kendali manusia seperti genetik dan iklim. 

Andina memaknai tanda-tanda flawless pada kulit dan tubuhnya sebagai hal wajar dari penuaan. Ketidaksempurnaan kulit di sana-sini adalah sesuatu yang alamiah, tanda bahwa kita sudah melewati begitu banyak hal dalam hidup (hlm. 103). Ini adalah gagasan pikiran yang harmless dan apresiatif. Andina melihat ketidaksempurnaan ini sebagai bekas-bekas “perjuangan hidup” pada wajahnya.

Cerita dari Pinggiran Jakarta

“Yang Terjepit dan Terdesak” menyoroti satu persoalan tentang kerasnya hidup dan bekerja di Jakarta. Andina secara blak-blakan menceritakan tentang pengalamannya berhadapan dengan riuh dan padatnya suasana kota. Ia harus bergerak cepat agar tidak terjebak dalam arus kemacetan yang membuatnya menua di jalan. Perjalanan ke kantor adalah pertempuran abadi. Oleh karena itu, transportasi umum menjadi solusi praktis untuk mencapai tempat kerjanya. 

Arus kehidupan yang serba sat-set menyadarkan Andina bahwa ada fragmen-fragmen kecil kehidupan yang membuat perjalanan menjadi lebih tertahankan di tengah desakan KRL. Di KRL, saya bisa memandangi rumah-rumah, jalanan, kendaraan, pemakaman, warung, yang seolah melaju cepat dari balik jendela kereta (hlm. 48).  Kebengongan menjadi sebuah hal mewah dan mahal di era serba penuh digital seperti sekarang. Naik KRL menjadi satu-satunya me-time untuk menyalurkan hobi mereka sebelum kereta sampai ke tujuan di mana para pekerja harus kembali dengan kesibukan realita.  

Namun, tidak sampai situ saja tantangan para pekerja ini. Dalam bab “WFH atau WTF” dan “Apakah Kita Masih Perlu Ngantor”, Andina dengan gamblang memaparkan kesulitan yang ia temui selama bekerja di rumah ketika masa pandemi Covid. WFH pada masa pandemi inilah yang ia anggap banyak menguras energi dan penuh tantangan. Pasalnya, tidak semua orang punya privilese untuk bekerja dengan tenang dari rumah (hlm. 77). Rumah yang awalnya merupakan tempat untuk decompress dan jauh dari segala hal berbau pekerjaan menjadi mustahil dilakukan karena seluruh waktu akhirnya dipakai untuk bekerja. Fleksibilitas dibenturkan dengan jam kerja yang tidak sehat dan dapat menjadi bumerang kalau tidak tahu cara menggunakannya (hlm. 78).

Tanpa banyak jargon ilmiah, Andina menarasikan kisahnya dengan cara yang memikat. Banyak insight baru yang diselipkan disertai dengan hasil riset dan penjelasan ringan. Buku ini sarat akan ilmu-ilmu komunikasi, tetapi penulis tidak terkesan menggurui dalam menyampaikannya. Semua kisah pengalaman ditulis dengan gaya sederhana dan ringan, serta dipenuhi jenaka. Topik-topik yang dimuat juga dekat dengan pembaca. Sayangnya, buku yang selesai baca dalam satu duduk ini masih terlalu singkat. Pembaca menjadi larut dalam obrolan menggelitik dalam buku, tetapi karena terlalu singkat, pembaca harus segera fokus kembali pada realita. 

Editor: Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *